Ambon, Tribun Maluku: Para ahli terkait EITI menyimpulkan, dampak transisi dari energi fosil ke energi hijau bagi Indonesia akan lebih terukur dengan transparansi data industri ekstraktif yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Hal tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) sekaligus Ketua Harian Multi Stakeholder Group (MSG), Sampe L. Purba dalam sambutannya pada Dialog Kebijakan EITI Indonesia bertema “Sejauh Mana Standar Transparansi EITI Telah Berjalan dan Mampukah EITI Mendukung Upaya Transisi Energi Berkeadilan” di Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Menurut Sampe L. Purba, data yang disampaikan industri ekstraktif ke Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) misalnya kenaikan ataupun penurunan data produksi, ekspor impor, pajak dan bukan pajak, penyerapan tenaga kerja di industri ekstraktif dari tahun ke tahun akan membuat Indonesia mampu menganalisa dan mengukur dampak transisi energi lebih akurat.
Hal tersebut kata Sampe, akan membantu dan mendukung pelaku industri, pemerintah daerah dan masyarakat, serta akademisi untuk mengambil posisi, keputusan, dan implementasi skema transisi apa yang lebih sesuai baik di tingkat lokal dan nasional.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mentargetkan mainstreaming data industri minyak dan gas bumi dan minerba akan siap diterapkan pada akhir tahun 2023.
Staff Ahli Menteri ESDM, Sampe L. Purba mangatakan, ESDM tengah membangun pengarusutamaan atau mainstreaming data industri ekstraktif agar data lebih mudah diakses oleh berbagai pemangku kepentingan.
EITI Indonesia dibentuk tahun 2010 sebagai bagian implementasi kesepakatan global sejak awal 2000-an tentang perlunya transparansi data dari industri ekstraktif diantaranya terkait dengan penerimaan negara, pajak, dan dana bagi hasil.
EITI Indonesia sejak 2013 sudah menerbitkan tujuh laporan. Tahun 2014, Indonesia mendapat status sebagai negara EITI dengan kepatuhan dan 2019 mendapatkan status “meaningful progress”.
Fungsi laporan EITI Indonesia bagi korporasi dan publik adalah terkonsolidasinya data secara rapih di EITI, untuk ditampilkan ke publik dalam rangka transparansi dan akuntabilitas. Dengan transparansi dan akuntabilitas, reputasi Indonesia di industri ekstraktif naik.
Dalam hal energi hijau, Indonesia telah berkomitment untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, sehingga pelaku energi fosil mesti melakukan transisi energi ke energi hijau dalam kurun waktu maksimal 37 tahun kedepan.
Emanuel Bria, Asian Officer, Secretariat EITI International Office menyatakan bahwa, transisi energi berdampak pada berkurangnya permintaan migas dan batu bara, meningkatnya permintaan mineral kritis (nikel) dan energi baru terbarukan menjadi prioritas.
Menurutnya adanya keterbukaan data EITI dalam konteks transisi energi mampu berkontribusi pada beberapa hal yakni: Membantu memproyeksikan pendapatan, data ekspor import, data pajak, mengurangi risiko korupsi pada perijinan, kontrak, beneficial ownership, memberi pemahaman ke stakeholders tentang kontribusi perusahaan di bidang sosial dan lingkungan serta memberikan pemahaman tentang hubungan antara pemerintah dan BUMN terkait kepemilikan pemerintah di BUMN dan proses jual beli kepemilikan.
Sementara itu, Koordinator Kajian Strategi Pusat Data Dan Informasi (Pusdatin) ESDM, Catur Budi Kurniadi yang membawakan materi Kepala Pusdatin ESDM, Agus Cahyono Adi mengonfirmasi hal tersebut mengatakan bahwa mainstreaming data ditargetkan siap pada akhir tahun 2023.
“Mainstreaming data ini akan memperbaiki, mempercepat, mempermudah penyampaian data ke publik dan mengurangi proses ijin maupun surat-menyurat permintaan data secara manual dari tiap pemangku kepentingan,” ungkap Catur.
Selain itu menurut Catur Budi Kurniadi, dengan adanya mainstreaming ini, juga akan membantu perbaikan tata kelola dan proses bisnis misalnya menghilangkan duplikasi suatu tugas yang tidak perlu dan ini tentu akan menurunkan biaya untuk agregasi data.