Ambon,Tribun-Maluku.com : Bencana gempa bumi yang mengguncang beberapa daerah di Provinsi Maluku, sontak memicu simpati dan empati berbagai pihak. Bahkan pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap bencana yang melanda provinsi seribu pulau ini.
Kepala BNPB Donny Munardo bahkan beberapa kali bolak balik Jakarta Ambon, guna melihat dan mengkoordinasi bantuan BNPB kepada korban gempa di Maluku. Kucuran miliaran rupiah diberikan pemerintah kepada Maluku, dan masa tanggap darurat pun diperpanjang hingga 2020. Bencana gempa di Maluku bahkan membawa orang nomor satu di republik ini ke Kota Ambon.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Maluku guna melihat langsung dampak gempa yang dialami Maluku berdampak pada disulapnya lokasi pengungsian menjadi terlihat nyaman.
Rumah sakit darurat di Tulehu disulap menjadi rumah sakit dengan fasilitas rumah sakit internasional, alat pendingin ruangan dipasang, tempat tidur dirubah menjadi tempat tidur kelas internasional. Semua demi “mencari nama” bagi penguasa. Dan laporan penanganan pengungsi pun dibuat serapi mungkin guna Bapak Senang.
Namun sayangnya semua itu hanya semu, laksana fatamorgana di Padang gurun yang tak bertepi. Setelah orang nomor satu di republik ini menyatakan amatoo dari bumi raja raja, maka sikap asli mereka yang katanya diberikan amanat oleh negara untuk menangani pengungsi mulai kelihatan. Topeng senyum dengan kata kata manis siap pak presiden sontak berubah menjadi sikap apatis dan tidak mau tahu.
Nun jauh di kaki gunung Salahutu Negeri Waai Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah tempat ribuan warga negeri Waai menaruh harap akan keselamatan, harus menerima kenyataan dianaktirikan. Lokasi pengungsian yang awalnya dihiasi profil tank oleh pemerintah guna memberikan fasilitas air bersih kepada para pengungsi, hanyalah hiasan sementara.
Tanpa ada rasa simpati sedikitpun pemerintah “merampok” wadah penampungan air bersih itu dari tangan warga. Belasan profil tank tempat yang menjadi harapan masyarakat dilokasi pengungsian untuk mendapatkan air bersih dicabut dari lokasi pengungsian Jubah Ungu di kaki gunung Salahutu.
“Dong dari PU su datang tiga angka akang (mereka dari Dinas Pekerjaan Umum sudah datang mengangkatnya – red), ” ujar beberapa warga pengungsi lirih.
Alhasil guna mendapatkan air bersih, warga harus rela turun kembali ke negeri mereka untuk mendapatkan air bersih. Sedangkan beberapa warga memilih memanfaatkan salah satu sumber air yang berada dibawah lokasi pengungsian. Jalan cadas dan licin menjadi resiko tersendiri untuk mendapatkan air layak konsumsi.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak tersedianya jaringan penerangan atau listrik diareal tersebut. Bila malam menjelang nyala lampu teplok Made in sendiri menghiasi tenda pengungsi.
Memang ada beberapa tenda yang punya nyala listrik, namun itu berasal dari genset pribadi. Padahal dijalan utama lokasi pengungsian, berdiri kokoh barisan tiang listrik. Namun entah mengapa pemerintah tidak mau membagi jaringan listrik kepada warga yang mengungsi.
Senandung lirih dan dan suara pilu ribuan warga pengungsi di lokasi pengungsian Jubah Ungu Waai, hanya bisa disapu angin dan dimakan panas dan dinginnya suhu dikala siang dan Malam lenyap entah kemana.
Mereka yang duduk di kursi empuk yang disapa anggota dewan yang terhormat juga seakan tidak peduli. Suara masyarakat negeri Waai yang ikut menghentar anggota dewan yang terhormat tuk nikmati empuknya kursi DPRD yang bernilai jutaan rupiah.
Suara masyarakat Waai yang ikut andil sehingga mereka mereka itu mendapatkan titel 5 tahunan selaku bapak ibu dewan terhormat tak digubris sedikitpun.
Malam semakin larut, dewi malam mulai menunjukan keangkuhan dan tingkahannya lewat sinar yang menyapa membawa aku harus berlalu dari lokasi pengungsian itu.
Dengan berbekal lampu senter telpon genggam aku berjalan dan kadang terantuk pada akar pohon.
Disana dilokasi pengungsian Jubah Ungu di kaki gunung Salahutu, tempat ribuan warga Waai menaruh asa akan keselamatan, ada rintihan lirih ada suara pilu yang hanya bisa meratap dalam hati akan perjalan hidup mereka.
Lalu apakah artinya perpanjangan masa tanggap darurat hingga tahun 2020. Lalu apakah artinya gelontoran miliaran rupiah yang dikucurkan negara buat pengungsi korban gempa di Maluku.
Semua itu hanya tinggal tanya yang menggantung. Semua itu hanya tinggal harap yang kian pupus. Hanya mereka pengambil kebijakan yang tahu apa jawabnya.