Ambon, Tribun Maluku : Enam dari 22 negeri adat di Kota Ambon hingga saat ini belum memiliki Raja Definitif, memicu pertanyaan dan kegelisahan di tengah masyarakat adat.
Pemerintah Kota Ambon melalui juru bicaranya, Ronald Lekransy, pada Senin (9/6/2025), menegaskan bahwa peran Pemkot adalah memfasilitasi dan memastikan penetapan kepemimpinan negeri adat berjalan sesuai mekanisme serta tidak berimplikasi pada konflik, bukan mengintervensi atau mempercepat proses adat yang kompleks.
Penjelasan ini diberikan untuk menjawab beragam pertanyaan yang muncul di masyarakat, khususnya enam negeri yang masih menanti kehadiran pemimpin adat definitif mereka.
Lekransy merincikan bahwa dasar hukum bagi peran Pemkot Ambon dalam proses ini merujuk pada Undang-Undang serta Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 8, 9, dan 10 Tahun 2017.
“Regulasi ini secara jelas mengamanatkan tugas dan fungsi pemerintah daerah untuk mendukung penetapan kepemimpinan Negeri Adat,” ungkap Lekransy.
Dia menjelaskan, kepemimpinan pemerintahan desa adat atau negeri adat sangat berkaitan erat dengan penetapan mata rumah parentah atau marga yang secara turun temurun berhak memimpin negeri adat sebagai Raja. Raja diangkat melalui musyawarah adat oleh Lembaga Saniri Negeri, dan Pemkot Ambon menegaskan komitmennya untuk mendukung penuh semua upaya yang dilakukan oleh negeri adat itu sendiri.
“Tim Percepatan yang dibentuk Pemkot Ambon sifatnya hanya memfasilitasi, memediasi, serta mengumpulkan informasi bersama komponen negeri, untuk memudahkan mufakat,” terang Lekransy.
Menurut dia, Kesepakatan bersama dan atau kebulatan suara dilakukan oleh negeri sendiri dalam melahirkan Raja Definitif-nya, tanpa intervensi pemerintah Kota Ambon.
Lekransy mengakui enam negeri adat yang masih belum memiliki Raja Definitif adalah Negeri Seilale, Tawiri, Hative Besar, Amahusu, Passo, dan Rumahtiga.
Selain itu, ia menambahkan bahwa Negeri Leahari yang sebelumnya telah memiliki Raja Definitif, kini dalam kekosongan jabatan karena Raja mereka telah meninggal dunia dan posisi tersebut sementara diduduki oleh seorang Penjabat.
“Pemerintah Kota saat ini sedang menunggu usulan bakal calon Raja yang baru dari Saniri Negeri Leahari untuk kemudian ditetapkan dan dilantik sebagai Raja Definitif yang baru,” ucapnya.
Tahapan dan Dinamika di Enam Negeri Adat
Lekransy menjelaskan secara rinci tahapan dan dinamika yang terjadi di masing-masing dari enam negeri adat tersebut.
Di Negeri Rumahtiga, terdapat putusan pengadilan mengenai mata rumah parentah, namun sebagian Saniri Negeri menolak putusan tersebut, berpegang pada rekomendasi hasil kajian Tim UNPATTI yang merekomendasikan dua mata rumah parentah.
Laporan dari Penjabat Kepala Pemerintah Negeri Rumahtiga menunjukkan bahwa Saniri Negeri telah bermusyawarah dan menetapkan tiga mata rumah parentah berdasarkan berita acara, yang mengakomodir baik putusan pengadilan maupun usulan dari Tim UNPATTI.
Untuk Negeri Passo, sudah ada Peraturan Negeri (PERNEG) tentang mata rumah parentah, yaitu mata rumah Simau dan Sarimanela. Namun, mata rumah Simau mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dan memenangkan gugatan tersebut.
