Lagu yang di Festival Lagu Populer Indonesia 1977 sebenarnya hanya menjadi juara kedua, di ajang internasional ini malah sukses memperoleh gelar prestisius sebagai pemenang komposisi terbaik atau ’’Outstanding Song Award’’. Prestasi nan prestisius ini langsung mengangkat nama Ajie yang sebenarnya sudah bermusik sejak lama dan sempat bergabung dengan group C Blues dan Gipsy. Selepas kemenangan di Tokyo, Ajie merilis album dengan judul DAMAI TAPI GERSANG bersama Yetty Bandy, sang isteri.
Album ini terhitung berhasil di pasaran. Tapi sayangnya masa kejayaan Ajie berakhir ’gersang’. Namanya pelan-pelan surut dan bahkan nyaris terlupakan sampai akhirnya dia menutup mata di awal 1992.
Lagu Ajie Bandy menjadi refleksi penulis ketika mengangkat topik seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) Maluku masa bakti 2003-2008 yang karena anomali dan tak berkualitas terpaksa harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT).
Demokrasi Maluku yang mewarnai suksesi kepemimpinan Maluku menjadi sebuah elegi bahkan satire karena penguasa wilayah di mana PSU diinstruksikan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 30 Juli lalu tampil dengan jargon DAMAI. Damai sesungguhnya tak sepenuhnya diimplementasikan si empunya akronim politik tersebut.
Tim sukses maupun relawan pasangan lain diteror dan diintimidasi, bahkan pasangan calon lain diusir dari Kabupaten berjuluk ’’Ita Wotu Nusa’’ itu karena takut kantong-kantong suara DAMAI diporak-porandakkan para lawan politik. Sah saja kalau ada yang bilang politik itu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sebagaimana diisyaratkan guru kelicikan politik Italia, Niccollo Machiavelli dalam buku ’’Il Principe’’ atau Sang Pangeran-nya.
Tapi, politik pun mengajarkan cara main yang santun, elegan, dan bermartabat sebagaimana diutarakan Cosmos Batubara, mantan Menteri Pekerjaan Umum di era Soeharto. Apa guna si empunya akronim DAMAI mengusung tematik ini kalau perilaku politiknya tak mencerminkan eleganitas dan kebesaran jiwa sebagai calon pemimpin masa depan yang diidam-idamkan seluruh rakyat Maluku? Kemudian apa yang akan diharapkan nanti oleh rakyat Maluku jika tipikal pemimpinnya yang tak elegan, tak bermartabat, dan berupaya menggapai kekuasaan dengan cara-cara kotor dan tak fair.
Damai itu mencerminkan iman, pengharapan dan kasih. Dengan iman teguh sesuai keyakinan imannya, seorang pemimpin tetap bersandar pada ’campur tangan’ Sang Pencipta Semesta karena garis tangan merupakan sesuatu yang tak mampu diselami manusia. Itu domain Allah. Dengan iman seorang pemimpin berpengharapan kalau niat tulusnya memimpin Maluku untuk melayani masyarakat di tengah gubuk-gubuk kedinginan dan walang-walang kesusahan akan direstui Sang Pencipta.
Tapi, tanpa kasih sayang, iman dan pengharapan seorang pemimpin nirmakna (tak punya arti apa-apa) . Kasih itu tidak egois, tidak ingin menang sendiri, tidak menggunakan cara-cara kotor, tidak melukai perasaan orang lain, dan tak berjiwa besar menerima kekalahan maupun mengakui kelebihan orang lain.
Keberadaan DAMAI mesti menjadi ’oase’ di padang gurun ketika Maluku kini diterpa krisis kepemimpinan lokal menyusul akan lengsernya Gubernur Karel Albert Ralahalu (2003-2008 dan 2008-2013) pada 15 September nanti. Tidak bermaksud mendiskreditkan (menyudutkan) pasangan tertentu, tapi pilkada Maluku kali ini mesti dimaknai sebagai jembatan emas membangun Maluku yang religius, bermartabat, berkeadaban, humanis, dan bertoleran. Dengan begitu, kultur politik bermartabat dan berkeadaban yang hendak dibangun mestinya dilahirkan pula dari sebuah proses politik yang elegan, santun, jujur, demokratis, dan damai.
Maluku 5-25 tahun ke depan relative membutuhkan calon pemimpin yang berintegritas, berloyalitas, bersih, dan mau menerjang gelombang pulau-pulau Maluku yang tak bersahabat dan acapkali memakan korban. Maluku yang hancur akan terpapar dalam buku elegi jika yang tampil nanti bukan pemimpin tetapi pemenang dari proses demokrasi tak fair, dan dicederai lakonisasi pemimpin yang haus kekuasaan dengan mengotori semangat kebersamaan dalam frame ’’Orang Basudara’’.
Kekelaman dalam atmosfer politik Maluku akan tersaji jika rakyat Maluku tak cerdas memilih pemimpinnya. Itu pun mesti ditopang kinerja Komisi Pemilihan Umum Maluku yang profesional.
Sebab, prahara yang menimpa pesta demokrasi lokal saat ini lebih disebabkan skenario lempar batu sembunyi tangan oknum-oknum komisioner KPU Maluku. Mereka adalah sutradara di balik suksesi Maluku kontemporer. Mencapai kemenangan dengan cara-cara tak santun, dan tak bermartabat adalah wujud politik yang mengalami kegersangan.
Moralitas yang terdistorsi kepentingan sesaat namun mengorbankan harapan dan cita-cita luhur anak negeri. Lebih baik kalah di atas pendirian, daripada menang dengan cara-cara kotor, begitu kata pepatah Australia. (**)