Oleh : Juan Tuhuteru
Aroha adalah upacara keluarga (soa) untuk memperingati roh-roh leluhur dan dilakukan bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. (baca Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I: oleh Bartels, 2017 ).
Tradisi tersebut merupakan salah satu tradisi adat masyarakat muslim pada umumnya di Maluku yang berkembang dan bertahan hingga kini. Aroha dirayakan oleh hampir seluruh kampung yang beragama Islam di Maluku.
Namun, dalam pelaksanaannya berbeda antar kampung, tak terkecuali masyarakat Negeri Buano Utara.
Umumnya, pelaksanaan Aroha bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad saw., yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah, (baca, Aroha sebagai Sarana Solidaritas Sosial: Studi Tentang Tradisi Keagamaan Masyarakat Negeri Hena Lima, oleh Soulisa).
Berbeda dengan Negeri Buano Utara, Abdulah Salasela, selaku anggota BPD Buano Utara saat di menyatakan “perayaan Aroha disini dilaksanakan mengikuti perhitungan bulan langit, jadi ada nash perhitungan tersendiri di negeri ini, dia tidak mengikuti perhitungan Masehi”.
Hal yang sama di sampaikan Sahrim Nanilette selaku kepala Soa Ola bahwa “pelaksaan Aroha di negeri Buano Utara itu dilakukan hampir sebulan karena ada beberapa tahapan” katanya saat di wawancarai di lain tempat.
Sahrim menambahkan, dalam pelaksanaannya, “diawali dengan bela kelapa atau teta nienaa dalam bahasa buano. Satu minggu setelahnya tepat hari kamis, dilakukan prosesi penyembelihan ayam atau hunu manu (bahasa buano).
Keesokan harinya dilangsungkannya prosesi tela huai’ (bahasa buano), begitupun pada perayaan kedua (minggu ketiga), diawali dengan penyembelihan ayam dan diikuti tela huai’ di hari Jumat”.
“Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun itu, tidak hanya menjadi momentum memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw., melainkan juga “wujud dari berkurban, pemenuhan atas niat dan atau nadzar juga membangun silaturahim serta kesyukuran atas apa yang diperoleh selama setahun dengan menanggung makan dan minum serta lainnya dari masyarakat yang hadir baik marean (soupuan/bahasa buano) maupun maa leleaanii” tutur Hamdan Palirone, salah satu pelaksana atau opo hailale (bahasa buano).
Sebagai negeri adat yang didalamnya terdapat 30 mata rumah dengan nilai dan norma tersendiri, perayaan aroha sudah menjadi identitas masyarakat setempat yang diwariskan sejak leluhur.
Namun, perhatian pemerintah baik daerah maupun pusat terkait pelaksanaan tradisi di daerah tersebut hingga saat ini belum ada.
Salasela, mengatakan bahwa selama ini perayaan Aroha terlepas dari para pelaksana atau opo hailale, sifatnya gotong royong. Dari pemerintah itu tidak ada, padahal ini kan budaya, maka harapan kami baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melihat sampai ke masyarakat.
“Kalau hanya tengah-tengah saja, ibarat tanaman jika tidak menyiram maka akan mati ketika musim panas. Padahal tradisi ini masyarakat ini kan kekayaan Negara,” ungkapnya.
Harapan yang sama juga disampaikan kepala soa Ola, Nanilette dan Palirore bahwa proses pelaksanaan aroha ini sendiri memakan anggaran setiap opo hailale atau pelaksanaan itu sekitar 8-10 juta sehingga harapannya ke depan, ada perhatian pemerintah sehingga bisa mengurangi beban para pelaksana karena ketika tiba giliran mereka untuk melaksanakan maka mereka tidak bisa mundur karena itu menjadi keharusan atau wajib bagi mereka.
Bela kelapa, satu minggu kemudian baru pemotongan ayam di hari kamis, kemudian jumatnya keluar tela huai, kemudian di kamis berikutnya dilakukan pemotongan ayam lagi seperti awal, kemudian di susul tela huai’ di hari berikutnya. Namun telah huai di perayaan pertama dan kedua berbeda pada design telah huaii.