Ambon, Tribun Maluku : “Sebelum republik ini berdiri, masyarakat adat sudah hidup, menjaga tanahnya, dan membangun identitasnya. Tanah OSM adalah bagian dari sejarah itu bukan sekadar aset yang bisa diklaim seenaknya.”
Pernyataan tajam itu disampaikan Beni Sarkol, mantan Kepala Perwakilan Komnas HAM Maluku, saat menanggapi sengketa lahan di kawasan OSM Ambon. Kepada wartawan, Senin (14/04/2025), Sarkol menegaskan bahwa tanah tersebut merupakan tanah ulayat yang haknya telah diakui negara melalui konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Negara wajib melindungi, bukan malah mengabaikan. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 Pasal 18B Ayat (2) jelas menyatakan bahwa negara mengakui hak-hak masyarakat adat sepanjang masih hidup. Dan mereka masih hidup. Masih menjaga tanahnya,” tegas Sarkol.
Ia juga mengingatkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 telah memperjelas posisi hukum masyarakat adat, dengan menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara.
“Kalau dua produk hukum ini saja tidak dihormati oleh pemerintah dan aparat negara, lalu hukum ini dibuat untuk siapa?” katanya retoris.
Sarkol menyampaikan bahwa kasus sengketa tanah OSM ini bukan perkara baru. Ia pernah menangani langsung saat menjabat di Komnas HAM tahun 2012.
Saat itu, Komnas HAM memfasilitasi gelar perkara yang menghadirkan Kodam XVI/Pattimura (kini Kodam XV/Pattimura), pelapor Ela Reawaruw dan rekan-rekan, serta Pemerintah Provinsi Maluku.
“Hasil gelar perkara menunjukkan bahwa tanah OSM adalah milik Pemerintah Provinsi, dan sebagian telah dihibahkan kepada masyarakat. Bangunan asrama milik Kodam memang ada, tapi tanahnya bukan milik mereka. Itu fakta yang tercatat,” ujarnya.
Yang menarik, menurut Sarkol, pihak keluarga Alfons selaku pemilik hak ulayat telah membawa perkara ini ke jalur hukum hingga tingkat kasasi, dan telah keluar putusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan gugatan tidak diterima.
“Kalau sudah ada putusan, maka tanah itu berstatus status quo. Artinya, semua pihak tidak boleh melakukan aktivitas apa pun sampai ada kepastian hukum lanjutan,” jelasnya.
Ia menilai, jika Kodam XV/Pattimura masih menganggap tanah OSM sebagai aset militer, seharusnya mereka menempuh jalur hukum, bukan mengklaim sepihak.
“Hak mengklaim itu tidak bisa didasarkan pada sejarah sepihak. Semua harus diuji di pengadilan. Kalau tidak, ini bisa memicu konflik baru di tengah masyarakat,” katanya.
Sarkol juga menekankan bahwa saat ini, Ela Reawaruw dan kelompoknya menempati tanah tersebut atas izin langsung dari keluarga Alfons, yang menyatakan memiliki hak adat atas 20 dusun dati di kawasan itu.
“Kalau kita bicara soal keadilan, maka jangan ukur dengan jabatan atau seragam. Ukur dengan hukum dan hati nurani. Siapa pun yang merasa punya hak, buktikan di pengadilan, bukan di lapangan,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan bahwa jika negara membiarkan kasus seperti ini dibiarkan berlarut-larut, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kepercayaan masyarakat adat, tetapi juga legitimasi hukum itu sendiri.
“Kalau negara tidak berdiri untuk rakyat kecil, untuk siapa lagi hukum ini dibuat?” pungkasnya.