Oleh : Charles Gigir Anidlah
Saya selalu percaya, ekonomi yang tangguh itu tidak harus besar. Tentu termasuk ekonomi Maluku juga. Yang penting: punya daya tahan.
Seperti perahu para nelayan kita di banyak tempat kecil, tapi tahu arah angin. Mereka selalu bisa menunggu badai reda, lalu kembali berlayar.
Begitulah seharusnya ekonomi daerah kita, tidak perlu meniru Jakarta, atau Makassar, cukup bisa berdiri di atas kekuatannya sendiri.
Hari ini, kita berbicara tentang bagaimana Maluku keluar dari kerapuhan ekonomi. Tentang bagaimana provinsi kepulauan ini melangkah dari sekadar “bertahan hidup” menjadi “berdaya saing”.
Tentang ekonomi yang inflasinya terkendali, harga-harganya stabil, pertumbuhan riilnya naik, PAD-nya meningkat, dan akhirnya: tangguh serta berkelanjutan (manisnya panjang sekali).
Lima Tahun Terakhir: Tumbuh, Tapi Belum Kuat
Jika kita menengok ke belakang lima tahun terakhir, giat ekonomi Maluku memang menunjukkan tren positif.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata berkisar di angka 4,5%–5,0% per tahun, sedikit di bawah rata-rata nasional. Sektor perikanan, perdagangan, dan jasa pemerintahan masih menjadi tulang punggung.
Namun, struktur ekonomi belum banyak berubah. Kontribusi industri pengolahan masih rendah, dan ketergantungan terhadap belanja pemerintah masih tinggi.
Tahun ini, tanda-tanda pemulihan lebih terasa. Inflasi mulai terkendali di kisaran 3,2%, lebih stabil dibandingkan masa pandemi yang pernah menyentuh angka 6%. Aktivitas UMKM mulai bergeliat, terutama di Ambon dan sebagian Seram.
Namun di balik geliat itu, rapuhnya fondasi masih terlihat. Harga barang di pulau-pulau kecil masih mahal, konektivitas belum lancar, dan banyak nelayan yang belum menikmati hasil lautnya secara optimal.
Ekonomi Maluku tumbuh, tetapi belum kuat. Ia seperti kapal yang berlayar lebih cepat, tapi mesinnya belum kokoh.
Kekuatan yang Perlu Didorong
Kekuatan utama Maluku adalah lautnya.
Laut yang tidak hanya luas, tapi kaya dan beragam. Potensi perikanan tangkap, budidaya laut, hingga energi gelombang dan pariwisata bahari — semuanya tersedia.
Salah seorang mantan Kepala saya di BPS Provinsi Maluku mengatakan, “selama dua minggu menikmati pesisir Kepulauan Maluku saya merasa rugi, karena hanya dua minggu”. “Mengapa baru sekarang saya mengenal daerah ini” ?
Selain itu, Maluku punya modal sosial yang kuat: budaya gotong royong (Masohi), komunitas adat yang terorganisir, dan masyarakat yang terbiasa hidup dalam solidaritas.
Jika potensi laut dan kekuatan sosial ini diolah dengan manajemen modern dan teknologi tepat guna, maka Maluku bisa menjadi pusat ekonomi kelautan Indonesia Timur.
Apalagi, pasar dunia kini bergerak ke arah re-globalisation yaitu mencari sumber produksi yang dekat, berkelanjutan, dan beretika. Maluku bisa masuk ke arus itu, asalkan infrastrukturnya siap.
Kelemahan Perlu Diakui
Kelemahan terbesar Maluku tetap sama yakni logistik dan ketergantungan fiskal.
Transportasi antar pulau masih menjadi biaya paling mahal dalam rantai ekonomi. Sebagian besar pasokan BBM, bahan bangunan, dan kebutuhan pokok masih datang dari luar.
Selain itu, lebih dari 90% pendapatan daerah masih bergantung pada dana transfer dari pusat.
Selama ketergantungan ini belum dikurangi, ekonomi Maluku akan terus mudah terguncang setiap kali APBN direvisi.
Kelemahan lainnya adalah minimnya nilai tambah lokal. Hasil laut masih dikirim mentah ke Surabaya atau Bitung. Rempah diekspor tanpa diolah. Ini membuat ekonomi kehilangan lapisan pendapatan kedua yaitu lapisan pencipta lapangan kerja baru dan meningkatkan PAD.
Peluang di Depan Mata
Namun, jangan pesimis. Justru di tengah tantangan itulah terbuka peluang besar.
Pemerintah pusat kini mulai memprioritaskan pembangunan ekonomi kepulauan dan hilirisasi daerah.
Maluku bisa menjadi laboratorium kebijakan maritim nasional, memimpin model ekonomi laut yang berkelanjutan.
Selain itu, tren ekonomi digital dan pariwisata hijau mulai bergeliat. Anak-anak muda Maluku kini banyak yang terjun ke bisnis creative marine, membuat produk olahan laut, aplikasi perikanan, hingga promosi wisata berbasis daring.
Jika diberi dukungan permodalan dan pelatihan, mereka bisa menjadi generasi baru penggerak ekonomi Maluku.
Menuju Ekonomi Tangguh
Pertama, kendalikan inflasi lewat penguatan logistik dan energi lokal.
Bangun pelabuhan kecil di pulau-pulau, perbanyak kapal perintis, dan kembangkan energi terbarukan agar biaya distribusi turun.
Kedua, naikkan pertumbuhan riil dengan mendorong industri nilai tambah: pengolahan ikan, minyak pala, dan produk rempah modern.
Ketiga, tingkatkan PAD melalui ekonomi lokal produktif bukan hanya pajak konsumsi, tapi juga dari aktivitas produksi yang nyata.
Keempat, perluas akses keuangan dan digitalisasi UMKM, agar uang tidak berhenti di kota kabupaten saja.
Dan kelima, kuatkan kepemimpinan ekonomi daerah yang berpikir seperti wirausaha, bukan sekadar pejabat pembuat komitmen atau pendatanganan SPM.
Kalau lima hal itu berjalan bersama, maka inflasi bisa dikendalikan, harga menjadi stabil, pertumbuhan riil meningkat, PAD bisa naik, dan ekonomi Maluku menjadi lebih tangguh serta berkelanjutan.
Orang tua-tua kita yang nelayan sering berkata : “Kalau mo sampe seberang, jangan menunggu laut tado. Musti balajar baca arah angin.”
Begitu pula dengan Maluku. Jangan menunggu kondisi sempurna. Mulailah berlayar dengan arah yang jelas bagi kemandirian dan ketangguhan ekonomi.
Karena ekonomi yang kuat bukan yang tak pernah goyah, tapi yang tahu bagaimana berdiri kembali setiap kali diterpa ombak.
Maluku Bisa!!!
Penulis Fungsional Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Maluku.






