Ny. M. Tanalepy, A.Md. S.Sos |
MASOHI Tribun-Maluku.Com– Konflik berdarah yang sering terjadi antar warga di Maluku terutama di Kabupaten Maluku Tengah, kini belum dapat diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah Provinsi Maluku baik dan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah serta Kapolda Maluku dan Pangdam XVI Pattimura.
Sebagai contoh, konflik yang terjadi antar warga Negeri Haria-Porto, Negeri Mamala-Morela, Negeri Tuhaha-Sirisori Amalatu maupun Negeri Pelau-Kailolo.
Berdasarkan pantauan LSM TOPAN-RI terlihat kalau kondisi sudah dinyatakan aman itu berarti tidak ada lagi saling curiga dan mencurigai antar warga maupun tidak lagi dilakukan sistim pengamanan oleh aparat keamanan TNI dan Polri.
Untuk itu diharapkan pihak Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Maluku Tengah, harus bijak dalam melakukan tindakan perdamaian kepada negeri-negeri yang bertikai.
Karena negeri-negeri yang ada di Maluku memiliki sistim kehidupan orang basudara pela dan gandong berdasarkan adat istiadat yang berlaku sejak leluhur.
Hasil investigasi LSM TOPAN-RI di negeri Sirisori Amalatu Kecamatan Saparua pekan kemarin, yang dilakukan oleh Ketua Wilayah Maluku dan Ketua Daerah Kabupaten Maluku Tengah, ternyata konflik antar warga Sirisori Amalatu dan Warga Tuhaha terjadi sejak tahun 2012 lalu yang disebabkan oleh batas tanah.
Raja Negeri Sirisori Amalatu F. T. Kesaulya menjelaskan, hingga kini belum pernah ada upaya dari pihak Pemerintah Provinsi Maluku dan Maluku Tengah melakukan peninjauan dan bahkan belum melakukan upaya perdamaian.
Kendati demikian Raja Sirisori Amalatu dan staf negerinya juga sangat menyayangkan kalau tindakan oknum kepolisian yang semena-mena dalam melakukan penangkapan kepada beberapa warganya yang kemudian mencebloskan mereka ke penjara dan dilakukan penyiksaan yang sudah melanggar HAM, seperti mereka di pukul dengan kayu rep 5×7 cm, diberi batu untuk di makan sampai patah gigi, dan berbagai perlakuan
lainnya.
Kesaulya, Staf Negeri maupun Saniri Negeri menyayangkan tindakan aparat kepolisian tersebut sehingga hilangnya rasa kepercayaan mereka kepada kepolisian di daerah ini terutama di kecamatan Saparua.
Olehnya itu, Kesaulya bersama masyarakat di negeri tersebut menilai bahwa Pemda Maluku Tengah mandul
dalam menangani konflik warga Negeri Sirisori Amalatu dan Negeri Tuhaha tersebut.
Sementara itu di tempat terpisah Raja Negeri Tuhaha Ny. M. Tanalepy A.Md. S.Sos di kediamannya mengatakan, kalau selama konflik berdarah yang melanda kedua negeri bertetangga ini tahun 2012 lalu tidak ada perhatian Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk melakukan upaya
perdamaian.
Dia juga menyesali bahwa tidak satupun bantuan dari Pemerintah Provinsi Maluku maupun Kabupaten Maluku Tengah kepada 6 warganya yang menjadi korban penembakan dan 13 kepala keluarga (KK), yang rumahnya di bakar oleh masyarakat Sirisori Amalatu saat konflik terjadi.
Tanalepy membenarkan kalau pihak Pemda Maluku dan Maluku Tengah serta pihak Kapolda Maluku dan Pangdam XVI Pattimura,dinilai tidak mampu untuk melakukan penanganan kasus kedua negeri ini, termasuk melakukan penangkapan terhadap persenjataan organik yang digunakan oleh warga masyarakat Sirisori Amalatu untuk melakukan penyerangan dan penembakan kepada warga masyarakat Negeri Tuhaha.
Menurut Tanalepy, kalau semua persenjataan yang digunakan warga Sirisori Amalatu tidak dapat di sita, maka masyarakat Negeri Tuhaha bersumpah bahwa mereka tidak akan berdamai dan sampai kapan pun mereka bisa melakukan pembantaian besar-besaran.
Oleh karena itu sangat di harapkan agar pihak Pemda Maluku maupun Maluku Tengah serta pihak Kapolda Maluku dan Pangdam XVI Pattimura dapat menyikapi hal ini, sekaligus melakukan penangkapan bagi senjata organik yang ada di tangan masyarakat Negeri Sirisori Amalatu, serta dapat menjadi jembatan perdamaian bagi kedua negeri tersebut.(TM07)