Oleh : MUSLAN BACHMID Sip, MM
Momentum Pemilu Legislatif memang dijadwalkan pada tahun 2014 mendatang namun di daerah ini, fenomena dan dinamika politik teranyar lima tahunan ini tiba-tiba menyeruak di jagad bertajuk kepulauan ini bagaikan bak meteor yang jatuh di Siberia Rusia mengguncang dunia persilatan politik dan menggegerkan masyarakat.
Seluruh parpol dan kandidat calegnya telah mengklaim kemenangan dengan perhitungan matematis di internal partai maupun secara individual.
Banyak caleg yang direkrut asal – asalan tanpa melalui sebuah fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) yang tersistematis oleh internal partai.
Akibatnya banyak terjadi kegaduhan politik di internal partai yang dipicu akibat perekrutan asal-asalan dan perebutan nomor urut.
Pemicunya hanya dua faktor yakni, besaran setoran, kedekatan.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dari kedua faktor diatas, sebenarnya ada satu pemicu tunggal yakni, partai tidak melakukan survey yang valid terkait kapasitas dan elaktibilitas para Calegnya, sehingga saat pendaftaran mulai dibuka maka, para calegpun datang beramai-ramai guna mendaftarkan diri sambil meyakinkan partai seolah-olah semua memiliki kans dan basis rill. Sehingga disinilah letak kekeliruan partai dalam mengakomodir para calon.
Disisi lain, deadline pentahapan oleh KPU yang telah ditetapkan juga ikut mempengaruhi selektifitas dan kinerja partai dalam mengakomodir dan merekrut para caleg.
Ketika hal ini tidak diperhatikan, maka bukan tidak mungkin bisa saja para caleg akan berebutan nomor urut karena sama-sama telah mengklaim punya kans (pengaruh) dan basis.
Memang pemilu kali ini tidak memakai mekanisme nomor urut dan proporsional terbukalah yang dipakai namun pertanyaannya siapa ingin jadi pengumpul kalau endingnya tidak menembusi angka bilangan pembagi pemilih (BPP)..?
Akibatnya partai dan sang calegnya pun bisa melupakan apa yang menjadi amanat rakyat karena energinya terkuras habis hanya karena berebutan nomor urut.
Padahal sejatinya amanat rakyat itulah yang harus dipegang teguh tanpa pertimbangan nomor urut dan sebagainya.
Mestinya persoalan perebutan nomor urut tidak harus meruntuhkan semangat perjuangan para caleg yang berada pada urutan terakhir karena dibayang-bayangi dengan stigma sipengumpul tadi.
Memang realitas politik saat ini harus dijadikan rakyat sebagai sarana pembelajaran dikemudian hari sebab di saat rakyat bertanya dimana amanat dan kepentingan kami? Lewat komunikasi non verbal para politisi menjawab ah..itu dulu saat ingin meraih dukungan.
Apa kata mereka menjelang detik-detik perhelatan?
Rakyat adalah segalanya, saya akan bekerja untuk kepentingan rakyat, saya akan buat rakyat sejahtera, suara rakyat adalah suara Tuhan dan beragam metode doktrinisasi lainnya.
Mimpi !!!…itu pembohongan namanya sebab bagi mereka, kepentingan rakyat hanya ada saat kampanye, namun saat duduk dan berkuasa, maka kepentingan rakyat justeru sebaliknya dibuat sebagai alat mencapai kekuasaan dan kekayaan.
Mudah-mudahan pada perhelatan pileg (pemilihan legislatif) nanti diantara para calon ada yang bersih, jujur dan selalu memegang teguh amanah rakyat sebab masyarakat telah dibodohi dengan kotoran berbau anyir Sudah menusuk ke paru-paru, malahan rakyat dibuat susah.
Padahal setelah menduduki taktha empuk maka mereka menilai rakyat tidak menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpinnya siapa yang pantas menjadi wakil dan pemimpinya.
Yang menentukan ialah partai politik, rakyat tinggal memilih dari semua yang buruk. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem paling ideal bagi bangsa dan daerah ini untuk mencapai kesejahteraan pun tersandera oleh kepentingan elite politik. Alih-alih menciptakan ketentraman, malah mendatangkan kegaduhan.
Pemilihan legislative (PILEG) hanya menjadi anomaly demokrasi dan hal ini terlihat pada ketika terjadi benturan kesenjangan sosial dan politik di daerah ini yang terus merebak.
Anomaly demokrasi juga terlihat ketika kasus korupsi semakin marak, jika dulu kasus korupsi hanya terjadi di kalangan birokrasi, kini sudah menjalar ke segenap lini pemerintahan termasuk legislatif.
Kini bangsa dan daerah kita semakin dipenuhi dengan kepalsuan. Pemilu hanya menjadi ornamen demokrasi untuk memilih politisi busuk (Beny Susetyo 2013).
Partai politik (PARPOL) tak ubahnya “MESIN PENDULANG” uang rakyat karena sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi esensialnya menciptakan kader-kader terbaik untuk daerah dan bangsa ini. Maka sejatinya demokrasi kita terlihat semakin semarak karena politik yang gaduh.
Kita (Rakyat) saat ini dihadapkan pada politik transaksional yang sangat akut. Janji-janji elite politik begitu manis saat kampanye namun terasa pahit dan menjijikan ketika mereka duduk di pucuk kekuasaan.
Kita rakyat sudah saatnya memahami bahwa dalam demokrasi (Pemilu) kita (rakyat) hanya dijadikan objek pemerasan segelintir elite politik, dan disinilah demokrasi pun menjadi berbalik kalau tidak mau dikatakan konyol. Demokrasi tidak lagi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” tetapi telah diubah menjadi “ Dari saya, oleh saya dan untuk saya” Demokrasi pun semakin melebarkan kesenjangan karena hanya menjadi “mainan” kaum berduit.
Dalam demokrasi kita sekarang, kekuasaan begitu mudahnya dibeli oleh siapapun asalkan punya uang dan popularitas soal amanah rakyat, idealisme dan integritas adalah jualan ke nomor sekian dalam demokrasi, inilah kenapa demokrasi kita di daerah ini telah mengidap Neurosis.
Para caleg yang hendak bertarung pada pileg mendatang harus mampu menjalankan amanah rakyat yang telah direpresentasikan kepada mereka sebab haruslah diketahui bahwa untuk menciptakan kesejahteraan melalui demokrasi tidaklah mudah dan segampang yang dibayangkan sebab salah satu point penting dalam menuju kesejahteraan demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat penting, salah satunya adalah aktor-aktor politik yang jujur dan pro rakyat.
Bung Hatta pernah berkata, “Demokrasi tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab” bagaimanapun partai politik harus mampu mengembalikan pandangan minor rakyat selama ini yang mengandung sinisme dan pesimisme terhadap partai politik dan kader-kadernya akibat dari amanat rakyat yang tidak lagi dipegang namun dilelang dan dijual demi perut dan nomor urut.
Sudah lama rakyat menunggu sebuah perubahan lewat kesejahteraan namun tak kunjung tiba di daerah ini.
Rakyat terus berjuang melawan penindasan dan kemiskinan struktural yang diakibatkan karena kesalahan kebijakan pemerintah daerah selama ini.
Keringat rakyat belum lagi kering, penat tubuh belum lagi redah bukan berarti semangat dan gelora rakyat untuk menunggu dan mencari kesejahteraan harus padam, ada perhelatan akbar di tahun depan dan rakyat harus bisa menjustifikasi siapa yang bisa menghadirkan kesejahteraan dan perubahan.
Keringat kaum buruh, keringat kaum miskin dari ujung Maluku Barat daya hingga Ujung seram bagian Timur menunggu nasib mereka diperjuangkan oleh para calon dewan yang terhormat dan bukan pecundang.
Mengembalikan kepercayaan rakyat tidaklah mudah, dimana para calon harus berani memungut yang tercecer dan menjemput yang tertinggal, partai politik dan para caleg tidak boleh cengeng dan kehilangan semangat. Karena selama angin menerpa, selama itu pula gelombang akan ada dan partai politik dan para caleg tidak boleh berubah haluan dan kalau ada hanya sekedar menghindari gelombang tersebut sebab pelaut ulung tidak pernah berenang di air tenang. Tetapi harus mengalami amukan gelombang untuk menuju pulau harapan dan memasuki pantai tujuan.
Bung karno berkata, “kita belum hidup di bulan purnama, kita masih ada di masa pancaroba karena itulah kita harus mampu mengubah tantangan menjadi harapan baru dan semangat baru”.
Dengan kata lain, menuju sebuah kesejahteraan, demokrasi di daerah ini harus ramah dengan kondisi kemajemukan yang ada konsep demokrasi dan politik para elite harus mampu melahirkan “keguyuban” dan keadilan serta kesejahteraan yang menyeluruh bukan keadilan pada mayoritas dan konstituen saja. Ini penting sebab jika tidak, mengutip ungkapan Bung Hatta tadi bahwa demokrasi tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan demokrasi seperti itu, maka alih-alih mendatangkan kesejahteraan, demokrasi kita akan mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan.
“Semoga para caleg tidak akan menjadi orang yang mencintai kekuatan rakyat demi kekuasaannya, namun sebaliknya akan menjadi orang yang menjadikan kekuasaan serta kekuatan cintanya demi kepentingan rakyat” ***
Penulis adalah Alumnus STIE Mahardika Surabaya