Pembangunan Maluku sebagai daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah Maluku dengan masyarakat yang ada di dalamnya dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan masyarakat yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat daerah lainnya.
Membangun wilayah-wilayah tertinggal di Maluku sangat berbeda dengan usaha menanggulangi kemiskinan dalam bidang cakupan pembangunannya. Pembangunan wilayah tertinggal di Maluku tidak hanya berkaitan dengan masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial, budaya, dan keamanan, bahkan terkait juga dengan hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju. Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal di Maluku memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, diperlukan program pembangunan wilayah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di wilayah-wilayah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan wilayah lainnya.
Kondisi ini pada umumnya terdapat pada wilayah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, daerah-daerah pesisir di beberapa Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Seram Bagian Timur (SBT), Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara, Kota Tual, Kabupaten MBD, MTB dan Kepulauan Aru.
Di samping itu, perlu perhatian khusus pada wilayah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik, seperti pertikaian antar kampung di Kota Ambon, antar Negeri di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan sekitarnya, juga beberapa kejadian yang sering terjadi di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.
Kebijakan dan strategi pembangunan daerah tertinggal di Maluku yang harus dilakukan oleh Pemprov/Pemkab/Pemkot, ditujukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam bentuk pemihakan, percepatan, dan pemberdayaan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing wilayah tersebut.
Program prioritas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi/Kabupaten/kota meliputi: pengembangan ekonomi lokal seperti kelompok pengrajin, usaha UMKM, pemberdayaan masyarakat petani/nelayan, pengembangan daerah terisolasi, penanganan komunitas adat terpencil (KAT) seperti suku-suku yang masih hidup di Pulau Seram dan Pulau Buru, pengembangan daerah perbatasan seperti Pulau Wetar dan Pulau Roma di Kabupaten MBD, pengembangan prasarana dan sarana dan infrastruktur dasar, jalan, jembatan, pelabuhan laut, bandara, terminal, pasar tradisional, alat-alat transportasi darat dan laut yang layak dan representatif serta listrik dan air bersih.
Mengapa Maluku Dikatakan Tertinggal Oleh Jakarta
Ada beberapa faktor yang dijadikan indikator untuk menentukan suatu wilayah sebagai daerah tertinggal. Pendekatan yang digunakan oleh Jakarta tentunya harus kita cermati dengan baik, obyektif dan rasional.
Untuk melihat hal tersebut saya mencoba untuk menggunakan data-data statistik dari BPS dan Bank Indonesia. Berdasarkan data-data yang ada maka kesimpulan sementara yang dapat saya kemukakan bahwa beberapa indikator ekonomi yang dipakai menunjukan performa ekonomi yang kurang menggembirakan, seperti laju inflasi di Maluku lebih banyak dipicu oleh tingginya harga-harga pangan. Selain itu indikator stabilitas keuangan, arah dan jumlah penyaluran kredit perbankan, serta pelambatan perbankan di Maluku dalam penyerap dana masyarakat (dana pihak ketiga atau DPK).
Perekonomian Masyarakat
Untuk melihat perkembangan perekonomian masyarakat, maka secara ekonomi bisa dilihat dari beberapa indikator makro ekonomi seperti perkembangan laju inflasi, dimana berdasarkan data BPS Maluku pada triwulan IV-2014 berada pada level 7,19% (yoy).
Pencapaian inflasi Maluku pada triwulan laporan tercatat lebih rendah dibanding inflasi nasional yang sebesar 8,36% (yoy). Yang didorong oleh inflasi pada komoditas beras, cabai merah, cabai rawit, bahan bangunan, dan kelompok transportasi, sebagai dampak dari kebijakan pemerintah di bidang energi, faktor cuaca, pelemahan kurs, serta dinamika penawaran dan permintaan di hari-hari besar nasional dan keagamaan.
Indicator lain adalah Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan Maluku pada triwulan IV-2014 bila dibandingkan triwulan sebelumnya diwarnai dengan perlambatan kinerja perbankan akibat melemahnya performa ekonomi. Pertumbuhan aset melambat dari 14,34% (yoy) menjadi 6,53% (yoy). Pertumbuhan DPK juga melambat dari 19,41% (yoy) menjadi 11,90% (yoy), sedangkan pertumbuhan kredit melambat dari 9,92% (yoy) menjadi 8,35% (yoy).
Kredit pada kategori usaha konstruksi mengalami kontraksi dan masih memiliki NPL yang tinggi, yaitu 11,76%. Sementara itu, kredit pada kategori usaha perdagangan besar dan eceran mengalami perlambatan seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga dan tekanan kurs. Di sisi lain kredit pertanian, kehutanan, dan perikanan kembali mengalami pertumbuhan yang meningkat.
Kredit UMKM tumbuh melambat namun porsi pembiayaannya mengalami peningkatan. Kredit UMKM tumbuh 9,08% (yoy), melambat dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 11,52%. Namun demikian, porsinya terhadap total kredit naik dari 26,86% pada triwulan sebelumnya menjadi 27,49% pada triwulan laporan.
Sejalan dengan melambatnya penghimpunan DPK dan penyaluran kredit, aset bank umum Maluku pada triwulan III-2014 tumbuh melambat. Aset bank umum di Maluku mencapai Rp12,9 triliun atau tumbuh 4,7% (yoy), melambat tajam dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 13,32% (yoy).
Perlambatan ini dirasakan pada semua kelompok bank, baik Bank Persero, Bank Swasta, maupun Bank Pembangunan Daerah (BPD). Pertumbuhan Bank Swasta melambat dari 14,48% (yoy) pada triwulan III-2014 menjadi 11,18% (yoy) pada triwulan laporan, sedangkan Bank Persero melambat dari 11,13% (yoy) pada triwulan III-2014 menjadi 6,56% (yoy) pada triwulan laporan. Aset BPD bahkan mengalami kontraksi 3,58% (yoy) pada triwulan IV-2014, turun tajam dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 15,12% (yoy).
Sumber Daya Manusia
Data ketenagakerjaan pada bulan Agustus 2014 menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengalami penurunan dari 66,84% pada bulan Februari 2014 menjadi 60,92% pada bulan Agustus 2014.
Hal tersebut disinyalir merupakan imbas dari pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku yang mengalami perlambatan akibat penurunan kegiatan ekonomi pada sektor pertanian dan perikanan karena musim hujan dan musim angin timur.
Berdasarkan data BPS Pusat, per September 2014 Provinsi Maluku menempati peringkat keempat Provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Persentase penduduk miskin pada periode tersebut adalah sebesar 18,44% dari total penduduk Maluku, atau terdapat sekitar 307 ribu jiwa penduduk Maluku yang tergolong miskin.
Hal ini belum termasuk kajian tentang persoalan pendidikan dan kesehatan di Maluku. Hal ini di indikasikan dengan meningkatnya Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang merupakan ukuran ketimpangan/ disparitas pengeluaran penduduk miskin.
Indeks keparahan kemiskinan tercatat meningkat dari 1,11 pada Maret 2014 menjadi 1,37 pada September 2014, atau merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan Indeks Keparahan Kemiskinan terjadi khususnya di desa, yang meningkat dari 1,49 pada semester sebelumnya menjadi 2,08 pada September 2014.
Dan memasuki triwulan I-2015 diperkirakan tingkat kemiskinan Maluku akan meningkat. Berdasarkan hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia Maluku hingga Februari 2015.
Prasarana (Infrastruktur)
Harus diakui bahwa bahwa salah satu fator yang membuat Maluku sulit berkembang adalah persoalan infrastruktur ekonomi. Saya selalu katakana bahwa Maluku jangan pernah MIMPI untuk menjadi daerah maju jika infrastruktur dasar tidak ditangani secara serius.
Alasan logis yang saya pakai adalah wilayah Maluku 90% laut, berarti roda perekonomian akan berkembang melalui kegiatan produksi, distribusi dan pemasaran dengan baik jika jalan, jembatan, pelabuhan laut, Bandar, sarana transportasi laut yang layak dan memadai.
