Namrole, Tribun Maluku – Proyek pembangunan Tower dan Jaringan Listrik PLTA yang sementara digalakkan PT. PLN (Persero) melalui pihak ketiga mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Hanya saja, ketidakhati-hatian dari pihak yang mengadakan proyek tersebut seringkali memicu terjadinya masalah hingga berdampak pada mandeknya pekerjaan di lapangan akibat adanya aksi penolakan.
Semisal, terhadap pihak masyarakat adat selaku pemilik sah lahan yang menjadi lokasi tempat dibangunnya tower dan jaringan listrik dimaksud.
Fakta inilah yang saat ini sedang terjadi di Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku.
Tepatnya pada proyek pembangunan 7 Tower Jaringan Listrik PLTA yang mengambil lokasi di atas tanah adat Wali, Desa Wali, Kecamatan Namrole, Kabupaten Buru Selatan.
Marga Besar Tasane Walnawe tepatnya Mata Rumah Walnawe selaku pemilik sah atas petuanan tanah adat Wali tak terima atas pembangunan itu dan langsung melakukan penyegelan berupa Sasi Adat pada 7 Tower yang telah dibangun, Sabtu (25/5/2024) sebagaimana pernyataan dalam video penyegelan yang diterima media ini.
Informasi yang diperoleh media ini, Senin (27/5/2024), PT. PLN (Persero) melalui pihak ketiga tanpa berkoordinasi dengan pemilik lahan tersebut langsung melakukan pembangunan 7 Tower Jaringan Listrik PLTA pada area petuanan tanah adat dari Marga Besar Tasane Walnawe tepatnya Mata Rumah Walnawe di Tanah Wali atau Desa Wali.
PLN atau pihak ketiga ini kabarnya hanya menemui masyarakat yang memiliki tanaman atau berkebun di atas tanah Wali dengan status sebatas hak pakai untuk bertani.
Padahal sesungguhnya, Marga Besar Tasane dari Mata Rumah Walnawe adalah pihak yang memiliki hak penuh untuk mengeluarkan pelepasan adat guna kepentingan penerbitan sertifikat atas lahan dimaksud.
“Jadi kami tegaskan bahwa itu adalah hak kami atas tanah adat atau sebagai tuan tanah yang punya hak atas tanah adat, tanah Wali yang punya hak penuh untuk mengeluarkan pelepasan hak kepada perusahaan atau pihak manapun untuk menerbitkan sertifikat atas tanah kami, bukan masyarakat lain yang hanya menumpang bercocok tanam di atas tanah kami,” tegas perwakilan Marga Besar Tasane dari Mata Rumah Walnawe, Mendapat Tasane.
Guna menegaskan kepemilikan itu, dirinya bersama para tokoh setempat telah melakukan penyegelan pada 7 lokasi tower listrik dimaksud.
“Maksud dan tujuan kami melakukan aksi penyegelan lokasi tower dalam bentuk Sasi Adat atau palang di lokasi tower adalah meminta kepada pihak PLN atau perusahaan yang membangun tower dan jaringan listrik ini untuk tidak melakukan pekerjaan lanjutan sebelum ada kesepakatan dengan Marga besar Tasane Walnawe yang punya tanah adat ini,” tegas Mendapat Tasane.
Adapun beberapa tuntutan disampaikan Hendrik Tasane selaku perwakilan masyarakat adat setempat.
Marga Besar Tasane Walnawe tidak berbicara terkait tanaman cengkeh, pala atau kelapa dan lain-lain yang ditanam oleh masyarakat sekitar di atas tanah lokasi Tower dan Jaringan Listrik tersebut.
“Itu adalah hak orang yang punya kebun tetapi kami berbicara menyangkut hak adat kami atas tanah yang di bangun tower dan hutan yang dilewati oleh Jaringan Listrik PLTA,” tuntutnya.
“Jadi, Intinya untuk tanaman ya silahkan dibayar ganti rugi kepada masyarakat yang punya tanaman atau kebun, tetapi kalau tanah dan hutan harus di bayar ganti rugi kepada kami yang punya hak adat yaitu keluarga besar Tasane Walnawe atau dengan kata lain kami yang punya hak untuk mengeluarkan pelepasan hak tanah adat tersebut,” tegas Hendrik Tasane.
Ia menegaskan pula, jika tuntutan tersebut tidak di gubris oleh pihak PLN atau perusahaan yang sementara bertanggung jawab atas pembangunan itu maka Keluarga Besar Tasane Walnawe tetap akan melakukan penyegelan dalam bentuk Sasi Adat secara besar-besaran di atas lokasi berdirinya 7 Tower Jaringan Listrik dimaksud.
“Kami tidak akan membiarkan ada pekerjaan lanjutan di atas tanah adat Wali sampai ada kesepakatan dengan kami yang punya tanah adat ini,” pungkasnya.