Jika inflasi adalah jin, maka deflasi adalah raksasa yang harus dilawan dengan tegas (Christine Lagarde).
Pengantar
Senin lalu, tepatnya 2 September 2024, Kepala BPS Provinsi Maluku merilis kedua indikator tersebut. Tentu keduanya tidak sendiri, ada Tingkat Penghunian Kamar Hotel, Ekspor-impor, dan Transportasi.
Judul di atas sangat menarik sebab kita berhadapan dengan “jin”, serta raksasa menurut “Christine Lagarde”, pejabat IMF dan ekonom asal Perancis. Terkesan beliau lebih takut deflasi dari pada inflasi.
Mungkin karena beliau adalah “barisan” yang bersimpati kepada dunia usaha atau kelompok produsen dibanding kelompok konsumen.
Jika inflasi terjadi maka kelompok yang paling “menderita” adalah kelompok ini, konsumen rumah tangga.
Sementara jika deflasi maka kelompok pengusaha atau produsenlah yang sangat terpukul, tentu saja petani termasuk kelompok ini.
“Enaknya” petani dalam beberapa bulan terakhir ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang diperoleh dan fluktuatif.
Tentu saja inflasi dan deflasi tidak terjadi bersamaan, karena keduanya tergantung nilai Indeks Harga Konsumen (IHK). Jika inflasi berarti terjadi kenaikan IHK, sedangkan sebaliknya disebut deflasi.
Kebijakan Penanganan Inflasi
Dalam satu dua tahun belakangan ini, persoalan Inflasi akibat kenaikan IHK menjadi topik penanganan serius oleh pemerintah. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kestabilan daya beli masyarakat.
Hasil terdekat kebijakan ini adalah terjadi inflasi dan deflasi masing-masing berbagi empat kali dalam delapan bulan terakhir.
Dengan kondisi yang saling “pulang pokok”, bolehlah dikatakan bahwa pemerintah Provinsi Maluku berhasil mengendalikan inflasi. Kalaupun terjadi inflasi masih dalam batas-batas yang wajar walau daya beli sedikit tergerus.
Upaya “pasar inflasi” bisa jadi cukup efektif dalam menyangga IHK tidak naik secara tajam. Bahkan tidak saja pasar inflasi, ada juga “komoditi inflasi” pada pasar tertentu di Maluku.
Hal “berjualan dan berbelanja”, baguslah kalau ada sedikit “spekulasi” oleh para penjual, supaya ada sedikit semangat dari pada “lesu” akibat tekanan deflasi.
Banyak para pintar ekonomi mengatakan bahwa menangani IHK harus dilakukan dengan hati-hati. Haruslah diupayakan supaya biarlah ada inflasi tapi masih dalam batas-batas yang wajar, dari pada deflasi.
Ibarat obat, jika pengendalian inflasi terlalu berlebihan maka akan terjadi deflasi yang mengakibatkan kelesuan ekonomi. Tentu saja kita akan berhadapan dengan kondisi hilangnya investasi bahkan lebih berat bisa “resesi”.
Komoditi Pangan Pemicu Perubahan IHK
Kalau terjadi perubahan IHK pasti terjadi naik atau turun. Jarang tidak berubah alias “tinggal di tempat’, karena komoditinya cukup banyak yang diamati, mencakup kurang lebih 350 komoditi.
Dalam delapan bulan terakhir sejak Januari, terjadi inflasi sebanyak empat kali, yaitu Januari, April, Mei dan Juni. Bisa jadi karena sisi penawaran berkurang sementara permintaan meningkat.
Komoditi-komoditi pemicu utama adalah dari kelompok pangan, dan cukup beragam. Namun pemicu paling dominan adalah ikan dan derivatnya. Komoditi ikan tercatat sebagai yang harganya paling fluktuatif. Tercatat masing-masing empat kali naik untuk memicu inflasi dan turun untuk memicu deflasi.
Selain komoditi ikan, tomat menjadi komoditi pemicu inflasi sebanyak lima kali dan pemicu deflasi tiga kali. Berarti dalam delapan bulan terakhir harga tomat tidak pernah “diam”. Bahkan dalam dua minggu lalu harga tomat pernah menyentuh Rp. 4000/kg.
Komodoti berikutnya yang cukup bandel adalah bawang merah yang memicu inflasi maupun deflasi masing-masing tiga kali, sedangkan dua kali harganya stabil.
Komoditi yang harganya paling stabil adalah bawang Bombay dan keladi. Keduanya hanya satu kali memicu inflasi, sedangkan tujuh bulan lain harganya tetap stabil.
Selain bawang Bombay dan keladi komoditi lainnya relatif “jinak”, artinya harganya stabil dalam empat kali rilis IHK. Komoditi pangan kelompok ini misalnya bayam, bawang putih, kangkung, dan buncis.
