Oleh : Cand. Dr. Asnat. J. Luturmas, SH , MH., CPCLE., CLE.
Ambon, Tribun Maluku : Maluku, dahulunya terkenal dengan deretan pulau-pulau yang menggugah keelokan narasi substansi untuk dieksplore, sanjungan ini terus berkembang, namun konsep yang terus dikembangkan dengan memajukan ide pemekaran dan konsistensi program.
Otonomi, dan kemerdekaan hal ini sering menjadi issue yang dinamis untuk diharumkan bagaikan bunga bangkai yang terus dimekarkan, menariknya lagi kemana arah dinamisnya sebuah konsep kepulauan, hal ini tentunya patut disinkronkan antara selarasnya ucapan dan tindakan seorang pemimpin yang tidak hanya mengutamakan kedudukan. Antara kebijakan dan peraturan adalah dua dialektika yang akan menyusun kemana otonomi di maluku akan dilabuhkan sebagai sebuah provinsi. Karakter 11 wilayah administrasi di dalam 11 kabupaten/kota sangat terciri melalui identifikasi wilayah didalam administrasi pembagian wilayahnya dan hal ini tidak terlepas pisahkan oleh narasi kepualau, bahwa pulau dan laut adalah satu kesatuan.
Jika demikian dimakah kedudukan maluku sebagai wilayah yang berkepulauan. Menarik juga sampai saat ini banyak dialektika dinarasikan namun apakah yang harus diselaraskan didalam bernegara dengan konsep otonomi, apakah otonomi khusus kepulauan mari kita mengulik lagi dialektika dan disparitas atas nama otonomi.
Konsep Indonesia sebagai negara kesatuan menghendaki terbentuknya daerah-daerah otonom telah tesirat di dalam Pasal 18 UUD 1945 sesuai perkembangan lingkungan strategi yang dihadapi pada abad saat ini, telah menuntut perubahan paradigma pemerintahan dan kebijakan pembangunan daerah di Indonesia dari sistim sentralistik bergeser ke sisitim desentralistik.
Otonomi daerah tidak lagi diartikan sebagai kemampuan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, melainkan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia:2003). Pandangan ini menempatkan otonomi bukan saja kepada pemerinta daerah tetapi kepada masyarakat daerah sebagai satu kesatuan hukum, yang direpresentasikan kedaulatan melalui DPRD.
Jika demikian menjadi tanggung jawab susunan pemerintahan daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), kedua lembaga ini memiliki kewenangan masing-masing didalam pemerintahan di daerah, sehingga pemahaman akan otonomi bagi Maluku dapat berjalan dengan baik bukan lagi soal sumber daya manusia, sebab publik di Maluku kaya akan narasi yang selalu tersusun di dalam dialektika simbolik.
Penyelenggaraan tugas pemerintahan didaerah dan pembangunan masyarakat yang kompleks dan dinamis, meliputi berbagai kegiatan dalam seluruh bidang kehidupan diseluruh wilayah dan melibatkan seluruh masyarakat dengan beragam latar belakang sosial budaya, politik dan ekonomimenyebabkan pelaksanaan fungsi manajerial dalam menangani memerlukan sistim dan proses manajemen yang mantap.
Dialektika naratif harus di reorganisasikan lagi untuk mengidentifikasi otonomi kepulauan bagi Maluku. pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik. Prinsip negara kesatuan berarti bahwa kekuasaan tertinggi atas segala urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa ada delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local govenment) (M. Solly Lubis:1983). Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menjadi substansi pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi, dan daerh propinsi dibagi atas kebupaten dan kota, yang tiap-tiapnya mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Ditambahkan oleh Ni’matul Huda bahwa ketentuan pasal 18 ayat (1) mempunyai keterkaitan erat dengan ketentuan Pasal 25A mengenai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Huda Ni’matul : 2014). Jika melihat terhadap keberadaan kedua pasal ini (ketentuan pasal 18 ayat (1) dan ketentuan Pasal 25A) nampak jelas bahwa kedudukan pemerintahan sangat terikat dengan wilayah, terutama disaat pemerintahan tersebut telah mendudukan struktur yang digunakan sebagai bentuk diakui adanya kewenangan yang melekat. Hal inipun terjadi sampai pada level pemerintahan setingkat desa/desa adat.
