“Sesuai ketentuan memang PNS harus netral dalam pemilu, tetapi realita selama ini PNS justru selalu terlibat kegiatan politik praktis dalam setiap pelaksanaan pemilu, terutama pilkada dan pemilu legislatif,” katanya di Ternate, Jumat (29/11).
Ketua Studi Politik UMMU itu mengatakan, dalam pelaksanaan pilkada misalnya PNS selalu dijadikan alat bagi kepala daerah setempat untuk melakukan kegiatan politik praktis bagi kepentingan calon kepala daerah yang didukung oleh kepala daerah bersangkutan, terlebih jika kepala daerah itu adalah calon yang maju dalam pilkada.
PNS tidak bisa menolak karena konsekuensinya akan dikenai sanksi oleh kepala daerah, misalnya PNS seorang pejabat akan dicopot dan jika hanya PNS biasa akan dimutasi ke tempat yang jauh, ujar Irmon.
Praktik seperti itu juga terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilu legislatif, kata Irmon Machmud, jika kepala daerah setempat adalah pengurus atau pimpinan salah satu partai politik, sehingga tidak mengherankan jika disuatu daerah dipimpin oleh parpol maka PNS di daerah itu harus mendukung parpol itu.
Kita selama ini mendengar gubernur dan bupati/ wali kota mengatakan kepada publik bahwa PNS harus netral dalam pelaksanaan pilkada atau pemilu legislatif dan jika melanggar akan dikenai sanksi tegas, tetapi yang terjadi kemudian adalah PNS dipaksa untuk melakukan kegiatan politik praktis bagi kepentingan parpol yang didukung gubernur dan bupati/ wali kota tersebut,katanya.
Menurut dia, untuk mewujudkan netralitas PNS dalam setiap pemilu maka perlu ada regulasi khusus yang melindungi PNS untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, selain itu pengurus parpol yang menjadi gubernur dan bupati/ wali kota harus keluar dari parpol.
Langkah lain yang perlu diupayakan adalah pemberian sanksi tegas kepada kepala daerah terbukti memaksa PNS terlibat kegiatan politik praktis sesuai keinginan kepala daerah, misalnya sanksi berupa pencopotan dari jabatannya, kata Irmon menambahkan.(ant/tm)