Mengawali tahun 2025, berbagai kejutan terjadi dalam proses bernegara. Salah satu yang baru saja terjadi yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden (presidential threshold).
Setelah 32 kali gugatan serupa dilakukan, MK akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Putusan MK pada Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 memberikan angin segar bagi demokrasi Indonesia. Momentum Pilpres yang selama ini cenderung didominasi oleh partai tertentu, tidak akan terjadi lagi pada Pilpres yang akan datang.
Mengingat bahwa melalui putusan MK tersebut, maka semua partai politik di Indonesia yang terverifikasi oleh KPU sebagai peserta Pemilu dapat mengusulkan pasangan calonnya sendiri.
Berbeda dengan yang terjadi sebelumnya, dimana Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden harus diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional. Inilah yang dikenal dengan presidential threshold sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Jika sedikit mengingat kebelakang bahwa, penerapan presidential threshold bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pemberlakuan presidential threshold bahkan sudah dilakukan sejak Pilpres pertama yang dilakukan secara langsung di tahun 2004 dengan 15% ambang batas. Angka tersebut kemudian naik menjadi 20% dan berlaku di Pilpres 2009 sampai saat ini.
Sejak pemberlakuan presidential threshold di tahun 2004, fenomena koalisi partai tidak terbendung. Bahkan koalisi partai pada Pilpres berlanjut dalam koalisi pemerintahan terpilih.
Fenomena demikian melemahkan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala Pemerintahan (UUD 1945) serta cenderung bergantung pada partai-partai koalisi. Kondisi demikian akan sulit menciptakan demokrasi yang stabil (Mainwaring, 1993) dan cenderung berbahaya bagi negara yang tergolong baru dalam berdemokrasi (Linz, 1990).
Keputusan MK tentang penghapusan ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) ini menjadi angin segar dan membuka lembaran baru bagi demokrasi Indonesia.
Rakyat Berdaulat Dalam Memilih
Sejak berlakunya presidential threshold di Pilpres tahun 2004, masyarakat cenderung disuguhkan pasangan calon yang terbatas di Pilpres. Ajang yang seharusnya menjadi sarana kedaulatan bagi masyarakat untuk menentukan sosok pemimpin, dibatasi oleh partai pengusung.
Bahkan pada ajang Pilpres tahun 2014 dan 2019, masyarakat hanya disuguhkan dengan dua pasangan calon. Substansi Pemilu sebagaimana diamanatkan pasal 1 UU No.7 tahun 2017 mengenai kedaulatan masyarakat harus terbatas oleh usulan partai atau koalisi partai politik.
Melalui putusan MK mengenai penghapusan ambang batas pencalonan Presiden maka masyarakat Indonesia akan lebih leluasa menggunakan haknya untuk menentukan sosok pemimpin yang dianggap layak menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Jika di Pilpres tahun 2014 dan 2019 yang lalu masyarakat hanya diberikan dua opsi pasangan calon, atau tiga pasangan calon di Pilpres 2024. Maka di Pilpres tahun 2029 yang akan datang, masyarakat akan disuguhkan dengan pasangan calon yang lebih banyak dari masing-masing parpol.
Di sisi lain, penghapusan ambang batas pencalonan Presiden 20% dapat mengurangi polarisasi di masyarakat seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.
Penghapusan presidential threshold melalui putusan MK yang bar saja terjadi juga untuk menjawab keraguan Lipson (1964) mengenai dilema demokrasi yang ditandai dengan terciptanya tirani mayoritas, terpilihnya orang bodoh, dan hadirnya tirani minoritas.
Melalui putusan MK tentang penghapusan presidential threshold maka kedepannya semua partai peserta pemilih dapat mengajukan calon atau pasangan calon. Dengan begitu maka masyarakat memiliki beragam pilihan dengan pertimbangan yang menguntungkan masyarakat sendiri atas suara yang diberikan pada momentum Pilpres.
