KOMPLEKs Museum “Siwalima” Provinsi Maluku yang terletak di Jalan Taman Makmur, Desa Air Salobar, Kec. Nusaniwe, Kota Ambon itu berada di area ketinggian seluas 3,7 hektar.
Untuk mencapai kesana, setiap pengunjung harus masuk lewat jalan tunggal dari gapura Jalan Utama Dr. Malaiholo ke arah Negeri Amahusu lalu belok kiri. Patung Kapitan Pattimura menyambut di sebelah kanan pintu masuk area.
“Kita duduk di balkon saja,” kata Jean Saiya, Kepala Museum “Siwalima” Maluku yang menyambut kedatangan penulis.
Sebelumnya, penulis jumpa dengan perempuan asal dari Negeri Aboru di Pulau Haruku itu saat Pemutaran dan Diskusi Film “Beta Mau Jumpa” di Auditorium Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Selasa (28/1) siang. “AC sedang rusak, sedangkan di dalam udaranya terasa panas sekali.”
Kepala Museum itu kemudian menceritakan mengenai sejarah perkembangan museum dari masa ke masa. Koleksi yang ada di tiap gedung pameran juga diceritakan secara singkat.
Ketika penulis menanyakan kembali mengenai arca yang ditemukan saat pelebaran Bandara Sultan Baabulah di Ternate, Jean nampak sedikit kaget.
“Arca Perwujudan Dewi Parwati itu disimpan di gudang. Saat ini belum bisa dipamerkan di ruang pameran karena kondisinya masih belum dibersihkan. Juga karena data mengenai arca itu tidak ada sama sekali. Kami hanya tahu, itu adalah arca perwujudan Dewi Parwati,” kata dia sambil memanggil seseorang bernama Emo alias Roland untuk membawa penulis ke gudang dimaksud.
Setelah Emo datang, barulah pintu gudang itu dibuka. Di dalamnya terdapat benda-benda peninggalan sejarah yang masih anonim. Ada keramik China, tembikar tanah (gentong) Thailand, meriam mini (cekbang), seperangkat alat musik dan lain-lain. Beberapa buku Sidi atau Permandian juga tergeletak di atas rak. Lukisan kuno juga tersimpan disana.
Di lantai, tampak sesosok arca berbaring di atas alas. Itulah arca yang dimaksud Perwujudan Dewi Parwati.
Sosok ini dalam mitologi agama Hindu, merupakan istri (chakti) dari Dewa Siwa. Dewi Parwati, artinya “mata air pegunungan” berasal dari Kerajaan Himalaya, India. Dia memiliki dua orang anak yang juga menjadi Dewa: Ganesha dan Aghni (atau kadang dianggap Katikeya). Dewi Parwati bertangan empat dan membawa senjata (laksana).
Arca Perwujudan Dewi Parwati itu tampak terpotong menjadi dua bagian di atas perutnya. Deskripsi fisik arca itu adalah:
Tinggi keseluruhan : 96 cm
Lebar Arca : 38 cm
Tinggi Arca : 84 cm
Tebal keseluruhan : 32 cm
Tinggi Lapik Arca : 12 cm
Tebal Arca : 22 cm
Lebar keseluruhan : 40 cm
Arca Perwujudan Dewi Parwati itu berdiri tegak di atas lapik (padmasana) dengan sikap samabhagga, menempel pada stella (pilar penyangga).
Arca memiliki empat buah tangan, dua tangan menyatu di depan perut dalam sikap samadi sambil memegang kuncup padma (teratai/lotus). Pandangan mata nampak ke depan tapi terlihat teduh. Ini menandakan proses pelepasan.
Dua tangan belakang lainnya ditekuk ke atas menempel pada stella, memegang senjata dewa (laksana). Tangan kanan memegang tasbih (aksamala), tangan kiri memegang penghalau lalat (camara/kamadalu).
Secara ikonografi, yaitu ilmu untuk meneliti fisik arca, Arca Perwujudan Dewi Parwati itu mengenakan mahkota yang disebut Chandrakapala/Jatamakutta/Karandamakutta pada kepalanya. Simping mahkota itu menjurai hingga ke bawah kening.
Sebuah kalung (hara/vaijayanti) berhiaskan permata berbentuk segitiga juga melingkari leher dan menjuntai hingga di atas buah dada yang cukup besar. Pada kedua telinga arca terdapat anting panjang (kundala) berhiaskan permata hingga ke bahu.
Arca itu juga mengenakan kelat bahu atau gelang lengan (keyura) pada tiap tangan. Gelang tangan (kankana) terutama untuk kedua tangan di bagian depan juga nampak terlihat.