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia mengelurkan pernyataan unilateral (deklarasi) yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Djuanda, yang menyatakan bahwa: “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari daratan Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dan pada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dan pada Negara Republik Indonesia.
Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”. Deklarasi ini sangat penting karena mendeklarasikan wawasan nusantara untuk menyatukan wilayah Indonesia. Disadari benar bahwa NKRI berada dalam suatu kesatuan kewilayahan yang berbentuk kepulauan (Nusantara)m yang merupakan satu kesatuan wilayah darat, laut antara darat, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya udara diatasnya dan seluruh kekayaannya merupakan satu kesatuan kewilayahan yang harus dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
Secara teoritik wilayah laut internasional membedakan penetapan batas wilayah kewenangan negara atas lautan yang berbatas dengan pantainya berdasarkan tujuannya, yaitu : (1). Untuk menetapkan batas wilayah kedaulatan negara atas lautan yang berbatasan dengan pantainya (seovereignty), (2). Untuk menetapkan batas wilayah hak berdaulat negara pantai untuk memanfaatkan kekayaan laut pada daerah-daerah tertentu (souvereignnty right), (3). Untuk menetapkan batas wilayah yurisdiksi negara pantai atas kepentingan tertentu di daerah tertentu (coastaln jurisdiction) yang secara ke “ruang”an dimungkinkan untuk melampaui batas wilayah kedaulatan maupun batas wilayah hak berdaulatnya (Gatot Dwi Hendro Wibowo: 2010). UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memunculkan gagasan “Provinsi Kepulauan” menarik untuk dikaji.
Apakah ada identifikasi Maluku dengan otonomi kepulauan, dan bagaimana menerapkan otonomi kepualaun ini, dan apakah sekaligus sebagaimana disampaikan oleh Huda Ni’Matul (2014) ikut menyelesaikan keruwetan otonomi daerah. Siapakah pemimpin yang dengan dialektikanya dapat menstatutakan Maluku sebagai Provinsi Kepulauan.
Kita akan belajar bersama dari narasi yang diselaraskan bersama satuan perangkat di daerah, oleh sebab itu tahapan belajar mendialektikan kekayaan didaerah pada tataran lokal akan menjadi sentrifitas hidupnya keseimbangan dan konsistensi hukum. lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang disebut UU Desa tidak hanya memberikan kepastian hukum melainkan juga memberikan tempat istimewa bagi desa adat atau yang disebut dengan nama lainnya. dengan mendasarkan pada Pasal 1 Ayat (1) UU Desa yang menekankan terhadap unsur desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, memiliki batas wilayah, terdapat urusan pemerintahan. Kebutuhan hukum Pasal 97 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Desa menjelaskan bahwa penetapan desa adat harus memenuhi syarat yang intinya adalah: adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat territorial, genelogis, maupun yang bersifat fungsional dan Pranata.
Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan sangat bergantung pada karakteristik dari masing-masing negara, secara teorit smith membagi kewenangan ini menurut sistim ganda (dual system) dan sistem gabungan (fused system), Pemerintah daerah dijalankan secara terpisah dari pemerintah pusat atau dari eksekutifnya di daerah.
Sedangkan sistim gabungan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan bersama-sama dalam satu unit, dengan seorang pejabat pemerintah yang ditunjuk untuk mengawasi pemerintahan setempat. Melalui peraturan pemerintah no. 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta kedudukan keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi dilakukan penguatan fungsi Gubernur sebagai Kepala Daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
Selain itu memperkuat hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran Gubernur sebagai wakil pemerintahan hubungan antara Gubernur dengan jabatan Kepala Daerah secara berjenjang di Kabupaten/Kota dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan sebaliknya Kepala daerah secara berjenjang dapat melaporkan permasalahan yang terjadi termasuk dalam hubungan antaraKabupaten/Kota. Didalam Narasi ini dan kaitannya dengan kebutuhan otonomi dalam dialektika bagi Maluku kita akan belajar dengan menjadikan kemampuan dan karakteristik daerah yang tersusun dari pulau besar, sedang, kecil yang terhubung dengan jiwa dan ikatan spiritual keberadaan persekutuan didalamnya.