Hadirnya Kompetisi Antar Partai
Pasca berlakunya presidential threshold pada Pemilu 2024, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden didominasi oleh partai-partai tertentu saja. Sebut saja Partai Demokrat di Pilpres tahun 2004 & 2009, PDI Perjuangan pada Pilpres tahun 2014 & 2019, serta Partai Gerindra di Pemilu 2024.
Kondisi yang terjadi demikian menimbulkan ketidakadilan bagi partai-partai kecil yang hanya memeriahkan momentum Pemilu saja. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan amanat UUD 1945 (pasal 6A point 2) yang memberikan keleluasaan bagi partai politik untuk mengusulkan pasangan calonnya sendiri atau berkoalisi dengan partai lainnya.
Melalui putusan MK tentang penghapusan presidential threshold maka semua partai baik partai-partai besar, maupun partai kecil memiliki kesempatan yang sama untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan begitu maka akan muncul persaingan yang kompetitif antar partai politik untuk mendapatkan suara dari pemilih (masyarakat).
Melalui putusan MK tentang presidential threshold, maka tidak ada lagi partai besar yang benar-benar berkuasa dan partai kecil yang hanya meramaikan momentum politik 5 tahunan di Indonesia tersebut.
Perhatian partai politik tidak lagi semata-mata untuk membangun koalisi mayoritas seperti yang dilakukan SBY (2004 & 2009), Jokowi (2014 & 2019), dan Prabowo (2024), melainkan bagaimana meraih simpati dan suara dari masyarakat.
Mengingat bahwa sejak penerapan presidential threshold sampai hari ini, partai-partai pemenang cenderung lebih dominan dalam mengatur arah koalisi, sedangkan partai-partai kecil hanya terlibat dan patuh.
Pasca putusan MK tersebut, maka di Pilpres yang akan datang partai-partai hanya perlu memastikan telah memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu. Karena dengan begitu maka partai dapat mengusulkan sendiri calon atau pasangan calonnya tanpa hanya dibebankan pemenuhan 20% kursi di Parlemen atau 25% hasil perolehan suara nasional pada Pileg.
Penguatan Sistem Presidensial
Pada dasarnya, Indonesia menganut Sistem Presidensial yang ditandai dengan kedudukan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan serta dipilih langsung oleh masyarakat.
Dalam negara yang menganut Sistem Presidensial, Presiden tidak dapat diberhentikan semena-mena oleh legislatif karena kepentingan politik. Presiden hanya dapat diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya (pasal 7A UUD 1945).
Meskipun demikian namun sejauh ini, hadirnya presidential threshold berdampak pada kedudukan Presiden yang terkesan bergantung pada partai-partai koalisinya. Hal demikian berdampak pada kepentingan partai koalisi yang seringkali lebih didahulukan oleh Presiden dibandingkan kepentingan masyarakat.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang juga mengadopsi sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Argentina, Filipina, dan Chili, hanya Indonesia yang mengadopsi presidential threshold.
Dalam sistem Presidensial, Presiden memiliki kekuasaan yang besar, independent dan dipilih langsung oleh masyarakat. Kondisi tersebut hanya akan terjadi jika Presiden terpilih tidak memiliki ketergantungan lebih dengan partai-partai.
Melalui putusan MK tentang penghapusan 20% atau 25% ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden maka secara langsung memutuskan ketergantungan berlebih presiden terpilih terhadap partai-partai koalisi yang mengusungnya dalam Pilpres.
Dengan begitu maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya dengan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan kelompok/partai politik.
Meskipun demikian, dihapusnya presidential threshold dapat dipandang sebagai ancaman bagi partai-partai penguasa hari ini. Sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan langkah politik untuk menganulir putusan MK tersebut.
Oleh karena itu maka putusan MK tersebut harus dikawal bersama oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan begitu maka kedaulatan rakyat, kompetisi antar partai, dan penguatan sistem presidensial dapat terwujud.
*Â Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta