Ambon, Tribun Maluku : Sidang pra peradilan antara Kepala SMPN 9 Ambon, Lona Parinussa selaku pemohon melawan Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon selaku termohon terus bergulir.
Kali ini sidang digelar Rabu (16/10/2024) dan dipimpin Deddy Sahusilawane selaku hakim tunggal itu beragendakan pembacaan replik oleh kuasa hukum pemohon.
Dalam repliknya, kuasa hukum pemohon mengungkapkan. Pemohon sebagai warga Negara Indonesia memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan hak atas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga – lembaga penegak hukum.
Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang sama, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan hak – haknya secara seimbang. Sebagai Subyek Hukum.
Dijelaskan pemohon, dalil Termohon yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor : B 02/Q.1.10/Fd.2/06/2024 tanggal 12 Juni 2024 yang selanjutnya dikirimkan kepada Penuntut Umum, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi serta telah dikirimkan kepada Lembaga atau nstansi yang menjadi objek dalam Penyidikan tersebut yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 9 Ambon, dapat Pemohon tanggapi bahwa dalil Termohon adalah dalil yang keliru dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/ PUU-XIII/ 2015, tertanggal 11 Januari 2017, karena Norma yang termuat didalam Putusan tersebut telah secara tegas menerangkan bahwa Pemohon adalah sebagai Subjek Hukum.
Bahwa terhadap tindakan Termohon lanjut tim kuasa hukum pemohon, yang tidak memberikan SPDP kepada Pemohon sebagaimana telah dinyatakan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 130/ PUU-XIII/ 2015, tertanggal 11 Januari 2017 yang dalam Amar Putusannya pada sangat jelas disebutkan bahwa SPDP wajib diberikan kepada Penuntut Umum, Terlapor, dan Korban atau Pelapor, sehingga SPDP yang tidak diberikan oleh PENYIDIK Kejaksaan Negeri Ambon (TERMOHON) kepada Pemohon adalah bertentangan dengan hukum dan dapat dinyatakan TIDAK SAH dan Batal demi hukum.
Ditambahkan, bahwa merujuk pada Putusan Nomor : 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi berpendapat KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka atau terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”dan “bukti yang cukup”, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Pemohon menambahkan, bahwa dalam perkara kliennya, Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka telah berdasarkan setidak-tidaknya 2 alat “bukti permulaan yang cukup”, maka ke-2 alat bukti tersebut haruslah alat bukti yang memenuhi syarat-syarat antara lain, Alat bukti permulaan tersebut haruslah dapat digunakan sebagai dasar yang cukup untuk meyakini terdapatnya fakta-fakta yang mendukung; mengenai terdapatnya keadaan yang dapat membawa keyakinan seseorang untuk percaya bahwa seseorang yang diduga melakukan perbuatan pidana memang benar telah melakukan perbuatan yang disangkakan tersebut.
Dan Alat bukti permulaan tersebut haruslah dapat digunakan sebagai sebuah alasan yang masuk akal untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan atau sedang melakukan kejahatan atau berada di sebuah tempat yang berisi benda tertentu yang berhubungan dengan kejahatan. Serta Alat bukti permulaan tersebut haruslah relevan, kuat dan menentukan untuk membuktikan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;
Lebih jauh di jelaskan, bahwa pemohon ditetapkan menjadi Tersangka oleh Termohon dengan Surat Penetapan Tersangka Nomor : -01/Q.1.10/Fd.2/09/2024 tanggal 23 september 2024 atas Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Nomor : Print- 03/Q.1.10/Fd.2/06/2024 tanggal 12 Juni 2024 tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) SMP Negeri 9 Ambon Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun 2023 dengan sangkaan pasal diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diancam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasall 55 Ayat (1) Ayat 1 ke 1dapat dinyatakan tidak sah dan melawan hukum.
Pada bagian lain repliknya, pemohon mengatakan. Bahwa Termohon telah mengakui secara tegas dan terang pada dalil Termohon yang menyatakan bahwa pemanggilan saksi saksi termasuk pemohon dalam tahap Penyidikan dilakukan komunikasi dan koordinasi melalui sarana elektronik whatshaap, hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan sebagaimana di atur didalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 227 yakni, Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.
Dan Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.
Serta Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu termpat sebagaimana dimaksud, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.
Setelah mendengar replik kuasa hukum pemohon, hakim tunggal dalam perkara tersebut langsung memberikan kesempatan kepada termohon guna menyampaikan dupliknya.
Seusai pihak termohon menyampaikan duplik, hakim tunggal dalam perkara ini menund sidang hingga besok (17/10/2024) dengan agenda pembuktian dan saksi saksi.