Ambon, Tribun Maluku. DPRD Provinsi Maluku bersama Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menerima dan menindaklanjuti aspirasi buruh dan masyarakat Maluku yang disampaikan melalui aksi demonstrasi nasional pada 1 September 2025 lalu.
Janji tersebut disampaikan dalam rapat paripurna penyerahan dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2025, Selasa (2/9/2025) di Rumah Rakyat Karang Panjang Ambon.
Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun, menyampaikan kesiapan DPRD untuk menyesuaikan postur anggaran sesuai paparan Gubernur Maluku.
Ia juga mengapresiasi penyerahan dokumen APBD Perubahan oleh Pemprov Maluku sebagai dasar pembahasan bersama.
“DPRD Maluku telah menerima aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari Koalisi Buruh Maluku, Aliansi Masyarakat Maluku, hingga kelompok mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil. Aspirasi ini resmi kami terima dan akan kami teruskan ke pemerintah daerah,” ujar Watubun.
Dalam kesempatan tersebut, Watubun merinci 10 tuntutan Koalisi Buruh Maluku, antara lain Menolak sistem outsourcing, Menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku 2026 sebesar 10 persen, Membentuk desk ketenagakerjaan di Polda Maluku, Menolak pajak pesangon, serta mendorong pembentukan Perda perlindungan BPJS Ketenagakerjaan.
Koalisi buruh juga menuntut pengesahan Undang-Undang Aset Koruptor, pembentukan desk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Maluku, penghentian kebijakan ketenagakerjaan yang merugikan pekerja, penyediaan beasiswa pendidikan tinggi bagi anak buruh, serta persiapan putra-putri Maluku menduduki posisi strategis dalam pembangunan daerah.
Aliansi Masyarakat Maluku menuntut DPRD fokus menjalankan fungsi pengawasan, menyediakan informasi program legislasi secara transparan, menghentikan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup, serta membebaskan dua aktivis yang ditahan terkait aksi menolak tambang.
Mereka juga menolak praktik pertambangan yang merusak lingkungan, termasuk implementasi Undang-Undang Minerba yang dinilai lebih berpihak pada investor dibandingkan masyarakat.
Selain itu, sejumlah elemen masyarakat lainnya menyuarakan tuntutan pengusutan kasus kekerasan terhadap warga, reformasi menyeluruh di tubuh Polri, penolakan kebijakan politik yang membebani rakyat kecil, dorongan pengesahan RUU Daerah Kepulauan, serta penghentian izin tambang yang merugikan masyarakat adat.
Aspirasi lain yang disampaikan terkait penyelesaian masalah lingkungan di Gunung Botak, pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan seperti perikanan dan sagu, prioritas anak-anak Tanimbar dalam pengelolaan Blok Masela, serta pengembalian esensi otonomi daerah sesuai karakteristik kepulauan Maluku.
Watubun menegaskan, seluruh aspirasi tersebut akan ditindaklanjuti dengan penuh tanggung jawab dan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berpihak pada rakyat Maluku.
Sementara itu, Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa menyatakan pihaknya mendengar dan memahami aspirasi masyarakat, meskipun sebagian tuntutan juga merupakan kewenangan DPRD, aparat kepolisian, dan lembaga lain.
“Mengenai tambang ilegal di Gunung Botak, jika ditata dengan baik dan dilegalkan, dapat memberi manfaat bagi daerah. Saat ini, Pemprov tengah melakukan penertiban sesuai aspirasi mahasiswa yang menghendaki penghentian aktivitas ilegal,” kata Lewerissa.
Gubernur juga menyinggung peran Maluku dalam perjuangan mewujudkan provinsi kepulauan.
Ia menawarkan diri menjadi Ketua Konsorsium Provinsi Kepulauan, menggantikan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah demisioner sejak 2024.
“Mengapa Maluku maju mengambil peran? Karena gagasan provinsi kepulauan lahir dari Maluku, yang pertama kali diusulkan oleh mantan Gubernur Karel Albert Ralahalu,” ujarnya.






