Tahun 2016, pemberitaan seputar kemiskinan di Provinsi Maluku pernah berubah panasnya dibanding tahun sebelumnya, yang dikemas dalam berbagai versi oleh media setempat. Tentu dengan mengutip pendapat berbagai sumber sebagai “visum”. “Kepanasan” tersebut pernah muncul sekitar 5 atau 6 tahun lalu tepatnya tahun 2010. Kalau tidak salah angka kemiskinan Maluku waktu itu 27,74 persen dan sekarang ini kemiskinan di Maluku tersisa sekitar 19 persen, tetapi tingkat panasnya tidak berubah.
Ada kalangan yang berpendapat yang paling bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten/Kota, karena merekalah yang lebih dekat dengan masyarakat. Ada yang menyebut Pemerintah Provinsi, Pemerintah secara nasional, dan seterusnya. Tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat tersebut. Kalangan tersebut tidak hanya rakyat dan wakilnya di Parlemen tetapi ada juga akademisi, birokrat, dan sebagainya.
Anggapan tersebut muncul karena masyarakat menginginkan suatu bentuk pembagian tanggungjawab yang jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan jika muncul suatu masalah. Bukan sebaliknya, saling melempar tanggung jawab alias saling menyalahkan. Kata salah seorang senior saya, “Saling menyalahkan adalah pekerjaan termudah”.
Dalam kabinet pemerintahan Jokowi, ada satu kementerian dengan nama Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, dulu bernama Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (kalau tidak keliru).
Sasarannya jelas, agar aparatur penyelenggara negara (ASN) direformasi, yang tentu memakan energi tidak sedikit. Harapannya supaya fungsi birokrasi kepada masyarakat mencakup administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi bisa berjalan semestinya.
Secara nasional, setiap kementerian/lembaga terus melakukan pembenahan ASN-nya. Berbagai upaya dilakukan mengacu pada delapan pilar yang ditentukan ditambah aspek monitoring dan pengawasan. Bila merujuk pada sasaran akhirnya yaitu pelayanan yang berkualitas, maka tentu reformasi birokrasi pada institusi terkait seperti kesehatan adalah “layanan kesehatan yang semakin berkualitas kepada masyarakat”. Begitu juga dengan pendidikan “layanan pendidikan yang semakin berkualitas kepada masyarakat”, dan seterusnya.
Masih dalam konteks peran birokrasi harus terus ditingkatkan. Keluhan terhadap rapor akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dari sisi pengendalian secara intern masih mengemuka. Bahkan Maluku merupakan salah satu wilayah di antara dua provinsi di Indonesia yang belum mendapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Sementara pada tataran Pemerintah Kabupaten/Kota rapor tentang hal tersebut masih seputar WDP (Wajar Dengan Pengecualian).
Kalau WTP belum kita raih, menjadi tanggung jawab siapa? Apakah itu kesalahan BPK yang salah melakukan audit? Kalau kemiskinan tinggi, apakah itu kesalahan BPS yang salah menghitung? Kalau kamtibmas kita tidak terjamin, apakah itu kesalahan Polri? Tentu semua pertanyaan itu jawabannya “tidak”. Yang benar adalah tanggung jawab kita semua, kesalahan kita semua, birokrat sesuai tatarannya sebagai pelaksana fungsi birokrasi.
Dan kalau ada keluhan masyarakat tentang birokrat, kita harus memperbaikinya. bukan mengeluh, bukan pula mencari atau menyalahkan yang lain. Semoga!!!
(Oleh : Ir. Charles Gigir Anidlah, M.Si. Penulis adalah Cendekiawan Kabupaten Maluku Barat Daya)