Samy Sahertian |
AMBON Tribun-Maluku.Com, Masalah Upah Minimum Provinsi (UMP) pada bagian II ini di lihat oleh Samy Sahertian Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS Provinsi Maluku sebagai sesuatu yang menarik yaitu peran dari Perusahaan, Buruh dan Pemerintah.
Ada tiga hal penting yang perlu menjadi perhatian karena sering terjadi yaitu; (1). Ketidakterbukaan Perusahaan Terhadap Buruh Menyangkut Perkembangan Usaha Dari Perusahaan itu Sendiri.
Menurut Sahertian, perbedaan cara pandang di atas akan membuka peluang terjadinya kecurigaan dari buruh terhadap para pengusaha, akibat dari status pendidikan buruh yang umumnya rendah sehingga pemahaman mereka lebih bertumpu pada apa kata orang disekitarnya.
Hal ini tidak tertutup kemungkinan dijadikan sebagai sebuah kebenaran dan akan digunakan untuk memperjuangkan kenaikan upah mereka.
Untuk itu Sahertian memberikan solusi konkrit bahwa, alangkah baiknya jika pengusaha mau membuka diri untuk memperlihatkan data keuangan perkembangan usaha kepada buruhnya sendiri dalam batas-batas kerahasiaan tertentu, sehingga tercipta suatu pengertian untuk saling membutuhkan dan saling menghidupkan.
(2). Ketidakmampuan Perusahaan Maupun Buruh Dalam Memahami Arti Hubungan Kerja Diantara Keduanya. Bagian ini mengandung arti atau tersirat hubungan antara buruh dan pengusaha tidak jauh berbeda seperti hubungan tuan yang berkuasa dengan hamba yang hidupnya sangat bergantung kepada tuan.
Hubungan yang demikian menyebabkan buruh hanya berpikir soal besar kecilnya upah yang mesti di bayar oleh perusahaan dikaitkan dengan kebutuhan hidup mereka, tanpa memikirkan kelangsungan hidup perusahaan. Sebaliknya perusahaan hanya berpikir bagaimana mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan tenaga buruh yang telah diupahnya.
Menurutnya, dengan hubungan yang demikian maka baik buruh maupun pengusaha sama-sama akan merasa tertekan, padahal hubungan mereka adalah hubungan yang saling membutuhkan demi kelangsungan hidup bersama.
Hubungan yang saling menghidupkan inilah yang mungkin dimaksudkan dengan hubungan Industrial Pancasila yang dipopulerkan saat almarhum Bapak Sudomo menjadi Menteri Tenaga Kerja RI pada jaman Orde Baru.
(3). Pemerintah Belum Mampu Memainkan Peranannya Dengan Baik Untuk Mempertemukan Perbedaan Cara Pandang Antara Buruh dan Pengusaha. Nampaknya pemerintah dalam hal pengambilan keputusan untuk menentukan UMP ternyata masih menjadi bulan-bulanan baik dari buruh maupun pengusaha.
Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) misalnya, buruh merasa pemerintah masih berpihak kepada pengusaha, eh ternyata para pengusaha bersama Bapak Presiden RI malah menyindir Bapak Jokowi karena membela buruh dan Ini betul-betul hal yang sangat memalukan Pemerintah sendiri.
Menurut Sahertian, hal ini di duga disebabkan karena penggunaan indikator makro yang menyesatkan sebagai dasar penentuan UMP tanpa dilihat secara terinci dan faktual.
Pemerintah bagaikan makan buah simalakamanya sendiri, “tidak makan di cerca buruh, di makan eh masih juga di cerca buruh bersama pengusaha.
Solusin yang praktis menurut Sahertian, Kementrian Tenaga Kerja dan Dinas Tenaga Kerja mestinya lebih pro aktif mencari indikator lain yang lebih relevan untuk digunakan dalam melengkapi ataupun menggantikan indikator makro ekonomi yang selama ini di pakai sebagai dasar penentuan UMP.
Dengan demikian angka UMP bisa ditetapkan dalam beberapa kategori yang lebih realistis, tidak seperti sekarang ini di mana UMP itu hanyalah suatu angka yang dipaksakan berlaku bagi seluruh perusahaan…semoga.(02TM)