Di sisi kiri dan kanan Arca, terdapat pot bunga (vas), yang dari dalamnya keluar batang teratai (padma/lotus) hingga setinggi siku Arca.
Sejak abad XIII-XV, pembuatan personifikasi tokoh yang meninggal ke dalam bentuk Arca (pendharmaan) sudah menjadi tradisi yang biasa di Jawa, khususnya Jawa Timur. Biasanya, sosok tokoh itu di-dharma-kan setelah 12 tahun dari kewafatannya.
Proses itu harus didahului oleh upacara Sraddha, yaitu penghormatan terhadap roh tokoh/leluhur itu. Upacara ini bisa berlangsung selama delapan hari. Arca itu kemungkinan berasal dari abad XIII-XV yang juga telah melalui proses Sraddha.
Melihat fisik Arca, sangat jelas bahwa itu adalah Arca berwujud perempuan. Hanya ada beberapa kemungkinan, siapa yang di-dharma-kan menjadi Arca Perwujudan Dewi Parwati (Parvati) tersebut.
Secara teologis, mereka yang melakukan upacara Sraddha biasanya adalah penganut Hindu-Siwa. Dan, lebih jelas lagi adalah penganut Tantrayana Hindu (Tantrisme) yang dikenal juga sebagai Chakta (Saktisme), yaitu mereka yang lebih memuja perwujudan luar (arcana) dari sosok perempuan.
Penanda lainnya bahwa Arca ini berasal dari abad XIII-XV adalah adanya pot bunga (vas) dengan bunga teratai/lotus (padma) yang menjulur dari dalamnya. Itu adalah ciri masa Kerajaan Majapahit. Sedangkan Kerajaan Singhasari, tidak menggunakan pot.
Abad XIII-XV merupakan masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Hanya ada tiga sosok perempuan yang lebih dihormati pada masa-masa itu sehingga dilakukan upacara Sraddha secara besar-besaran:
1. Permaisuri dari Raden Wijaya alias Ra Dyah Harsyawijaya alias Nararya Sanggramawijaya alias Kertarajasa Jayawardhana, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari.
2. Istri dari Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardhana, yaitu Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri alias Rajapatni.
3. Putri Kertarajasa yang kemudian menjadi penguasa Majapahit ketiga, yaitu Tribhuwana Wijayatunggadewi dengan gelar abhiseka Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (1328-1350).
Penguasa Majapahit yang paling terkenal dan wilayah kekuasaannya paling luas adalah Hayam Wuruk yang bergelar Maharajasa Sri Rajasanagara (1350-1389).
Pada masa Hayam Wuruk, Maluku menjadi mitrekasatata. Nama-nama Ambwan (Ambon), Muar (Kei), Gurun (Kei), Seran (Seram), Wandan (Banda) pun disebutkan dalam Kitab Negarakertagama. Beberapa kali utusan Majapahit juga datang ke Maluku.
Pada masa Hayam Wuruk, dilakukan upacara Sraddha untuk sosok tokoh yang sudah meninggal, yaitu ibunya dan neneknya. Ibu Hayam Wuruk, yaitu Tribhuwana Wijayatunggaadewi bergelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (1328-1350). Tribhuwana hidup hingga 1372, dan di-dharma-kan 12 tahun kemudian sekitar tahun 1384.
Oleh sebab itu, kemungkinan Arca Perwujudan Dewi Parwati itu baru dibuat sekitar tahun 1384 (abad XIV) dan dibawa ke Maluku setelahnya tapi masih pada masa Hayam Wuruk hingga kewafatannya (1389).
Ada dua tujuan ditempatkannya Arca Dewi Parwati di Maluku Utara. Pertama, terkait hubungan persahabatan atau “tanda penaklukan” yang disebut sebagai Jayacinha/Jayastambha.
Kedua, sebagai media pemujaan. Kemungkinan, pada masa itu sudah ada pemeluk Hindu di Maluku Utara (Ternate). Ini bisa dilihat dari segi pemujaannya, apakah itu istadewata (arca pemujaan pribadi), kuladewata (arca pemujaan keluarga) atau garbadewata (arca yang dipuja oleh komunitas/masyarakat umum).
Perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan waktu dan lokasi pembuatan Arca Perwujudan Dewi Parwati tersebut. Selain pakar arkeologi, terutama ahli ikonografi dan ikonometri, juga diperlukan ahli bebatuan (geolog), kimiawan, dan juga sejarawan.
Oleh : Dr. RAKEEMAN R.A.M. JUMAAN
Pengelola Rumah Baca “HITI-HITI HALA-HALA” Ambon dan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama (FORMASAA) Indonesia Periode 2018-2020