Oleh Netda K. Mauwa
Ibu Guru: anak-anak gaya adalah…
Nina: tarikan atau dorongan ibu
Ibu Guru: Anak-anak – x – =
Nina: + Ibu
Ibu Guru: Anak-anak pantun adalah
Nina: Tiap bait pantun terdiri atas empat baris · 2. Terdiri dari 8-12 suku kata di tiap
barisnya Pantun memiliki sampiran ibu.
Ibu Guru: anak-anak jangan lupa mengumpulkan tugas membuat puisi dan makalah ya!
Nina: teman-teman sebentar kumpul buat kerja ya!
Teman-teman Nina: tapi banyak tugasnya Nin
Nina: tenang ada ChatGPT, ada Gemini aman kok!
Nina (nama samaran) seorang siswa yang setiap hari berusaha mengingat setiap pengertian dan rumus dari berbagai mata pelajaran. Hampir setiap hari selalu ada tugas dengan bermacam-macam perintah tugas.
Untuk menjadi sang juara maka cara terbaik adalah menghafal dan mengingat apapun yang dikatakan oleh guru!
Bahkan perilaku malas bermunculan dan lebih mengandalkan AI sepeti ChatGPT dan Gemini dari pada nalar kritis yang diberikan Tuhan sebagai anugerah.
Inilah wajah pendidikan kita saat ini dan ini terbukti dari berbagai berita yang diterbitkan misalnya oleh CNBC Indonesia 1 Februari 2024 bahwa Skor PISA Turun Tajam, Mutu Pendidikan Indonesia Masih Rendah.
Disampaikan dalam artikel tersebut bahwa sejak tahun 2000, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui Program for International Student Assessment (PISA) untuk mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam tiga tahun sekali.
Pada 5 Desember 2023 lalu, OECD melaporkan hasil skor PISA Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam. Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di Tanah Air masih rendah.
Sangat disayangkan sebab setiap tahun anggaran pendidikan selalu meningkat. Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun atau 20 persen pada APBN 202 dan kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.
Hal ini dilakukan mengingat amanat UUD 1945 yang menekankan mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga tercantum dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi berbanding terbalik dengan hasil literasi-numerasi yang didapatkan oleh negara Indonesia.
Hasil PISA 2022 menunjukan bahwa dari 81 negara, Indonesia berada pada posisi ke-66 atau sama dengan peringkat 15 terendah di dunia. Meskipun dalam berita yang dilansir oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) pada 5 Desember 2023 bahwa peringkat Indonesia pada PISA 2022 naik 5-6 dibanding sebelumnya pada tahun 2018 yang berada pada posisi 72 dari 79 negara. namun 15 terendah di dunia ini perlu menjadi catatan dan evaluasi yang perlu ditindaklanjuti.
Sebab PISA atau Programme for International Student Assesment merupakan program internasional paling komprehensif dan ketat untuk menilai kinerja siswa dan untuk mengumpulkan data tentang siswa, keluarga dan faktor kelembagaan yang dapat membantu menjelaskan perbedaan kinerja.
Instrumen dan hasil PISA dikumpulkan dan dibuat oleh para ahli terkemuka di negara-negara yang berpartisipasi, dan diarahkan bersama oleh pemerintah atas dasar kepentingan bersama yang didorong oleh kebijakan. Dengan demikian, hasil PISA memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang tinggi.
Lantas apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Mungkin ada banyak hal yang perlu dikoreksi namun salah satu hal yang menjadi fokus artikel ini ialah manajemen pembelajaran yang mengacu pada Taksonomi Bloom.
Istilah ini mungkin tidak asing dan banyak yang sudah membahasnya. Nama taksonomi Bloom tidak terlepas dari pelopornya: Benjamin Samuel Bloom seorang psikolog di bidang Pendidikan.
Bermula dari Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika pada tahun 1950 Bloom dan kawan-kawannya melihat bahwa soal-soal yang diberikan sekolah sebagai evaluasi hasil belajar siswa di Amerika cenderung kepada hafalan siswa.
Menurut Bloom, hafalan merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir. Sebab ada banyak level lain yang perlu dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan kualitas pembelajaran yang bermutu. Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom.
Taxonomy sendiri secara harafiah berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu: tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Jadi Taksonomi berarti hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan.
Dalam bidang pendidikan taksonomi sering dikenal untuk tujuan pendidikan, ada juga yang menyebutnya tujuan pembelajaran, tujuan kinerja atau target pembelajaran, yang digolongkan dalam tiga kategori atau ranah umum, yaitu: (1) ranah kognitif, yang mengacu pada tujuan pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan berpikir; (2) ranah afektif mengacu pada emosi, perasaan, sistem nilai dan sikap hati; dan (3) ranah psikomotor (berorientasi pada penggunaan keterampilan motorik atau otot rangka).
Ranah Kognitif berisi perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir. Ranah afektif mencakup perilaku terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat, motivasi, dan sikap. Sedangkan ranah Psikomotorik berisi perilaku yang menekankan fungsi manipulatif dan keterampilan motorik/ kemampuan fisik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Ketiga tingkatan intelektual Bloom ini sering dikaitkan dengan Knowledge, Skill and Attitude (KSA). Kognitif menekankan pada Knowledge, Afektif pada Attitude, dan Psikomotorik pada Skill.
Jika dianalisis dari ketiga ranah yang disampaikan oleh Bloom ranah kognitif menjadi perhatian dan analisis penting. Salah satu alasan yang membuat literasi numerasi menjadi minim ialah kurangnya manajemen pembelajaran yang benar-benar mengeksplor keenam elemen pada ranah kognitif.
Seperti diketahui bahwa saat ini taksonomi Bloom yang digunakan adalah pemikiran Bloom yang telah direvisi oleh muridnya Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme pada tahun 1994. Hal ini dilakukan bukan untuk mengubah dan akan menjadi pencetus baru namun untuk memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman.
Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya dilakukan pada ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi: 1. Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level taksonomi. 2. Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkis, namun urutan level masih sama yaitu dari urutan terendah hingga tertinggi.
Perubahan mendasar terletak pada level 5 dan 6. Perubahan-perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering (mengingat).
- Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding (memahami).
- Pada level 3, application diubah menjadi applying (menerapkan).
- Pada level 4, analysis menjadi analyzing (menganalisis).
- Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan perubahan mendasar, yaitu creating (mencipta).
- Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan evaluating (menilai).
Jika dilihat pada kasus yang dialami oleh Nina bukanlah hal yang harus ditutupi, sebab inilah realitanya. Pendidikan Indonesia masih perlu untuk terus mengevaluasi dan mendorong perkembangan pembelajaran. Bila dilihat menggunakan kacamata taksonomi Bloom dapat dianalisis:
-
-
- Pertama dari usaha yang dilakukan Nina masih berkisar pada tataran kognitif yang pertama yaitu knowledge atau yang telah diperbarui yakni remembering.Semua yang dilakukan oleh Nina masih berpacu pada mengingat dan menghafal pengertian gaya adalah tarikan dan dorongan, – x – = + artinya pendidikan kita masih pada tataran menyampaikan informasi untuk diingat. Belum pada tataran understanding atau memahami, kenapa gaya bisa disebut tarikan dan dorongan, apa yang ditarik dan apa yang di dorong!Dari ingatan yang belum dipahami menjadi kendala untuk applying menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan jika penerapannya dipahami hal itu masih pada tataran contoh dari buku, dari guru yang bersifat remembering dan bukan understanding sehingga siswa mampu untuk menyampaikan contoh konkret sendiri.
- Menurut Bloom, hafalan merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir. Ada banyak level lain yang perlu dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan kualitas pembelajaran yang bermutu. Dari pemikiran ini maka jelas keluaran pendidikan belum mencapai mutu yang baik. Perlu evaluasi dan tindak lanjut serius.
- Mengingat atau menghafal belum tentu memahami.
Menurut (Nafiati, 2021 dalam Ulfah dan Arifudin 2023) Taksonomi Bloom versi baru membedakan antara “tahu tentang sesuatu (knowing what)”, isi dari pemikirannya itu sendiri, dan “tahu tentang bagaimana melakukannya (Knowing how)” dan taksnomi versi baru lebih mengarah pada knowing how bukan hanya mengingat tapi tahu bagaimana melakukannya, bagaimana dari mengingat, memahami, mengaplikasikan sampai pada elemen tertinggi yaitu menciptakan. - Menurut (Ayub, 2020; Ulfah dan Airfudin 2023) Proses mengingat adalah mengingati kembali informasi yang sesuai dari ingatan jangka panjang.Proses memahami pula adalah kemampuan untuk memahami secara mendalam dari bahan pendidikan, seperti bahan bacaan dan penjelasan guru.
Kecakapan turunan dari proses ini melibatkan kemahiran memahami, mencontohkan, membuat klasifikasi, meringkas, menyimpulkan. Proses ketiga yaitu menerapkan, melibatkan kepada pengguna prosedur yang telah dipelajari baik dalam situasi yang telah dikenal maupun pada situasi yang baru.Proses berikutnya adalah menganalisis, terdiri dari memecah pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil dan memikirkan bagaimana bagian-bagian tersebut berhubungan dengan struktur keseluruhan.Menciptakan ialah proses yang tidak terdapat dalam taksonomi bloom versi lama akan tetapi proses ini adalah komponen tertinggi dalam Taksonomi Bloom versi terbaru.Kecakapan ini melibatkan usaha untuk meletakkan berbagai perkara secara bersama untuk menghasilkan suatu pengetahuan baru. Semua tingkatan saling terkait dan memiliki pengaruh. Oleh sebab itu penting bagi setiap naradidik untuk melewati tingkatan tersebut dengan tuntas dan ini menjadi tugas guru dalam proses belajar mengajar. - PBM tidak boleh lagi menganut tujuan pembelajaran sampai pada mengaplikasikan, namun berani membawa peserta didik untuk mengeksplor dan menciptakan sendiri dari apa yang dipelajari, dipahami, dianalisis sehingga menghasilkan temuan yang baik.Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof Stela Christie Wakil Menteri Pendidikan yang baru dilantik “”Hilirisasi tak akan bisa terjadi tanpa inovasi dari sains dan teknologi.Itu tentu salah satu yang sangat penting yang harus kita galakkan dan perlu dukungan Bersama.” Itu berarti inovasi sebagai upaya dari tingkatan terakhir yakni creating adalah tujuan mulia dari sebuah pendidikan nasional.
- Proses belajar mengajar masih berbau hafalan. Literasi-numerasi masih terlihat lemah berdasarkan data PISA sejak tahun 2000 bahkan sampai hari ini.Hal ini adalah pekerjaan besar yang membutuhkan komitmen serius. Lantas apa yang harus dibenahi? Jawabannya banyak!Mulai dari sistem pendidikan, pendidik, media dan metode. Akan tetapi yang paling krusial dan penting ialah bagaimana sebagai pendidik, guru mampu memiliki pembelajaran dan membentuk siswa di lapangan. Caranya: membiasakan siswa untuk tidak hanya berproses pada mengingat tetapi juga memberikan pemantik untuk melihat lebih jauh sebagaimana siswa memahami apa yang dipelajari.
- Literasi sudah sepatutnya menjadi budaya, menjadi gaya hidup sejak dini sehingga keenam taksonomi Bloom ini benar-benar selesai dan tuntas pada setiap tahap pertumbuhan secara khusus dalam lingkup peserta didik.
-
- *** Penulis adalah mahasiswa magister administrasi pendidikan UKSW