Sementara komoditi pangan seperti cabe rawit, cabe merah, kacang panjang, terong, labu siam merupakan komoditi yang haganya stabil lebih dari lima bulan.
“Penikmat” Kebijakan Penanganan Inflasi
Tentu saja dalam kaitan ini ada yang merasa “diuntungkan” dan tentu sebaliknya “dirugikan”.
Bagi saya sebagai penikmat ikan dan sayuran, harga belakangan ini sangat menyenangkan. Harga ikan cakalang sebelumnya Rp. 150.000, turun menjadi Rp. 70.000, di dua pekan lalu. Bahkan untuk sayur daun ketela pohon dengan Rp 5000, saya bisa makan empat kali.
Dengan kondisi yang terakhir ini, uang saya mengalami kenaikan daya “membeli”, bisa dua ekor dan ada lebihnya. Padahal sebelumnya hanya bisa membeli satu ekor.
Belum lagi harga tomat yang sampai menyentuh Rp.4000,- saja. Padahal dua minggu lalu harganya mencapai Rp. 14.000, pada salah satu pasar di Kota Ambon.
Saya dan bahkan ribuan penduduk Kota Ambon bergembira dengan kondisi ini, karena daya beli kami meningkat.
Namun tentu tidak dengan mereka yang sehari-hari menangkap ikan atau menanam tomat, sebagai proksi petani di Maluku.
Entah sudah pasti demikian atau mungkin kebetulan, jika inflasi petani pasti bergembira atau menderita jika deflasi.
Sudah pasti kegembiraan mereka tidak bisa kita lihat secara kasat mata. Namun catatan delapan bulan menunjukkan jika terjadi inflasi Nilai Tukar Petani berada antara 105 – 106. Kalau dengan angka ini dapat dipastikan mereka menikmati selisih lebih dari yang diterima dan dibayar.
Kesedihan petani akan tergambar saat deflasi, dimana dalam empat kali deflasi NTP mencapai 103,40 – 99,9. Ini berarti kelebihan yang mereka terima makin mengecil akibat deflasi. Angka 99,9 ini merupakan NTP pada bulan Agustus 2024.
Bahkan tidak semua kelompok petani menikmati NTP di atas seratus dalam delapoan bulan terakhir ini. Mereka yang paling menderita adalah petani tanaman pangan dan nelayan budidaya. Dalam delapan bulan ini NTP mereka tidak pernah mencapai 100.
Kepedulian Terhadap Petani
Inflasi dalam batas yang wajar tentu kita maknai sebagai “kado” bentuk kepedulian pemerintah kepada konsumen rumah tangga. Namun kalau NTP yang tidak mencapai 100 siapa yang peduli.
Jika indeks yang diterima petani lebih besar dari indeks yang dibayarnya maka NTPnya pasti di atas 100, tanda kesejahteraannya membaik.
Komoditi langganan pemicu indeks yang diterima petani dalam delapan bulan terakhir ini selalu bervariasi, walau tidak sebesar pemicu inflasi/deflasi.
Singkatnya, komoditi yang “dualisme” seperti cabe merah, cabe rawit dan tomat harus diperhatikan. Ketiganya dapat menaikkan It petani jika harganya naik, namun sebaliknya jika harganya turun.
Sementara komoditi yang yang dapat menaikan It petani adalah Pala biji, kakao/coklat biji, cengkeh, ketela pohon, kelapa, jagung dan gabah. Harga dari komoditi ini perlu diupayakan agar tetap “mahal” supaya indeks yang diterima petani tetap tinggi.
Di sisi lain komoditi seperti beras, ikan layang, ikan cakalang, rokok kretek, bawang merah, kangkung, ikan kembung, gula pasir, kacang panjang dan bawang putih harus tetap dupayakan agar harganya stabil sehingga Ib petani tidak meningkat.
Dalam delapan bulan pengamatan Indeks yang dibayar (Ib) petani komoditi-komoditi terakhir ini adalah pemicunya. Jika harganya naik beban petani meningkat yang ditandai kenaikan Ibnya.
Penutup
Ternyata tidak mudah mengendalikan IHK. Jika IHK naik berarti terjadi inflasi, dimana saat itu konsumen menjerit karena penurunan daya beli.
Sementara jika IHK turun terjadi deflasi, dimana saat itu terjadi penurunan harga, pada saat itu petani sangat menderita.
Mungkin ini yang dimaksud Christina Lagarde, melawan inflasi berarti melawan Jin, sedangkan melawan deflasi seperti melawan raksasa, harus ada ketegasan. Semoga !!!
Oleh: Charles Gigir Anidlah; Fungsional Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Maluku.