Ambon,Tribun-Maluku.com : Sidang perkara pra peradilan antara Ferry Tanaya selaku pemohon melawan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku selaku pihak termohon terus bergulir di Pengadilan Negeri Ambon.
Dalam sidang hari ketiga perkara pra peradilan ini yang digelar di Pengadilan Negeri Ambon, Rabu (24/2/2021) beragendakan pembacaan replik oleh pihak pemohon.
Dalam repliknya Ferry Tanaya yang diwakili tiga kuasa hukumnya yakni Herman. A. Koedoeboen, Firel. E. Sahetapy dan Henry. S. Lusikooy mengungkapkan. Kejati Maluku selaku pihak termohon dalam perkara ini telah keliru memahami salah satu asas hukum yang berlaku yakni asas Nebis In Nidem.
Dijelaskan, dalam jawabannya terhadap permohonan pra peradilan dari pemohon. Termohon menyatakan bahwa pengertian asas Nebis In Nidem adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas suatu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.
Bahwa dalam pasal 76 KUHPidana selengkapnya berbunyi kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Dijelaskan pemohon, bahwasannya dalam rumusan pasal 76 KUHPidana tersebut tidak terdapat frasa melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas suatu perbuatan sebagaimana yang disampaikan pihak termohon. Akan tetapi esensial pasal 76 KUHPidana adalah orang tidak boleh dituntut karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Dimana frasa dituntut lanjut pihak pemohon dalam doktrin hukum mengandung pengertian luas dan pengertian sempit. Pengertian luas tuntutan pidana (strafvordering) yaitu meliputi seluruh proses pidana yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pada putusan hakim. Sedangkan dalam artian sempit hanya meliputi penuntutan saja.
Bahwa dengan demikian dalil dari pihak termohon hanyalah dilandasi pada lingkup pengertian sempit saja. Oleh karena itu dalil pihak termohon secara doktrin hukum yang dikaitkan dengan pasal 76 KUHPidana, tidak dapat digunakan sebagai dalil bantahan atas pokok pra peradilan pemohon.
Dalam bagian lain repliknya itu pihak pemohon juga mengungkapkan. Tidak terdapat dalil termohon yang secara khusus membantah atau menguraikan makna amar putusan dictum 2 amar putusan pra peradilan pertama (a quo). Akan tetapi pihak termohon hanya menyampaikan uraian teoritis tentang sifat suatu putusan yaitu, declaratoir, konstitutif dan termohon sama sekali tidak dapat mengkualifisir dictum dua amar putusan pra peradilan a quo (putusan pra peradilan yang pertama) apakah bersifat declaratoir ataukau konstitutif. Oleh karena menurut hukum pihak termohon secara diam diam mengetahui bahwa amar diktum 2 tersebut bersifat konstitutif yaitu meniadakan keadaan hukum yang ditumpahkan kepada pemohon sebagai tersangka.
Lebih ironis lagi dalil termohon yang mengatakan termohon tidak berwenang melaksanakan dictum 5 amar putusan a quo. Yang secara tegas menyatakan memerintahkan termohon merehabilitasi nama baik pemohon. Dimana dictum e 5 amar putusan a quo itu bersifat condemnatoir atau penghukuman, maka termohon wajib merehabilitasi nama baik pemohon sesuai amar putusan tersebut.
Pada bagian akhir repliknya pihak termohon mengungkapkan. Dengan adanya fakta hukum yang kuat bahwa penetapan pemohon sebagai tersangka (untuk kedua kalinya pada kasus yang sama) sesuai surat penetapan tersangka nomor B-212/Q.1/Fd.1/01/2021 tanggal 27 Januari 2021 adalah cacat hukum. Lantaran selain dilakukan berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku yang cacat hukum, tetapi juga surat penetapan tersangka adalah cacat hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu informasi yang berhasil didapat media ini dari tim kuasa hukum pemohon. Untuk sidang besok, Kamis (25/2/2021) dengan agenda keterangan saksi. Pihak pemohon akan mengajukan dua saksi ahli, yakni saksi ahli bahasa Indonesia, Valentino Latupapua dan saksi ahli pidana, Prof. Dr. Muhamad Said Karim, SH. MSi