Dalam tiga rumusan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional sejak tahun 1995-2008, belum pernah disebut secara eksplisit bahwa narkoba adalah ancaman keamanan nasional.
Sebab narkoba dimasukkan sebagai bagian dari kejahatan lintas Negara dan penyelundupan. Dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, misalnya dijelaskan dua kategori ancaman: pertama, ancaman kemanan tradisional berupa invansi atau agresi militer dari negara lain terhadap Indonesia diperkirakan kecil kemungkinannya.
Peran PBB dan reaksi dunia internasional diyakini mampu mencegah, atau sekurang-kurangnya membatasi penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara untuk memaksakan kehendaknya terhadap negara lain.
Kedua, ancaman non tradisional, yakni ancaman dari luar lebih besar kemungkinan bersumber dari kejahatan terorganisir lintas negara yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, dengan memanfaatkan kondisi dalam negeri yang tidak kondusif. Perkiraan ancaman dan gangguan yang dihadapi Indonesia ke depan, meliputi terorisme, gerakan separatisme, kejahatan lintas negara (penyelundupan, penangkapan ikan ilegal), pencemaran dan perusakan ekosistem, imigrasi gelap, pembajakan/ perampokan, aksi radikalisme, konflik komunal, dan dampak bencana alam.
Keterkaitan langsung antara narkoba dan keamanan nasional adalah kasus penyelundupan berskala besar, dengan personil bersenjata. Penyelundupan bersenjata mengindikasikan peningkatan kualitas penyelundupan. Karena itu, ketika ditanya apakah BNN perlu dipersenjatai untuk menghadapi pengedar narkoba, Komjen Pol Gories Mere mengatakan, Perlu dipersenjatai, untuk memperkuat penegakan hukum.
Narkoba merupakan salah satu pemicu kriminalitas, yang di Amerika Serikat disebut oleh Menlu Hillary Clinton sebagai kekerasan narkoba. Hal ini terjadi akibat bisnis narkoba memutar uang dalam jumlah besar, sehingga persaingan antar kelompok sering terjadi dalam memperebutkan pasar atau mengamankan jalur pengederan dan penyelundupan.
Keterkaitan antara narkoba dan keamanan nasional juga dapat dilihat dari segi ekonomi melalui kasus pencucian uang. Salah seorang warga Malaysia yang menjadi anggota gembong sindikat India (MM) melakukan pencucian uang dengan cara mendirikan dan memodali sebuah perusahaan money changer (PT Maulana Traders) dan menggaji direkturnya (IS) sebesar Rp 5 juta per bulan. IS kemudian yang ditahan di Apartemen Graha Cempaka Mas, Jakarta Pusat, Rabu (1 Februari 2012, dengan tuduhan tuduhan memakai rekening pribadi untuk lalu lintas transaksi sabu. Dari penyelidikan diketahui, IS memiliki 20 buku tabungan di tiga bank nasional.
Pada tahun 1970-an, berbagai gerakan separatisme di dunia menggunakan perdagangan narkoba sebagai sarana mendanai perjuangan separatisme. Belakangan muncul beberapa kasus adanya beberapa kelompok teroris yang memanfaatkan narkoba sebagai bagian dari kegiatan pengumpulan dana terorisme, seperti yang dilakukan kelompok Taliban di Afghanistan dan Pakistan. Dari sinilah kemudian muncul istilah narcoterrorism.
Untuk kasus di Indonesia, narcoterrorism sejauh ini baru terungkap seorang tersangka terorisme yang terlibat penjualan narkoba. Fadli Sadama, tersangka terorisme yang ditahan di Medan karena terlibat perampokan, diketahui memperdagangkan ganja untuk membeli senjata di Thailand, selanjutnya dibawa ke Indonesia untuk kegiatan terorisme.
Sebagai gambaran kronologis, Fadli Sadama, kelahiran Pekanbaru 26 April 1982, pernah terlibat perampokan Bank Lippo di Medan tahun 2003, kemudian ditahan di Lapas Medan dan dibebaskan 2007. Begitu bebas, langsung merantau ke Malaysia dan bekerja sebagai penyadap karet. Pada 10 Juli 2009 ditangkap lagi atas dugaan kepemilikan pistol untuk merampok BRI di Aceh, dan dipenjara bersama Toni Togar dan baru bebas pada Juli 2010.
Ketika masih di penjara bersama Toni Togar, kembali Fadli Sadama merencanakan dan kemudian mendalangi perampokan Bank CIMB Medan pada Agustus 2010, selanjutanya diketahui melarikan diri ke Malaysia, dengan tujuan Pattani, Thailand.
UPAYA PENANGGULANGAN
Secara konsepsional, penanggulangan penyalahgunaan narkoba umumnya dibagi dalam tiga instrumen:
Suply reduction: yakni mempersempit ruang gerak produksi dan peredaran narkoba. Kendala yang dihadapi saat ini adalah kolusi antara Bandar dan aparat. Selain itu, muncul fenomena kitchen lab, industri rumahan yang yang dikelola secara industri garmen, yang mengakibatkan kontrol menjadi lebih sulit.
Deman reduction: mengurangi pasar (pengguna) narkoba, yang ditempuh melalui program rehabilitasi para pengguna. Intinya mengacu pada hukum pasar: kalau permintaan kurang pada akhirnya akan mengurangi suplai. Pemerintah dan beberapa lembaga swasta (LSM) telah melakukan advokasi dan pendampingan untuk memaksimalkan pusat-pusat rehabilitasi pengguna narkoba.
Kepala BNN mengatakan, Pembangunan pusat rehabilitasi akan dilakukan secara simultan di Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat. Pemerintah juga sudah membentuk Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Cibubur, Jakarta. Beberapa pondok pesantren juga memiliki program khusus rehabilitasi pecandu narkoba seperti Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Harm reduction: mengurangi dampak buruk dari penyalahgunaan narkoba, yang khusus difokuskan terhadap pengguna pecandu. Biasanya, terapi yang ditempuh adalah Terapi Metadon, suatu jenis narkoba dengan tingkat ketagihan rendah (interval 24 jam), bandingkan dengan tingkat ketagihan jenis sabu (setiap 7 jam). Asumsinya, dengan Terapi Metadon, pengguna bisa lebih produktif, karena interval sakau (kesakitan akibat ketagihan) menjadi lebih panjang.
Pemerintah Indonesia juga sudah memiliki beberapa lembaga resmi yang menangani langsung kasus-kasus narkoba: BNN (Badan Narkotika Nasional); Divisi Narkotika Bareskrim Polri; NAFZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) yang dikelola Badan Pengasawan Obat dan Makanan (BPOM).
Terdapat satu organisasi sosial kemasyarakatan GRANAT (Gerakan Nasional Anti Narkoba) yang kemudian menjadi Organisasi Perjuangan memerangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. GRANAT didirikan pada 28 Oktober 1999, secara sendiri maupun bersama kelompok lainnya atau lembaga Pemerintah, melakukan penyuluhan tentang bahaya peredaran gelap dan bahaya penyalahgunaan narkoba, serta mengkampanyekan tentang cara-cara untuk menangkal peredaran gelap dan mengatasi berbagai bahaya penyalahgunaan narkoba.
Secara kelembagaan, GRANAT sudah tersebar di seluruh Indonesia, dari tingkat kelurahan/desa, kemudian tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kotamadya, sampai tingkat propinsi, serta Badan Pelaksana Orgnisasi di Kampus Perguruan Tinggi, Akademi, Sekolah Menengah dan Pondok Pesantren, serta tempat-tempat khusus (seperti pemukiman, perusahaan, industri dan kelompok kerja). Bahkan, GRANAT telah diterima sebagai anggota WFAD (World Federation Against Drugs) yang berkantor pusat di Stockholms serta beranggotakan lebih dari 50 NGO dari seluruh penjuru dunia.
Dari segi legal formal, penanggulangan narkotika juga dikuatkan dengan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya telah ada UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1976; UU RI No. 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nation Convention Against Llicit Traffict In Narcotict Drug And Psycotropict Substances Tahun 1998 (Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Tentang Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika Tahun 1998).
Pemberdayaan penegakan hukum dilakukan antara lain dengan rumusan ancaman hukuman terhadap orang yang menyalahgunakan narkotika, yang dapat berupa: Hukuman mati; Hukuman penjara seumur hidup; Hukuman tertinggi 20 tahun dan terendah 1 tahun; Hukuman denda dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupah) sampai dengan Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah).
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Keterkaitan antara narkoba dengan keamanan nasional dapat dilihat dalam empat aspek, sebagai berikut:
Karena bisnis narkoba melibatkan unsur sindikat yang beroperasi sebagai trans-national crime, yang membuka kemungkinan dijalankan dengan bisnis penjualan dan peredaran senjata dan amunisi ilegal. Karena itu, kasusnya bukan lagi sekedar persoalan pelanggaran hukum, tapi juga dimensi keamanan nasional.
Kemungkinan keterkaitan antara narkoba dan kegiatan terorisme di Indonesia. Dalam kaitan ini, baru satu kasus yang diketahui, namun terbuka kemungkinan adanya kasus lain yang belum terungkap.
Keterkaitan narkoba dengan keamanan nasional dari segi ekonomi, dapat dilihat dari beberapa kasus pencucian uang hasil narkoba, antara lain melalui perusahaan money changer yang sengaja didirikan dan dimodali oleh jaringan bandar narkoba.
Dalam tinjauan keamanan nasional secara lebih luas, penyalahgunaan narkoba juga menjadi ancaman serius bagi proses pembangunan sumber daya manusia, khususnya karena peredaran narkoba sudah menyasar anak-anak usia sekolah dan mahasiswa, dan bukan hanya di perkotaan tapi juga merambah ke tingkat kecamatan dan pedesaan.
Dari tiga konsep penanggulangan (suply reduction, deman reduction dan harm reduction), yang menjadi ujung tombak adalah suply reduction (pengurangan sulpai). Oleh karena jaringan pelaku (produsen dan pengedar/penyelundup) melibatkan banyak negara, maka upaya penanggulangannya harus dilakukan secara multilateral.
Selanjutnya, dalam upaya memaksimalkan kajian mengenai keterkaitan antara narkoba dan keamanan nasional, terdapat dua persoalan besar yang perlu pendalaman khusus: pertama, pemetaan secara lebih rinci tentang jaringan pelaku manca negara dalam penyalahgunaan narkoba di Indonesia; kedua, kajian khusus untuk mendalami dan memetakan keterkaitan antara narkoba dan tindak pidana terorisme di Indonesia.