Provinsi Maluku mengalami deflasi yang berlangsung selama beberapa bulan berturut-turut, memicu kekhawatiran akan penurunan daya beli masyarakat. Pertanyaan mendesak muncul: Apakah tren deflasi ini menandakan masalah ekonomi yang lebih dalam bagi masyarakat Maluku?
Pada 1 Oktober 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia kembali merilis angka inflasi untuk bulan September 2024. Berdasarkan data yang disampaikan, secara nasional terjadi deflasi sebesar 0,12 persen untuk periode September 2024 dibandingkan dengan bulan sebelumnya Agustus 2024.
Deflasi ini menandai terjadinya penurunan harga barang dan jasa untuk kelima kalinya secara beruntun sejak Mei 2024, yang mengindikasikan tren penurunan tekanan harga dalam beberapa bulan terakhir di tingkat nasional.
Sementara itu, pada hari yang sama, BPS Provinsi Maluku turut merilis angka inflasi yang mencakup beberapa wilayah di provinsi tersebut, termasuk Kota Ambon, Kota Tual, dan Kabupaten Maluku Tengah.
Berdasarkan Press Release menunjukkan Provinsi Maluku secara keseluruhan mencatat deflasi sebesar 0,07 persen untuk bulan September 2024. Kota Ambon juga mengalami deflasi yaitu sebesar 0,35 persen, diikuti oleh Kota Tual yang mengalami deflasi sebesar 0,37 persen.
Kedua kota ini menunjukkan pola yang serupa dengan provinsi secara keseluruhan, yang telah mengalami deflasi selama tiga bulan berturut-turut sejak Agustus 2024.
Namun, berbeda dengan tren deflasi di wilayah lainnya, Kabupaten Maluku Tengah justru mencatat inflasi sebesar 0,44 persen pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dinamika harga antar wilayah di Provinsi Maluku, di mana meskipun 2 kota mengalami penurunan harga, Maluku Tengah menunjukkan adanya kenaikan harga barang dan jasa selama bulan September 2024.
Dari data tersebut, muncul berbagai pertanyaan yang terus berkembang, salah satunya adalah apakah deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di tingkat nasional, atau secara spesifik selama tiga bulan berturut-turut di Provinsi Maluku, mengindikasikan adanya penurunan daya beli masyarakat ?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan studi lebih mendalam karena Indeks Harga Konsumen (IHK) pada dasarnya mencerminkan harga yang di terima konsumen. Penurunan IHK yang di catat oleh BPS biasanya disebabkan oleh penurunan harga barang dan jasa, yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama mekanisme pasar dari sisi penawaran.
Misalnya, penurunan harga dapat terjadi akibat kelebihan pasokan barang karena musim panen atau penurunan biaya produksi yang kemudian menyebabkan harga yang di terima konsumen menjadi lebih rendah.
Namun, jika ingin menghubungkan deflasi dengan penurunan daya beli, diperlukan analisis yang lebih komprehensif. Penurunan daya beli masyarakat tidak hanya dapat di lihat dari angka inflasi atau deflasi, melainkan juga di pengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti tingkat pendapatan, ketersediaan lapangan kerja, dan stabilitas ekonomi.
Oleh karena itu, untuk menentukan apakah deflasi secara langsung menyebabkan penurunan daya beli, diperlukan penelitian lebih lanjut yang mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi lainnya.
Melihat Histori Data Selama Pandemi
Namun, jika kita meninjau kembali data historis, khususnya untuk Kota Ambon pada tahun 2020, terlihat bahwa terjadi deflasi selama empat bulan berturut-turut mulai dari September hingga Desember 2020.
Pada September 2020, deflasi tercatat sebesar -0,21 persen; diikuti oleh deflasi sebesar -0,59 persen pada Oktober 2020, -0,18 persen pada November 2020, dan -0,07 persen pada Desember 2020. Periode ini bertepatan dengan puncak pandemi COVID-19 yang membawa dampak besar terhadap aktivitas ekonomi di berbagai sektor.