Disisi lain banyak daerah pedalaman di Seram, Buru, dan Maluku Tenggara yang belum bisa diakses karena jalan darat yang dapat membuka isolasi tersebut belum terwujud dengan baik dalam arti kondisi konstrksi jalan yang masih buruk secara teknis.
Kalau ada pembangunan jalan untuk membuka isolasi, masih banyak yang bersifat, pembongkaran dan konstruksi jalan sirtu belum ada pengaspalan yang tahan lama. Secara umum masalah infrastruktur dasar di Maluku masih sangat jauh dari yang kita harapkan.
Kemampuan Keuangan Daerah
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah (OTODA), maka salah satu aspek yang saya lihat adalah rendahnya pemerintah daerah baik Provinsi/Kabupaten/Kota dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Hal ini disebabkan karena kemampuan pemda dalam mengelola sumber-sumber PAD yang sudah ada belum maksimal, disamping usaha untuk menciptakan sumber-sumber PAD yang lain juga tidak terlalu signifikan, kondisi seperti ini tentunya berimplikasi terhadap rendahnya penerimaan PAD sehingga pembiayaan pembangunan lebih besar ketergantungannya kepada transfer pemerintah pusat (DAU, DAK dan dana Hibah).
Tingkat ketergantungan Kabupaten/Kota di Maluku yang sangat besar terhadap pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan di Maluku, dalam jangka panjang akan melemahkan kemandirian daerah dalam proses pembangunan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan tata kelola keuangan dan anggaran daerah yang kurang sesuai dengan KEBUTUHAN daerah tetapi lebih cenderung mengikuti KEINGINAN pengambil kebijakan. Hal ini ditandai dengan pola perencanaan pembangunan yang bersifat parsial sektoral, dan bukan perencanaan komprehensif terintegrasi
Dalam jangka panjang jika Kabupaten/Kota yang saat ini ada ketika dievaluasi oleh pemerintah pusat dan ternyata tidak memberikan performa kinerja yang baik maka bisa saja akan dilikuidasi. Kondisi semacam ini yang pernah terjadi untuk Kota Ambon karena 70% anggaran daerah digunakan untuk benja rutin dan bukan belanja pembangunan.
Aksesibilitas, dan Karakteristik Daerah
Semua orang memahami bahwa karakteristik daerah Maluku secara geografis 90% adalah laut dan secara topografi termasuk daerah perbukitan. Sebagai daerah kepulauan maka tentunya banyak daerah-daerah yang berada di pesisir pantai namun juga ada masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman.
Baik kawasan pesisir maupun pedalaman di berbagai Kabupaten/Kota di Maluku masih belum bisa diakses secara baik sehingga aktivitas pembangunan berjalan sangat timpang. Banyak wilayah yang secara ekonomi sangat potensial akan tetapi masih terisolasi sehingga ekonomi daerah terisolasi dan masyarakatnya sulit berkembang
Disamping itu akses perbankan di Maluku belum optimal sehubungan dengan sebaran kantor bank, baik Bank Umum (BU) maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang tidak merata di seluruh daerah Maluku.
Sampai dengan triwulan IV-2014, jaringan kantor di Provinsi Maluku mencapai 176 kantor yang tersebut di seluruh daerah Maluku. Jumlah kantor bank terbanyak berada di Kota Ambon mencapai 62 kantor bank, terdiri dari 60 kantor BU dan 2 kantor BPR.
Selanjutnya, diikuti oleh Maluku Tengah sebanyak 21 BU dan 1 BPR, Buru sebanyak 14 BU dan 1 BPR dan Maluku Tenggara sebanyak 13 BU dan 1 BPR serta Kota Tual 16 BU dan 2 BPR. Sedangkan, hanya terdapat 1 bank di daerah Maluku Barat Daya.
Semua hal ini menyebabkan rendahnya tingkat aksesibilitas masyarakat dalam aktivitas pembangunan ekonomi, social dan budaya. SEMOGA BERMANFAAT
Oleh Ulis Latumaerissa*