Atas putusan ini, tambah Lekransy, Saniri Negeri telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Maluku. Pemerintah Kota menyatakan akan menunggu sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (INCRACH) sebelum melangkah lebih lanjut.
Terkait dengan Negeri Amahusu, Saniri Negeri bersama Penjabat Kepala Pemerintah Negeri Amahusu telah menetapkan Peraturan Negeri Amahusu tentang mata rumah parentah, yaitu mata rumah Silooy-daCosta keturunan Boikeke, yang memiliki empat pancaran keturunan atau moyang: Hala, Harman, Juma, dan Maragasi.
Penetapan Perneg mata rumah parentah ini telah ada, dan Saniri Negeri telah menyurati kepala mata rumah parentah untuk melakukan rapat dalam rangka menetapkan bakal calon Raja atau Kepala Pemerintah Negeri untuk diusulkan kepada Saniri Negeri, kemudian diteruskan kepada Pemerintah Kota untuk disahkan pengangkatannya dan dilantik menjadi Raja Definitif sesuai mekanisme.
Untuk Negeri Hative Besar sedang dalam tahapan pengusulan rancangan peraturan negeri. Sebelumnya telah dilakukan penetapan mata rumah parentah di Negeri Hative Besar, yaitu dua mata rumah parentah: Tole dan Mandalisa.
Proses ini, ucap dia, sudah mencapai tahapan uji publik Rancangan Peraturan Negeri, dan Ranperneg tersebut telah diusulkan kepada Pemerintah Kota untuk dievaluasi dan diklarifikasi agar Ranperneg dapat ditetapkan menjadi Peraturan Negeri tentang mata rumah parentah.
Negeri Tawiri juga telah menetapkan mata rumah parentah dan memiliki peraturan negeri yang diundangkan tentang hal tersebut, yaitu mata rumah Helaha, Tuhuleru, dan Soplanit. Namun, terdapat kisruh internal terkait dualisme pada mata rumah Soplanit.
Upaya internal yang dilakukan adalah melalui Saniri Negeri bersama masyarakat lewat uji publik, yang menginginkan mekanisme penentuan Raja Definitif Negeri Tawiri dilakukan melalui proses pengangkatan, bukan pemilihan, karena Negeri Tawiri merupakan negeri adat.
Upaya penyelesaian kisruh mata rumah Soplanit sedang berjalan, sambil Saniri Negeri melakukan pendampingan kepada masyarakat dengan tahapan-tahapan pendekatan kepada masyarakat adat Negeri Tawiri dalam melahirkan Raja Definitif.
Terakhir, di Negeri Seilale, pada saatnya nanti akan dilakukan pembekuan terhadap Saniri Negeri Seilale karena komposisi 11 anggota Saniri Negeri telah menyalahi aturan peraturan daerah maupun peraturan di atasnya yang menghendaki jumlah anggota Saniri Negeri paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang.
Mekanisme pembekuan atau pemberhentian akan dilakukan dengan keputusan Wali Kota Ambon, selanjutnya akan difasilitasi dan dibentuk Saniri Negeri yang baru. Setelah itu, tahapan untuk menetapkan mata rumah parentah dan melahirkan Raja Definitif dapat dimulai.
Lekransy menegaskan, dinamika yang terjadi pada keenam negeri ini membutuhkan dukungan penuh dari Pemerintah Kota Ambon. Hal ini untuk memastikan penetapan kepemimpinan Negeri Adat sesuai mekanisme yang berlaku, tidak mengabaikan nilai-nilai budaya lokal, adat istiadat, dan hukum adat yang berlaku di kesatuan masyarakat hukum adat, serta yang terpenting, tidak menimbulkan implikasi konflik.
“Kita berharap bahwa, dengan adanya Raja Definitif pada keenam negeri adat ini akan memudahkan upaya-upaya pemerintahan dan pembangunan negeri dalam mencapai kesejahteraan masyarakat,” pungkas Lekransy.