Selama periode tersebut, konsumsi rumah tangga di Provinsi Maluku mengalami kontraksi yang cukup signifikan pada Triwulan IV-2020, dengan penurunan pertumbuhan sebesar 1,87 persen. Penurunan ini mengindikasikan adanya pelemahan daya beli masyarakat, yang dapat dihubungkan dengan penurunan aktivitas ekonomi akibat pandemi.
Sebagai perbandingan, pada periode yang sama di tahun 2019, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Provinsi Maluku justru mengalami peningkatan yang positif mencapai 5,41 persen. Perbedaan yang mencolok antara pertumbuhan konsumsi sebelum dan selama pandemi ini memperlihatkan dampak yang cukup signifikan terhadap daya beli masyarakat, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi dan berbagai pembatasan selama pandemi.
Meninjau Data Historis Pra-Pandemi
Rangkaian data historis mengenai deflasi beruntun juga pernah terjadi sebelum masa pandemi COVID-19, khususnya di Kota Ambon. BPS Provinsi Maluku mencatat bahwa pada tahun 2017 selama lima bulan berturut-turut, yaitu dari Agustus hingga Desember terjadi deflasi.
Deflasi pada Agustus 2017 tercatat sebesar -2,08 persen, diikuti oleh deflasi sebesar -0,23 persen pada September 2017; -1,28 persen pada Oktober 2017; -0,59 persen pada November 2017 dan -0,34 persen pada Desember 2017.
Tren deflasi beruntun yang terjadi selama lima bulan di tahun 2017 ini lebih banyak dipengaruhi oleh peningkatan pasokan komoditas strategis di Maluku. Selain itu, adanya impor komoditas penting dari luar Maluku, khususnya dari Provinsi Sulawesi Selatan yang dilakukan secara kontinu, juga turut berperan dalam menekan harga.
Faktor cuaca yang membaik pada Triwulan IV 2017 juga menjadi pendorong utama dalam meningkatkan produksi komoditas hortikultura dan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan, yang pada gilirannya menambah pasokan di pasar.
Sebagai pembanding, pada Triwulan IV 2017, konsumsi rumah tangga di Provinsi Maluku mengalami peningkatan signifikan sebesar 6,35 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, di mana pertumbuhannya hanya sebesar 2,43 persen.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi deflasi yang berkepanjangan, konsumsi rumah tangga tetap menunjukkan pertumbuhan yang positif, yang kemungkinan besar disebabkan oleh peningkatan pasokan komoditas yang melimpah dan stabilitas harga yang mendukung daya beli masyarakat.
Harus Ada Penelitian Lebih Lanjut
Untuk memahami hubungan antara angka deflasi yang terjadi secara beruntun dengan dampaknya terhadap daya beli masyarakat di tahun 2024, diperlukan penelitian yang lebih mendalam yang mengaitkan berbagai aspek ekonomi dan faktor lainnya.
Penelitian ini akan membantu dalam mengidentifikasi penyebab dan konsekuensi dari deflasi, sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Di sisi lain, perlu diapresiasi kinerja Pemerintah Daerah dalam beberapa bulan terakhir yang telah mengintensifkan strategi 4K (Ketersediaan Bahan Pokok, Kelancaran Distribusi, Keterjangkauan Harga, dan Komunikasi Efektif). Berkat upaya ini, deflasi dapat terjadi selama tiga bulan berturut-turut di Provinsi Maluku, yang menunjukkan keberhasilan dalam menjaga stabilitas harga.
Namun, ke depan kita akan dihadapkan pada fenomena Hari Besar Keagamaan yang diperkirakan terjadi pada Triwulan IV 2024. Untuk itu, kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting agar inflasi tetap dapat dikendalikan dan daya beli masyarakat tetap terjaga. Dengan kerja sama yang baik, kita dapat meminimalkan risiko inflasi dan memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan baik.
Oleh : Jefri Tipka, S.Si, M.Si; Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Maluku.