Ambon, Tribun Maluku : Tindakan oknum Pendeta Felix Latumeten, yang diduga ikut campur dalam sengketa lahan Dati Hatulehar di wilayah Hative Besar, menuai sorotan tajam.
Sebagai seorang hamba Tuhan, sikapnya yang berencana mengerahkan warga untuk mengusir keluarga Tuhuleruw, pemilik sah dati tersebut, dinilai tidak pantas dan mencederai nilai pelayanan gerejawi.
Demikian penegasan Yeheskel Haurissa selaku kuasa hukum keluarga Tuhuleruw pemilik Dati Hatulehar yang saat ini diolah CV Prima Jaya Hative sebagai tambang galian C
Menurut Haurissa, Pendeta Latumeten menghubunginya akan mengerahkan masyarakat untuk mengeluarkan keluarga Tuhuleruw di objek sengketa karena dinilai tidak memiliki hak atas objek tersebut
Informasi yang dihimpun Tribun Maluku menyebutkan, selama ini Latumeten disebut turut menikmati manfaat dari aktivitas tambang CV Prima Jaya Hative yang beroperasi di atas lahan dati itu.
Penutupan tambang oleh keluarga Tuhuleruw rupanya membuatnya terusik hingga terkesan kehilangan kendali sebagai pelayan Tuhan.
Alih-alih menyerahkan penyelesaian persoalan kepada pihak berwenang, Latumeten justru mengambil peran sebagai provokator, mengaku akan memimpin masyarakat untuk “mengeluarkan” keluarga Tuhuleruw dari tanah yang diklaim sebagai milik pemerintah negeri.
Saat dikonfirmasi wartawan melalui pesan WhatsApp, Senin (27/10/2025), Latumeten tidak membantah rencana tersebut.
Ia malah menegaskan tindakannya dilakukan sebagai warga masyarakat, bukan sebagai pendeta.
“B (saya) seng bertindak atas nama pelayanan. B bertindak sebagai masyarakat. Keluarkan keluarga Tuhuleruw karena wilayah itu berdasarkan keputusan hukum milik pemerintah negeri,” ujarnya dalam chatingan WhatsApp, Senin (17/10/2025).
Namun, pernyataan tersebut justru memperkuat dugaan bahwa Pendeta Latumeten tidak mampu memisahkan antara jabatan rohani dan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Sikapnya yang berpotensi memicu bentrokan horizontal jelas bertentangan dengan ajaran kasih dan perdamaian yang semestinya dijunjung tinggi oleh seorang hamba Tuhan.
Lebih parah lagi, Latumeten mengaku bersandar pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menurutnya menyatakan tanah itu milik negeri, tetapi tidak tahu nomor maupun isi putusan yang ia jadikan dasar pembenaran tindakannya.
“Untuk soal putusan MA nomor berapa saya tidak tahu pasti. Tapi yang saya tahu, putusan MA menyatakan objek itu milik pemerintah negeri,” katanya tanpa menunjukkan bukti.
Pernyataan ini menunjukkan ketidaktahuan hukum sekaligus kecerobohan moral, sebab pelaksanaan putusan pengadilan bukan urusan masyarakat apalagi seorang pendeta, melainkan kewenangan aparat penegak hukum.
Sumber di lapangan juga menyebut, sikap keras Latumeten diduga tidak lepas dari hubungan dekatnya dengan pihak pengusaha tambang CV Prima Jaya Hative, yang selama ini beroperasi di kawasan Dati Hatulehar.
“Kalau tambang berhenti, banyak pihak yang rugi, termasuk orang-orang yang selama ini dapat keuntungan dari situ,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.
Sebagai figur rohani yang seharusnya meneduhkan, tindakan Pendeta Luang Sermatang Felix Latumeten justru memperkeruh situasi dan berpotensi menimbulkan konflik sosial baru.
Banyak kalangan menilai, seharusnya ia menjadi penengah, bukan penggerak massa.
Haurissa menegaskan, penyelesaian konflik tanah adat seperti Dati Hatulehar harus dilakukan melalui mekanisme hukum dan lembaga adat, bukan dengan tindakan sepihak yang dibungkus semangat fanatisme negeri.
“Seorang pendeta mestinya menjadi pelita, bukan bara api dalam masyarakat,” tutur Haurissa
Sumber lain di lapangan mengungkap, campur tangan pendeta ini tidak terlepas dari kedekatannya dengan pihak perusahaan tambang yang selama ini beroperasi di lokasi dati.
“Orang-orang CV Prima Jaya itu dekat sekali dengan oknum negeri dan pendeta. Jadi waktu tambang ditutup, ada pihak yang langsung panik,” beber warga setempat.
Padahal, sesuai mekanisme hukum, penyelesaian sengketa tanah adat seperti Dati Hatulehar harus dilakukan lewat lembaga adat dan peradilan, bukan dengan tekanan massa.
“Yang kami takutkan bukan siapa yang benar, tapi kalau emosi massa dibiarkan, bisa pecah bentrokan. Pendeta mestinya menenangkan, bukan memimpin orang ke lapangan,” kata warga tersebut.






