Deflation isn’t good, and inflation is easier to cure than deflation (Robert Hiyosaki)
Pengantar
Kemarin tanggal 3 Pebruari 2025, Kepala BPS Provinsi Maluku Maritje Pattiwaellapia merilis Berita Resmi Statistik untuk kondisi Januari 2025. Salah satu yang dirilis adalah Indeks Harga Konsumen (IHK), cerminan perubahan harga barang dan jasa terkonsumsi rumah tangga bulanan.
Sebagian besar di antara kita yang mengikuti rilis tersebut sangat lega, sebab IHK Maluku sedikit menurun mencapai 106,64 dari IHK Desember 2024 sebesar 106,99. Sudah pasti terjadi deflasi yang oleh Ka BPS Maluku disampaikan mencapai -0,33% untuk m-to-m; dan 0,76% untuk y-o-y.
Saya coba melihat sisi lain dari inflasi ini, tentu kalau saya bilang inflasi sebenarnya yang saya maksud adalah deflasi juga. Kenapa begitu karena keduanya merupakan sisi mata uang coin, yang tidak akan muncul bersamaan saat jatuh akibat dilempar.
Inflasi vs Deflasi
Dua titik berlawanan yang tidak mungkin terjadi bersamaan tergambar selama 2024 (Triwulan IV) dan 2025 (Januari) yang saya ambil tidak kebetulan. Yang satunya mewakili kecendrungan Inflasi dan lain sebaliknya.
Dari sisi perbankan “hujan lebat” transaksi biasanya terjadi di Triwulan IV(Oktober – Desember) yang satunya “rintik-rintik” di Triwulan I (Januari-Maret). Fakta ini memastikan kalau di Triwulan IV paling sering terjadi Inflasi, karena transaksi yang dicatat “rekan” perbankan, memang tinggi. Sebaliknya yaitu di Triwulan I, rendah sehingga terjadi Deflasi.
Catatan tingginya transaksi perbankan ini di antaranya terbaca pada RTGS, BI-Fast dan Transaksi Kartu Kredit yang memang agak tinggi pada triwulan III dan IV dibanding triwulan I.
Kondisi terakhir ini terkait dengan, jika uang beredar berkurang atau tumbuh sangat lambat, permintaan terhadap barang dan jasa akan cenderung turun, karena konsumen dan pelaku bisnis merasa tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja dan berinvestasi.
Penurunan permintaan ini dapat menyebabkan penurunan harga atau deflasi. Tentu sebaliknya kalau uang beredar bertambah.
Kalau terjadi Deflasi, ekonomi akan lesu, “kekurangan darah”, akibatnya besaran ekonomi (PDB atas Dasar Harga Berlaku) akan mengecil. “Harga” barang dan jasa mengalami penurunan, sementara dari sisi “growth” ekonomi tetap tumbuh, namun kapasitas produksi akan menurun. Kondisi ini sering digambarkan oleh para ekonom sebagai “penyusutan ekonomi” karena penurunan permintaan agregat dalam perekonomian.
Deflasi terkait growth ini, akan berdampak tidak jauh berbeda dengan Inflasi. Kalau ini terjadi, untuk jangka pendek ekonomi akan membesar, namun untuk jangka panjang akan terjadi penurunan kapasitas produksi besar-besaran. Bentuknya bisa macam-macam salah satu yang paling ditakutkan adalah PHK.
Dengan demikian, efek inflasi dan deflasi sama-sama memberikan pengaruh negatif maupun positif dalam perekonomian. Karena itu tidaklah berlebihan jika terjadi inflasi, maka para pandai ekonomi selalu berharap berkisar antara 2-4%, bahkan sedikit lebih rendah lagi yaitu 2 – 3% saja.
Dirugikan VS Diuntungkan
Fakta teruntungkan jika terjadi deflasi telah diketahui dan banyak dirasakan. Yang teruntungkan biasanya mereka para konsumen. Mereka menikmati harga rendah, karena pada saat yang sama, dengan nilai uang yang sama mereka bisa membeli banyak barang. Pada sisi ini kita sebut terjadi peningkatan daya beli masyarakat.
Para pensiunan juga untung, karena mengalami penurunan biaya hidup. Dikatakan begitu karena penghasilannya tetap tapi harga menurun, karena itu mereka merasa “survive”.
Pihak lain yang diuntungkan juga adalah pengusaha, karena kemampuan berinvestasi meningkat saat biaya produksi dan barang modal menjadi murah. Tentu saja kalau mereka punya hutang akan mudah dilunasi karena menjadi ringan walau nominalnya tetap.
Sementara para produsen ambil contoh petani atau pedagang berkutat menghitung pengembalian dari biaya produksi atau margin profit dan transportasi.
Catatan tentang rendahnya angka Nilai Tukar Petani saat deflasi menunjukkan hal tersebut. Dan karena itu jika terjadi deflasi hampir dipastikan kesejahteraan petani “terganggu”.
Akibat deflasi terhadap kecilnya NTP ternyata belum bisa ditutupi dengan inflasi. Sebab walau terjadi inflasi secara berturut-turut selama September sampai Nopember 2024 ternyata tidak menaikkan NTP yang nilainya terus berada pada kurang dari 100.
Bahkan deflasi yang terjadi di Desember hanya menaikkan NTP sebesar 100,27. Kalau terjadi deflasi di Bulan Desember ini, sebenarnya menunjukkan betapa “kerasnya” intervensi dalam pengendalian inflasi.
Kondisi di bulan September sampai Nopember 2024, menunjukkan bahwa walau terjadi kenaikan harga (inflasi), petani tidak menikmati kenaikan tersebut. Pihak yang menikamti kenaikan harga tersebut adalah para pedagang.
Penutup
Tidak ada satu obat untuk semua penyakit, demikian kata si bijak. Namun tetap obat kita butuhkan untuk sebagai tindakan preventif bahkan mengurangi beban sakit kalau terjadi.
Kebijakan pengendalian inflasi harus dipahami sebagai upaya pengendalian bukan pencegahan. Karena pengendalian, biarlah inflasi itu sedikit bermain-main, asal tidak melebihi “framenya. Jangan lebih dari 3%, atau kalau mau “jungkir” sedikit jangan di bawah 2%.
Kebijakan 4K yaitu keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif tetap kita jalankan. Kalau mungkin mau kita tambah yaitu Sinkronisasi, sehingga menjadi 4KS, sebab sinkronisasi memungkinkan beban yang dipikul jauh lebih banyak karena bersama.
Tanpa kebijakan yang tepat, Inflasi maupun Deflasi akan tetap seperti pahit dari sageru, padahal sageru ada manisnya juga.
Maluku Bisa!!
Oleh: Charles Gigir Anidlah – Statistisi Madya BPS Provinsi Maluku.