Ambon, Tribun Maluku : Proyek pembangunan embung milik Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku yang ada di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) menyisakan cerita pilu.
Pasalnya selain sebagian besar embung yang dibangun dengan anggaran puluhan miliar mubazir lantaran tidak dapat dimanfaatkan masyarakat, ternyata ada juga embung yang sudah masuk dalam perencanaan namun tidak pernah dikerjakan.
Dari data yang berhasil dihimpun media ini Selasa (14/1/2025) menyebutkan. Sejatinya ada empat proyek embung yang mesti dibangun di kabupaten MBD oleh BWS Maluku, ke empat embung tersebut masing masing di desa Klis tepatnya di bawah kaki gunung Kerbau, desa Tounwawan, desa Werwaru dan desa Kaiwatu.
Namun dari fakta yang ditemukan, ternyata BWS Maluku hanya membangun embung di desa Klis yakni di kaki gunung Kerbau dengan anggaran sebesar Rp.22 miliar lebih. Sedangkan tiga embung lainnya yakni embung di desa Tounwawan, desa Werwaru dan desa Kaiwatu hingga kini tidak pernah dikerjakan.
Padahal embung yang mestinya dibangun di tiga desa di Pulau Moa tersebut telah masuk dalam tahapan perencanaan. Buktinya pihak BWS Maluku pada 27 Juni 2024 telah melakukan rapat kordinasi secara virtual dengan pemerintah kabupaten Maluku Barat Daya guna membahas proyek tersebut.
Proyek pembangunan embung pada desa Tounwawan, Werwaru, dan Kaiwatu ini telah memasuki tahapan pemeriksaan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan -Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), yang dibahas melalui rapat Virtual antara Pemerintah Kabupaten MBD, Pimpinan OPD dan Pimpinan Instansi Vertikal, Kepala BWS Maluku, Camat Moa, 4 Kepala Desa pada Lokasi pembangunan embung serta Tim Konsultan Penyusunan Dokumen UKL-UPL,
Hal ini juga di benarkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Maluku Barat Daya, Dalma Eoh yang dihubungi media ini. Dijelaskan Eoh sesuai hasil rapat kordinasi antara BWS Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Barat Daya, maka pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya telah menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan pihak BWS Maluku berupa dokumen UKL-UPL.
“Kami dari kabupaten Maluku Barat Daya telah menyelesaikan dokumen UKL-UPL dan telah diserahkan ke pihak BWS. Namun hingga kini tidak pernah ada pemberitahuan lanjutan mengenai proyek embung pada ketiga desa tersebut, ” jelas Eoh.
Sementara itu, salah satu putra Maluku Barat Daya Marnex Ferison Salmon SH yang dimintai tanggapannya mengenai hal tersebut, mengutuk keras kinerja BWS Maluku yang dinilainya tidak serius dan terkesan hanya mempermainkan pemerintah kabupaten MBD dn masyarakat MBD.
“Jika memangnya tidak jadi dibangun maka harusnya BWS Maluku memberikan penjelasan kepada pemerintah dan masyarakat MBD khususnya ketiga desa yang dijadikan lokasi pembangunan embung embung tersebut. Jangan hanya memberikan janji janji manis kepada masyarakat, ” tegas Salmon.
Salah satu pengacara muda asal kabupaten MBD ini dengan tegas meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk sesegera mungkin mengusut tuntas kasus tersebut, lantaran diduga ada indikasi kerugian keuangan dan perekonomian negara.
“Jangan “menjual” Maluku Barat Daya hanya untuk kepentingan kantong pribadi lantas mengabaikan kesejahteraan masyarakat MBD. Jika ini terjadi maka lebih baik oknum oknum yang diduga hanya memanfaatkan dan “menjual” Maluku Barat Daya untuk kepentingan mereka segera angkat kaki dari Maluku, ” demikian Salmon.
Kecaman keras terhadap kinerja BWS Maluku yang diduga hanya mengejar keuntungan pribadi dalam melaksanakan proyek embung khususnya di dusun dua desa Tomra Pulau Letti yang hingga kini tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat juga disampaikan Anes Kastera, salah satu tokoh muda asal desa Tomra Pulau Letti.
Ditegaskan Kastera Dimana sesuai perencanaan dan lebar embung tersebut mencapai seratus meter. Akan tetapi pada kenyataannya embung yang dibangun sekitar tahun 2019 itu hanya memiliki lebar kurang lebih 20 meter.
Dimana sesuai gambar dan perencanaan yang ada didalam kontrak luas embung di Desa Tomra semestinya diatas 50 meter. Padahal saat pengukuran lahan yang diperuntukan bagi pembangunan embung tersebut, petugas BWS Maluku mengukur dan memasang patok luas proyek ini mencapai 100 meter lebih, yakni dari kaki dua buah gunung yang dipisahkan oleh kali mati (hanya mengalir ketika musim penghujan). Namun nyatanya ketika proyek tersebut dikerjakan, luas embung tersebut hanya selebar kali mati tersebut.
“Jangan jadikan kami masyarakat MBD khususnya di Pulau Letti sebagai “ikang makan” guna mendapatkan keuntungan pribadi. Jika hal ini terjadi maka kamu masyarakat MBD tidak akan tinggal diam, kamu akan menempuh jalur hukum dan melaporkan hal ini ke kementrian pekerjaan umum, ” pungkas Kastera.