Tujuan utama pembangunan inklusif adalah mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kesempatan kerja, akses terhadap kesempatan ekonomi dan jaring pengaman sosial. World Economic Forum (WEF) mendefinsikan ekonomi inklusif sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan perluasan kesempatan kerja dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat.
Dibutuhkan kebijakan pembangunan ekonomi yang dirancang agar masyarakat dapat dengan mudah mengkases sumber daya ekonomi dan adanya kesempatan kerja, sehingga masyarakat mampu menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Definisi WEF tentang ekonomi inklusif tersebut tidak otomatis atau langsung dapat diimplementasikan di Indonesia, hal ini dikarenakan terdapat berbagai faktor salah satunya adalah disparitas dan kondisi sosial budaya di Indonesia.
Oleh karena itu Bappenas mendefinsikan pembanguan ekonomi inklusif sebagai pertumbuhan ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah.
Tujuan pembangunan ekonomi inklusif adalah memastikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta mampu menurunkan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Selain itu, mampu memperluas akses penggunaan infrastruktur dasar dan keuangan serta kesempatan pengembangan kapabilitas sumber daya manusia bagi seluruh masyarakat.
Bappenas juga merilis Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI) yang dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang fokus dalam mendorong pembangunan yang lebih inklusif. IPEI mengukur inklusivitas pembangunan melalui aspek pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, kemiskinan, akses dan kesempatan.
Terdapat tiga pilar dalam IPEI yaitu Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi; Pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan serta Perluasan akses dan kesempatan.
Pada tahun 2016 nilai Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI) Provinsi Maluku baru mencapai 4,98 dan nilai tersebut lebih rendah dari nilai IPEI Indonesia yang telah mencapai 5,64.
Selanjutnya pada tahun 2019 nilai IPEI Provinsi Maluku mengalami peningkatan menjadi 5,39; sehingga dapat dikatakan selama periode tahun 2016 – 2019 terdapat peningkatan dan perbaikan sangat baik pada berbagai indikator yang mempengaruhi IPEI Provinsi Maluku.
Dengan nilai IPEI 5,39 menempatkan Provinsi Maluku pada urutan ke-29 dari 34 Provinsi di Indonesia pada tahun 2019.
Untuk level kabupaten/kota di Provinsi Maluku pada tahun 2019, angka IPEI tertinggi terjadi di Kota Ambon dengan nilai IPEI 5,78; diikuti Kabupaten Maluku Tenggara dengan nilai IPEI 5,48 dan Kabupaten Maluku Tengah sebesar 5,38 nilai IPIE pada tahun 2019.
Jika dilihat lebih jauh maka pada tahun 2019 pilar perluasan akses dan kesempatan untuk Provinsi Maluku memiliki nilai indeks yang lebih tinggi dari 2 pilar yang lain yaitu sebesar 6,25. Pada urutan kedua adalah pilar pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan dengan nilai indeks 5,68; selanjutnya adalah pilar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan nilai indeks 4,88.
Pilar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Provinsi Maluku, masih memiliki nilai yang paling rendah diantara 3 pilar IPEI tahun 2019. Sehingga hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Provinsi Maluku dalam proses perencanaan pembangunan ke depan.
Hal ini dapat diartikan sebagai wajib adanya peningkatan skala ekonomi yang ditandai dengan peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mesti terus dilakukan secara kontinu.
Dengan skala ekonomi yang meningkat dan lebih besar, maka pembagian “kue kemakmuran” akan semakin dinikmati/dirasakan masyarakat di Provinsi Maluku.
Tahun 2019 merupakan kondisi dimana belum ada pandemi Covid-19, sehingga masyarakat lebih mudah melakukan interaksi atau aktivitas ekonomi tanpa ada pembatasan kegiatan sosial budaya, keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat umum, dan akses moda transportasi.
Sehingga pengaruh dari pandemi Covid-19 di tahun 2020 sangat dirasakan dan sangat mempengaruhi aktivitas perekonomian di Provinsi Maluku.
Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik tanggal 5 November 2020, pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku pada triwulan III 2020 mangalami kontraksi sebesar 2,38 jika dibandingkan dengan triwulan III 2019.
Pandemi Covid-19 yang masih belangsung menimbulkan banyak masalah turunan. Resesi Ekonomi Provinsi Maluku yang terjadi pada triwulan III 2020 diikuti berbagai bayang-bayang akan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.
Karena secara teori, pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memiliki hubungan yang erat, Artur Okun (Teori Okun’s Law) mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran, sehingga semakin tinggi tingkat pengagguran maka semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi.
Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik tanggal 5 November 2020 lalu, tingkat pengangguran pada level Nasional terjadi peningkatan angka dari 5,28 persen pada Agustus 2019, menjadi 7,07 persen pada Agustus 2020.
Sejalan dengan itu pada level Provinsi Maluku, Tingkat Pengagguran Terbuka dari 6,69 persen pada Agustus 2019 meningkat menjadi 7,57 persen pada Agustus 2020. Rilis angka Pengangguran tersebut secara bersamaan dengan rilis data Pertumbuhan Ekonomi triwulan III 2020 yang secara tidak langsung dapat dikatakan terjadinya resesi ekonomi di Provinsi Maluku.
Ditengah situasi pandemi Covid-19, muncul berbagai spekulasi dimana bayang-bayang memburuknya masalah kemiskinan akan terjadi di tengah situasi resesi ekonomi dan meningkatnya pengangguran di Provinsi Maluku.
BPS Akan merilis angka kemiskinan kondisi September 2020 pada tanggal 15 Januari 2021 mendatang. Rilis kemiskinan terakhir yang dilakukan BPS pada tanggal 15 Juli 2020 menunjukkan tingkat kemiskinan Provinsi Maluku pada Maret 2020 mencapai 17,44 persen mengalami penurunan dari periode September 2019 (17,65 persen) dan Maret 2019 (17,69 persen).
Pada periode awal tahun 2020 sampai dengan Maret 2020 dampak pandemi Covid-19 belum terasa atau berdampak di Provinsi Maluku, dimana kasus pertama terkonfirmasi positif Covid-19 di Provinsi Maluku terjadi pada tanggal 22 Maret 2020. Kasusnya terus terjadi peningkatan sampai dengan 8 Desember 2020 sudah tercatat sebanyak 4.758 positif Covid-19 (sumber : http://corona.malukuprov.go.id).
Tahun 2020 hanya tinggal beberapa minggu lagi dan akan memasuki tahun 2021, pandemi Covid-19 dan penyebarannya masih terus terjadi dan belum tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Disisi lain, perekonomian harus tetap tumbuh, aksebilitas dan kesempatan kerja harus tetap mejadi prioritas penting bagi masyarakat.
Untuk itu, diperlukan kerja keras dan kerja cerdas dari berbagai pihak, terutama untuk Pemerintah Provinsi Maluku sangat diharapakan berbagai skenario kebijakan dalam meningkatkan perekonomian inklusif di masa pandemi ini.
Pembangunan Ekonomi Inklusif di Provinsi Maluku harus terus diupayakan agar masalah kemiskinan dapat dituntaskan sehingga cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dapat tercapai.
Oleh : Jefri Tipka, S.Si, M.Si; Kepala Seksi Neraca Produksi BPS Provinsi Maluku