Ambon, Tribun Maluku. Anggota Komisi II DPRD Provinsi Maluku, John Laipeny menyoroti sejumlah persoalan terkait pengelolaan royalti serta penyerapan tenaga kerja lokal dari aktivitas tambang di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Provinsi Maluku.
“Ada beberapa kewajiban yang selama ini kita dengar sepintas, seperti pajak galian C dan listrik. Yang menarik, soal royalti, kita tidak tahu masuk ke mana,” ujar Laipeny kepada wartawan di Ambon, Selasa (22/4/2025).
Salah satu hal yang akan dibicarakan pihaknya dengan Gubernur Maluku adalah terkait pengelolaan limbah tambang.
Menurut Laipeny, limbah dari tambang Batu Tua yang dibawa ke Morowali ternyata bukan sekadar limbah, melainkan olahan lanjutan yang penting untuk produksi tutup baterai.
“Kalau itu tidak ada, Morowali tidak bisa jalan. Merdeka Corp adalah outsourcing utama yang memayungi perusahaan tambang Batu Tua maupun tambang di Morowali,” jelasnya.
Laipeny mengungkapkan, warga Wetar selama ini mengira hasil tambang tersebut hanya dibuang ke Morowali sebagai limbah. Padahal, material itu di proses lebih lanjut oleh perusahaan tambang di sana, dan hal ini telah diakui pihak terkait.
Ia mempertanyakan apa yang diperoleh Maluku, khususnya MBD, dari aktivitas tambang tersebut.
Menurutnya, setiap hasil tambang yang keluar seharusnya disertai dengan setoran ke kas daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, melalui Kementerian Keuangan.
“Ini mirip dengan Dana Bagi Hasil (DBH) Kehutanan, tapi soal royalti ini belum terbaca secara jelas. Nanti setelah monitoring di 11 kabupaten/kota selesai, kami akan pertanyakan langsung ke ESDM bahwa uang ini masuk kemana, apakah murni dana tunai atau dalam bentuk program. Kalau program, program apa?” paparnya.
Laipeny juga mengkritik rendahnya serapan tenaga kerja lokal. Dari sekitar 1.200 tenaga kerja yang terserap, kurang dari 100 orang berasal dari MBD maupun Maluku.
“Ini sangat merugikan kita. Sangat disayangkan. Kita akan terus kejar ini,” tegasnya.
Terkait tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), Laipeny menyayangkan bahwa hingga kini hanya dua desa, yakni Uhak dan Lurang, yang menerima manfaat dari kehadiran perusahaan tambang Batu Tua di Wetar.
“Kita juga sudah usulkan penghentian rekrutmen tenaga kerja dari NTT. Tenaga kerja lokal harus diutamakan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Komisi II mendukung penuh program Gubernur Maluku yang mendorong seluruh perusahaan yang beroperasi di Maluku untuk memiliki home base di provinsi ini.
Saat ini, home base perusahaan Batu Tua masih berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dengan alasan jarak tempuh.
Laipeny juga menyinggung soal pengaturan baru terkait pajak galian C, yang akan dikembalikan ke Pemerintah Provinsi Maluku sesuai kebijakan pusat.