Dinamika kemiskinan dan pengangguran di Maluku agaknya tidak lepas dari kondisi wilayah perdesaan dan perkotaannya.
Oleh : Aziem Nur Febriansyah, SST
Menjadi fenomena yang lazim di masyarakat ketika kita mengidentikkan pengangguran dengan kemiskinan. Dua masalah primadona ini memang sulit dipisahkan.
Bahkan Hoover dan Wallace (2003) mengemukakan bahwa tingkat kemiskinan sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi, dimana semakin banyak pengangguran maka semakin banyak pula kemiskinan.
Masalah pengangguran dan kemiskinan membelenggu berbagai daerah termasuk salah satunya Maluku.
Menurut data tahun 2020 versi Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku mencatatkan rekor kurang mengenakan dengan memiliki persentase penduduk miskin tertinggi keempat (17,44 persen) dan Tingkat Pengangguran Terbuka tertinggi ketiga nasional (7,02 persen).
Mirisnya, meski dari tahun ke tahun mengalami trend penurunan, angka tersebut masih belum bisa dikatakan sejahtera.
Kemiskinan dan Pengangguran di Maluku
Dinamika kemiskinan dan pengangguran di Maluku agaknya tidak lepas dari kondisi wilayah perdesaan dan perkotaannya.
Data BPS Tahun 2020 menunjukkan bahwa wilayah perkotaan memiliki persentase penduduk miskin jauh lebih kecil dari perdesaan (6,23 dibanding 26,21 persen) namun dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) jauh lebih tinggi (10,49 dibanding 4,41 persen).
Kondisi ini seolah menerangkan bahwa di Maluku masalah pengangguran diwakili oleh perkotaan sedangkan kemiskinan diwakili oleh perdesaan.
Berdasarkan pernyataan Hoover dan Wallace (2003) sebelumnya, seharusnya perkotaan memiliki kemiskinan lebih tinggi dikarenakan penganggurannya yang lebih banyak tetapi realita desa-kota ternyata memberi pendapat lain.
Alasan tingginya pengangguran di perkotaan dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, tingginya daya tahan menganggur masyarakat perkotaan.
Masyarakat perkotaan umumnya memiliki fasilitas dan sumber daya untuk mengakses pendidikan tinggi dengan harapan lebih menjamin masa depan. Padahal, pengangguran di perkotaan kebanyakan berasal dari lulusan pendidikan tinggi.
Pengangguran terdidik ini umumnya cenderung pilih-pilih pekerjaan, mereka lebih memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak diinginkan.
Alasan ini juga didukung oleh besarnya biaya yang sudah mereka investasikan selama menempuh pendidikan.
Namun, pengangguran dari golongan terdidik ini tak lantas langsung menjadi miskin.
Rata-rata pengangguran dari lulusan pendidikan tinggi berasal dari keluarga berada yang masih mampu menyokong si penganggur agar terhindar dari status miskin.
Inilah yang menyebabkan meski pengangguran di kota tinggi tetapi kemiskinannya lebih kecil dari perdesaan.
Kedua, kurang tersedianya lapangan kerja yang memadai. Masih memiliki hubungan dengan alasan pertama, jumlah lulusan pendidikan tinggi belum diimbangi dengan lowongan kerja yang ada.
Akibat kurangnya lowongan pada bidang studi mereka, lulusan terdidik yang kalah saing di dunia kerja menjadi kesulitan mencari pekerjaan padahal lulusan-lulusan terdidik ini jelas menolak pekerjaan serabutan dan bergaji rendah.
Ketiga, membanjirnya tenaga kerja dari perdesaan. Masyarakat desa bermigrasi ke perkotaan untuk mencari lapangan kerja yang diinginkan sehingga makin menambah hiruk-pikuk pasar tenaga kerja.
Mereka diantaranya yaitu penduduk perdesaan yang menempuh pendidikan ke perkotaan tapi setelah lulus enggan pulang ke kampung halaman, lalu ada juga lulusan dari perdesaan karena tidak tersedianya lapangan kerja di desa memutuskan untuk pergi ke kota.
Selanjutnya, masalah kemiskinan di perdesaan dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, terbatasnya lapangan kerja dan sumber daya di perdesaan.
Lapangan kerja di perdesaan Maluku umumnya terbatas pada sektor tanaman pangan dan perikanan yang notabene berpendapatan kecil, akibatnya kesejahteraan desa sulit ditingkatkan.
Kondisi ini turut diperparah dengan metode pertanian dan penangkapan ikan yang masih tradisional yang mengakibatkan dari sisi produksi cenderung kecil.
Kedua, minimnya kesejahteraan tenaga kerja di perdesaan. Berbeda dengan kondisi masyarakat perkotaan, daya tahan menganggur masyarakat perdesaan cenderung lebih rendah.
Karena minimnya pendidikan dan kebutuhan hidup, masyarakat desa mau bekerja apa saja walau upahnya rendah. Lebih parahnya lagi tenaga kerja di perdesaan didominasi oleh status pekerja tidak dibayar.
Mereka umumnya adalah pekerja keluarga yang bekerja membantu usaha keluarganya. Sehingga, tidak heran kalau pengangguran di desa rendah tetapi kemiskinannya tinggi.
Ketiga, sulitnya aksesibilitas. Kondisi geografis Maluku yang kepulauan menjadi salah satu kendala miskinnya perdesaan.
Masalah aksesibilitas mengakibatkan arus barang dan jasa ke desa terganggu, sehingga untuk berdagang, pengiriman hasil bumi, dan pengiriman berbagai material akan sangat terganggu. Sulitnya aksesibilitas seolah menghalangi desa tersentuh dari polesan tangan pembangunan.
Penutup
Kemiskinan dan pengangguran di Maluku memang sama-sama tinggi tapi bila dilihat dari sudut pandang kewilayahan ternyata perkotaan menjadi penyumbang pengangguran sedangkan perdesaan menjadi pusat kemiskinan.
Kemiskinan perdesaan akan menciptakan efek domino terhadap pengangguran di perkotaan yang akhirnya kembali meninggalkan sebuah pertanyaan besar di benak rakyat Maluku yaitu “Kapan kondisi ini akan berakhir?”.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Badan Pusat Stastistik