Ambon, Tribun Maluku: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku pada Senin (2/12/2024) telah merilis Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Maluku bulan November 2024.
Dari lima subsektor yang menyumbang NTP yaitu subsektor tanaman pangan, subsektor tanaman perkebunan rakyat, subsektor peternakan, subsektor hortikultura, termasuk subsektor perikanan, maka terdapat empat subsektor yang NTP-nya naik sedangkan satu subsektor yang NTP-nya rendah/minus yaitu subsektor hortikultura.
Terhadap hal ini maka Kepala Dinas Pertanian Provinsi Maluku, Dr. Ilham Tauda, SP. M.Si menyampaikan tanggapannya.
Saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya pada Selasa (3/12/2024) Kadistan Maluku mengatakan, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat daya beli petani di perdesaan.
Atau dengan kata lain, NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani berupa barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi (Ib).
Menurut Dr. Tauda, berdasarkan hasil pemantauan harga-harga perdesaan di 42 Kecamatan di Provinsi Maluku pada November 2024 terjadi peningkatan NTP pada November 2024 (99,75) yang disumbangkan oleh meningkatnya NTP pada empat subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan (1,47 persen), subsektor tanaman perkebunan rakyat (2,56 persen), subsektor peternakan (0,90 persen) dan subsektor perikanan (0,87 persen). Sedangkan sub sektor hortikukltura mengalami penurunan NTP, yaitu (- 3,76 persen).
Jika di lihat secara lebih rinci maka dari tiga kelompok komoditas pada subsektor Hortikultura seperti Buahan, Sayuran dan Tanaman Obat maka Buahan dan Tanaman Obat mengalami peningkatan NTP dimana kelompok buah-buahan khususnya komoditas jeruk, pisang, salak, mangga, semangka, nanas, buah naga dan pepaya meningkat sebesar 4,36 persen dan tanaman obat-obatan khususnya kunyit, lengkuas dan sereh sebesar 0,99 persen.
Sedangkan kelompok sayuran khususnya cabai rawit, cabai merah, terung, ketimun, bayam, pare, bawang merah dan cabai hijau mengalami penurunan NTP sebesar – 6,70 persen.
Hal ini kata Dr. Tauda bahwa, dengan membaiknya iklim pasca musim penghujan, memicu peningkatan produksi komoditas sayuran sehingga cukup tersedia di pasar.
Sebagai akibat dari kondisi ini maka harga menjadi tertekan dan berakibat turunnya penerimaan petani.
Sementara pada sisi lain petani harus mengeluarkan pendapatannya untuk kebutuhan Konsumsi Rumah Tangga serta Biaya Produksi dan Modal usaha.
“Pengeluaran konsumsi rumah tangga seperti makanan, minuman, pakaian, bahan bakar, komunikasi, transportasi sedangkan biaya produksi dan modal usaha seperti bibit, pupuk, sewa dan modal,” ulas Dr. Tauda.
“Jadi usaha tani komoditas sayuran merupakan usaha tani intensif yang membutuhkan sarana produksi yang cukup, untuk mendapatkan hasil yang dapat di terima pasar sebagai pangan segar asal tumbuhan,” tutupnya.