Judul di atas disasarkan pada salah satu aktifitas ekonomi dalam struktur ekonomi suatu wilayah, kabupaten/kota, provinsi, negara, bahkan dunia internasional. Pada dasarnya kata kunci dari sektor ekonomi atau kategori kegiatan industri pengolahan adalah “mengubah bentuk”. Jadi, aktifitas industri pengolahan bermuara pada upaya merubah bentuk suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Dalam konteks perdagangan antar wilayah atau antar negara, pelarangan ekspor produk mentah seperti kayu gelondongan/bulat, ikan hidup, dan sejenisnya merupakan implementasi peningkatan nilai tambah melalui aktifitas industri pengolahan.
Secara nasional, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 menempatkan aktifitas tersebut sebagai tantangan utama. Dalam butir kedua tantangan pertumbuhan ekonomi disebutkan “Penguatan struktur ekonomi, berupa penguatan sektor primer, sekunder dan tersier secara terpadu, dengan sektor sekunder menjadi penggerak utama perubahan tersebut. Kemajuan sektor industri pengolahan masih berjalan lambat. Padahal agar perekonomian bergerak lebih maju sektor industri pengolahan harus menjadi motor penggerak (buku 1 Agenda Pembangunan Nasional, hal 2-9).
Penempatan sektor industri pengolahan sebagai tantangan utama pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa andilnya dalam ekonomi nasional yang mencapai sekitar 21 persen masih menjadi persoalan untuk ditingkatkan.
Tantangan global yang dihadapi dalam perdagangan bebas harus dihadapi, kuncinya adalah peningkatan sektor industri pengolahan. Tantangan nyata yang terlihat adalah serbuan produk industri pengolahan dalam bentuk makanan dan minuman sampai dengan produk alat berat akan membanjiri wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, jika kita tidak siap.
Kata kunci industri pengolahan “mengubah bentuk” menunjukkan kepada kemampuan sumberdaya manusia dalam suatu wilayah. Kemampuan tersebut adalah merekayasa bahan dari alamnya menjadi bahan jadi untuk sebesar-besarnya nilai tambah yang diperoleh.
Akumulasi nilai tambah yang diperoleh tahun ini terhadap tahun lalu itulah pertumbuhan ekonomi.
Andil industri pengolahan yang mencapai 21 persen merupakan cerminan rata-rata dari seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Berarti ada wilayah yang mungkin mencapai 28 persen atau lebih, tetapi ada yang hanya sekitar 4 sampai 5 persen saja seperti Provinsi Maluku.
Kalau secara nasional angka 21 persen diresahkan, mestinya secara regional angka 4-5 persen juga diresahkan oleh orang Maluku.
Dalam konteks sumberdaya manusia, andil sektor industri pengolahan yang rendah dalam perekonomian menunjukkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam wilayah tersebut.
Provinsi Maluku kaya sumberdaya alam, menanti sentuhan tangan-tangan kreatif, yang melahirkan ekonomi kreatif.(Oleh : Ir. Charles Gigir Anidlah, M.Si. Penulis adalah Cendekiawan Kabupaten Maluku Barat Daya)