Jakarta, Tribun Maluku : Konflik pertanahan di Kepulauan Aru, Maluku tidak lepas dari pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan yang melibatkan Amerika dan China.
Berbagai pihak berusaha mencari posisi strategis, dan Kepualaun Aru sebagai pulau terluar menjadi target penguasaan untuk memudahkan pergerakan armada laut.
Demikian Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina dalam “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” ” yang digelar Papua Study Center di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023).
Selain Engelina, narasumber dalam diskusi ini, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA (Guru Besar Kajian Politik Agraria, IPB University); Mercy Chriesty Barends, ST (DPR RI, Dapil Maluku), Mufti Fathul Barri (Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia); Saurlin Siagian (Komisioner KOMNAS HAM) dan Erasmus Cahyadi (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).
Engelina mengatakan, pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadikan kawasan ini menjadi ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan China.
Dia menjelaskan, China memperkuat pengaruh melalui permodalan. Hal ini, kata Engelina, menyebabkan Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru AUKUS yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada tahun 2021.
Belum lama ini atau pada Maret 2023, jelas Engelina, Amerika sudah berkomitmen untuk mengembangkan kapal selam berkekuatan nuklir di Australia sebanyak delapan armada.
Keberadaan kapal selam dengan kecepatan tinggi ini, hampir mustahil untuk tidak menjadikan perairan kawasan timur sebagai jalur perlintasan.
“Jadi, persaingan pengaruh di kawasan pasifik seperti itu. Tetapi, kita seperti melupakan kawasan ini,” kata Engelina yang juga mantan Anggota DPR RI ini.
Engelina mengingatkan, sebagian besar kawasan timur berada dalam gugusan pasifik, yang dapat dilihat dari kultur dari ras Melanesia. Indonesia sebenarnya harus memainkan peran yang strategis di kawasan ini.
Untuk itu, kata Engelina, kunjungan Presiden Jokowi ke Australia, kemudian lanjut ke Papua Nugini tidak lepas dari situasi pasifik yang menjadi sasaran pertarungan kekuatan global.
Apalagi, kata Engelina, disekitar Kepulauan Aru ini memiliki sumber energy yang dapat dimanfaatkan dalam situasi pertempuran.
“Saya melihat apa yang terjadi Kepulauan Aru ini, tentu karena ada banyak pihak yang mau memiliki posisi strategis, karena Aru berada di sekitar Laut Arafura, dimana langsung berhadapan dengan Australia. Tidak mungkin kalau kapal Selam AUKUS itu jadi tidak beroperasi di Arafura,” tutur Engelina.
Namun, Engelina mengatakan, pemerintah harus memastikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat lokal di Kepulauan Aru, termasuk berbagai sumber daya alam.
Diapun meminta agar nantinya pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten.
“Pertahanan Negara yang terbaik dengan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan dengan membangun basis militer, apalagi, sampai mengorbankan rakyat. Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Berikan kesejahteraan karena itu pertahanan yang terbaik,” jelas Engelina.
Menurut Engelina, dengan pergeseran geopolitik global ke kawasan Pasifik, sudah saatnya untuk Indonesia mulai membangun dari kawasan timur. Tetapi kalau terus mengabaikan kawasan timur, maka Indonesia akan semakin tertinggal di Pasifik.
Dalam kesempatan itu, Engelina juga menyoroti kemiskinan yang terjadi di Maluku, seperti juga di Papua dan NTT. Menurutnya, kemiskinan itu sangat sulit untuk diatasi, karena keberadaan sistem yang membuat kawasan timur tidak bisa mengejar ketertinggalan.
“Dana alokasi umum ditetapkan dengan menggunakan kriteria jumlah penduduk, dan luas wilayah darat. Sementara Maluku jumlah penduduknya sedikit dan luas darat sangat kecil, karena terdiri dari pulau kecil. Sampai kapanpun anggaran yang ada di Maluku akan tetap kecil, karena diatur seperti itu,” tegasnya.
Menurut Engelina, dana dari pusat ke Maluku stagnan dari tahun ke tahun, karena jumlah penduduk kecil dan luas daratnya kecil. Untuk itu, katanya, kalau situasi terus seperti ini, maka akan sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Sementara investasi dari luar terus mengalir yang berpotensi menjadikan masyarakat adat dan lokal tersisih.
Engelina mengingatkan, agar persoalan tanah yang muncul di Kepulauan Aru direspon dengan cerdas, sehingga masyarakat lokal tetap memiliki ruang lingkungan yang memungkinkan kenyamanan.
Sebab, kalau mengedepankan pendekatan hukum, kata Engelina, pengalaman yang ada menunjukkan masyarakat sering kalah melawan institusi Negara dan korporasi.
Untuk itu, katanya, masyarakat memperkuat konsolidasi untuk melakukan perlawanan politik.
“Masyarakat berhak untuk mempertahankan ruang kehidupannya. Hal yang dialami masyarakat Kepualaun Aru ini hampir sama dengan apa yang terjadi di Sangihe,” tegasnya.