Ambon, Tribun-Maluku.Com: Perkara konstitusi dengan teregister Nomor 143/PUU-XXI/2023, dan bertindak sebagai pemohon sebanyak 7 kepala daerah dengan mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, prinsipal pemohon dalam perkara konstitusi ini adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, serta Wali Kota Tarakan Khairul, secara hukum merupakan hak konstitusional sebagai warga negara yang harus dihormati, sebab konstitusi menjamin hal itu, sehingga permohonan itu harus kita hormati dan sekaligus apresiasi, bahwa ada warga negara yang mengunakan haknya untuk melakukan koreksi terhadap tata norma hukum yang dianggap belum memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum.
“Jadi saya berpendapat bahwa pak Gubernur Maluku Murad Ismail melakukan perlawanan secara legal konstitusionalnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan terhormat, ini adalah mekanisme yang disediakan oleh hukum untuk melakukan koreksi atas kehidupan berbangsa dan bernegara, saya sangat menghormati itu,” ujar Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H,
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Kamis (16/11/2023).
Menurutnya secara teknis hukum, para pemohon mengajukan judicial review terhadap Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, yang berbunyi: “Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” sebenarnya upaya permohonan ini diajukan dalam rangka mencari kepastian hukum sebagai konsekwensi adanya semacam “kekosongan norma” pada pasal tersebut, sehingga diharapkan agar MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang final tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada tahun 2018, namun baru dilantik pada tahun 2019.
Memang secara sepintas, kata Fahri, pasal tersebut potensial ditafsirkan secara berbeda-beda, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika mengacu pada argumetasi konstitusional dalam permohonan para pemohon, serta jika dibaca secara seksama dan hati-hati ketentuan norma Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada, pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan pada 2018 bukan saja dilakukan terhadap kepala daerah yang habis masa jabatan di tahun yang sama, tetapi juga bagi kepala daerah yang habis masa jabatan pada tahun 2019, sementara itu, para pemohon adalah kepala daerah yang terpilih pada 2018, tetapi baru bisa dilantik pada 2019 di bulan yang berbeda-beda, sehingga masa jabatan para kepala daerah itu terpangkas mulai dari 2 bulan sampai dengan 6 bulan.
Hal tersebut terdampak pada masa jabatan para pemohon menjadi tidak utuh selama 5 tahun, sebagaimana ketentuan norma pasal 162 ayat (1) dan (2) UU Pilkada yang secara jelas menyebutkan kepala daerah memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan.
“Sehingga dengan demikian jika pemohon meminta MK untuk menafsirkan secara konstitusional berdasarkan berdasarkan konstruksi norma pasal tersebut menurut hemat saya adalah sangat “reasonable” dan tentunya mempunyai basis argumentasi yang logis. Dengan dampak memperpendek masa jabatan tersebut, maka tentunya potensial melanggar hak konstitusional para pemohon, yaitu diduga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 di mana warga negara mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta potensial terkategori mengabaikan hak konstitusional para pemohon sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” tandas Fahri.