Tantangan penting kedepan diperlukan adanya kesigapan pengaturan peraturan daerah dan sinergitas akademisi juga peneliti didalam mendudukan dan mempertegas yang telah ada di Maluku dalam dialektika Kepulauan. Kita akan belajar dari Pulau Haruku negeri Haruku Bapak Eliza Kissya sebagai Kewang yang menyampaikan saat pelaksanaan penelitian tentang kewenangan wilayah laut oleh Penulis di Tahun 2023 beliau menyampaikan dan mempertegas didalam bukunya “Kapata Sasi Kewang Haruku & Aman Haruku”, terdapat dialektika hadirnya gugusan strata bahasa dan alur kepualaun bahwa Maluku umumnya warga Haruku juga menyukai lagu-lagu dan senang bernyanyi, lagu-lagu rakyat daerah sarat dengan petuah dan wejangan (kapata) yang diuntai dalam bentuk seloka dan pantun. Hal ini teraviliasi dengan Sasi.
Sebagai Kepala Pelaksanan Adat (Kewang) Haruku menjelaskan tentang pentingnya Sasi Aman Haru-ukui: tradisi kelola sumberdaya alam lestari di Haruku, sebagai ikhtiar memperkenalkan budaya lokal. Ketentuan ini memuat 3 hal menerik: 1). Sasi memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu tertentu untuk memberi kesempatan pada flora dan fauna tertentu memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumber daya alam tersebut. Terselit pengaitan kenetuan adat dengan pelestarian kemampuan atau daya-dukung lingkungan. 2).
Ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam, tetapi juga lingkungan sosiald an lingkungan buatan manusia. 3). Ketentuan hukum sasi ditetapkan oleh warga masyarakat dari bawah atas prakarsa mereka sendiri. Penelitian berikutnya dilakukan di pulau buru, pada 2 kabupaten yang menariknya ditemukan bahwa dalam kaitan dengan otonomi kepualauan terdapat penguasa wilayah dataran tinggi dan dataran rendah yang memiliki fungsi dan peran penting didalam proses pemilikan Kepala Pimpinan Negeri didalam acara PAMALI, penelitian berikut yang dilakukan di wilayah SBT di Nunialy Gunung dan Riring menariknya terdapat keberadaan wilayah negeri yang memiliki kedudukan sangat luas dan sampai dengan keterlangsungan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sampai dengan saat ini adanya UU Desa telah ada wilayah penguasaan yang cukup luas sampai pada wilayah laut yang kemudian telah terjadi pembagian wilayah-wilayah secara administrasi yang patut dikuatkan kelangsungan keadaan Kualitas Kepulauan pada dataran tinggi (wilayah pegunungan),
menariknya lagi di kepulauan Kei terdapat migrasi penduduk dari Pulau kecil ke pulau besar dengan kendaraan lautnya sampai dengan adanya Hila’ai (pimpinan suatu kelompok masyarakat pada masa sebelum tercetusnya hukum Larvhul Ngabal. Hila;ai secara harafiah berarti “Orang Besar” dalam pengertian orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar atas kelompok masyarakat tempat dia memimpin.
Disadari benar bahwa maraknya arus dialektika yang menarik kritikal simposium narasi simbolik yang belum faktual dan terstruktur menggerus pemikiran logis yang tidak opsional tetapi konsisten dimana letak dibangunnya SDA (sumber daya alam) dan SDM (sumber daya manusia) sehingga jangan lagi ada dialektika lain selain NKRI dan kemudian menyelundupkan makna sintesis diantara pijakan keilmuan sebab sumber pengetahuan adalah masyarakat itu sendiri. SDM Maluku pasti bisa menyingsingkan Matahari kesejukan Kedudukan Masyarakat banyak di tengah Konseptual.
Semangat berbenah dan membangun Provinsi yang kaya akan Kemalukuannya, terutama pulau-pulau dan bentangan batas wilayah serta kekayaan yang melimpah sesuai Ideologi Pancasila.