Di tengah gemerlap perkembangan kota dan hiruk pikuk aktivitas ekonomi, Ambon si cantik dari Maluku, kini menghadapi tantangan serius yang mengancam kecantikannya yaitu “Sampah”. Permasalahan sampah bukan hanya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah setempat, tetapi juga menjadi cermin bagi kita semua tentang bagaimana kita memperlakukan lingkungan tempat tinggal kita.
Menurut laporan Bank Dunia dalam “What a Waste 2.0” (2018), setiap tahun sekitar 2,01 miliar ton sampah padat dihasilkan di seluruh dunia. Jika dihitung per hari, angka ini setara dengan 5,5 juta ton sampah. Lebih mengkhawatirkan lagi, proyeksi Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah sampah global akan melonjak menjadi 3,4 miliar ton per tahun pada 2050 jika tidak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan sampah. Angka-angka ini bukan sekadar statistic, namun ini adalah alarm yang memekakkan telinga (mengeraskan suara sekuat-kuatnya ke telinga) bagi kita semua.
Di tengah situasi global yang mengkhawatirkan ini, Kota Ambon pun tidak luput dari permasalahan serupa. Berdasarkan laporan program CCBO (Clean City Blue Ocean) yang dijalankan oleh Tetra Tech bekerjasama dengan USAID, setiap hari Kota Ambon menghasilkan 270 ton sampah. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah hanya sekitar 162 ton (60%) yang berhasil diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Bayangkan, 40% sampah yang tersisa itu berakhir di mana? Di jalanan, di sungai, atau mungkin di laut yang menjadi kebanggaan Ambon?
Data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon menunjukkan tren yang tidak menggembirakan. Meski volume sampah per hari mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun 270,56 m3 pada 2020, naik menjadi 277,70 m3 pada 2021, turun menjadi 246,74 m3 pada 2022 dan 2023, lalu naik lagi menjadi 253,85 m3 pada semester pertama 2024 kapasitas pengangkutan sampah justru menunjukkan tren penurunan. Pada semester pertama 2024, volume sampah yang terangkut turun 17,32% dibandingkan tahun 2023. Ini adalah sinyal yang jelas bahwa ada ketidakseimbangan antara produksi sampah dan kapasitas pengelolaannya.
Data BPS lewat Pendataan Potensi Desa tahun 2021 lalu menunjukkan bahwa dari jumlah 50 Desa/Kelurahan di Kota Ambon terdapat pada 39 desa/kelurahan yang jenis tempat pembuangan sampah jelas kemudian di angkut, sedangkan 11 Desa/Kelurahan lainnya masih di buang dalam lubang/di bakar.
Lantas, apa yang menyebabkan situasi ini? Jawabannya kompleks dan multifaset. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat. Seringkali, sosialisasi terkait pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah hanya seperti angin lalu masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana. Data menunjukkan bahwa pada 2024, Kota Ambon hanya memiliki 25 truk sampah dan 157 bak sampah untuk melayani seluruh kota. Ketiga, kondisi geografis Ambon yang berbukit-bukit serta banyak lembah sehingga menyulitkan proses pengangkutan sampah.
Namun, di tengah tantangan ini, ada secercah harapan. Beberapa perusahaan di Ambon telah menunjukkan inisiatif positif dalam pengurangan sampah. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa lima perusahaan seperti PT. MLA, TPS 3R PiCi, Green Mollucas, Pelapak, dan BSI BLM berhasil mengurangi total 581.005,74 kg sampah.
Sampah kertas menjadi jenis sampah yang paling banyak dikurangi (272.191,90 kg), diikuti oleh sampah plastik (256.598,00 kg). Ini membuktikan bahwa dengan komitmen dan tindakan nyata, pengurangan sampah bukan hal yang mustahil.
Pemerintah Kota Ambon, melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan, juga tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari sosialisasi hingga tindakan praktis seperti pengadaan bank sampah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon, A. Hehamahua, S.STP, menegaskan bahwa pemerintah telah membangun Tempat Pembuangan Sementara di setiap Desa/Kelurahan dan satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kota Ambon.
Lebih lanjut, Pemerintah Kota Ambon telah mengeluarkan dua kebijakan utama dalam penanganan sampah. Pertama, masyarakat diminta untuk memisahkan sampah basah dan sampah kering sebelum dimasukkan ke dalam Bank Sampah. Kedua, jadwal pembuangan sampah diatur pada sore hingga malam hari agar dapat diangkut pada pagi hari, sehingga kota tetap bersih pada siang hingga malam hari.
Namun, semua upaya pemerintah ini akan sia-sia tanpa partisipasi aktif masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh World Health Organization (WHO), sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Definisi ini menegaskan bahwa sampah adalah produk dari aktivitas manusia, dan karenanya, solusinya juga harus dimulai dari manusia itu sendiri.
Suswasono. S dalam bukunya “Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat” (2016) memperkuat argumen ini dengan menyatakan bahwa sampah adalah material sisa yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau proses alamiah yang tidak lagi bernilai atau tidak diinginkan, sehingga dibuang. Ini menegaskan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat? Jawabannya sederhana namun powerful: mulai dari diri sendiri dan dari hal-hal kecil. Misalnya, memilah sampah di rumah menjadi sampah organik dan anorganik. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi langkah awal yang sangat penting dalam revolusi pengelolaan sampah. Dengan memilah sampah, kita memudahkan proses daur ulang dan pengomposan, sekaligus mengurangi beban TPA.
Selain itu, kita juga perlu mengubah mindset kita tentang sampah. Sampah bukan sekadar barang buangan, tetapi bisa menjadi sumber daya jika dikelola dengan baik. Plastik bisa di daur ulang menjadi berbagai produk bermanfaat, sampah organik bisa menjadi kompos yang menyuburkan tanah. Dengan mengubah cara pandang ini, kita bisa mulai melihat sampah sebagai peluang, bukan hanya masalah.
Pemerintah Kota Ambon juga perlu terus meningkatkan infrastruktur pengelolaan sampah. Dengan hanya 25 truk sampah dan 157 bak sampah untuk melayani seluruh kota, jelas ini masih jauh dari cukup. Investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah bukan hanya penting untuk kebersihan kota, tetapi juga untuk kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Lebih jauh lagi, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta perlu diperkuat. Inisiatif pengurangan sampah yang telah ditunjukkan oleh beberapa perusahaan di Ambon perlu diapresiasi dan didorong agar semakin banyak pihak yang terlibat. Program-program seperti bank sampah, daur ulang, dan composting perlu diperluas dan diperkuat.
Slogan “Bersatu Manggurebe Maju voor Ambon Manise” harus lebih dari sekadar kata-kata. Ini adalah panggilan untuk aksi nyata. Setiap warga Ambon harus merasa bertanggung jawab atas kebersihan kotanya. Membuang sampah pada tempatnya dan sesuai jadwal yang ditentukan bukan hanya bentuk kepatuhan pada peraturan, tetapi juga manifestasi cinta pada kota.
Ambon Manise bukan hanya tentang keindahan alam dan keramahan penduduknya. Ini juga tentang bagaimana kita merawat dan menjaga kecantikan kota ini. Menata sampah adalah langkah awal merawat Ambon. Dengan komitmen bersama dan tindakan nyata, bukan tidak mungkin Ambon bisa menjadi model pengelolaan sampah yang baik bagi kota-kota lain di Indonesia.
Mari kita wujudkan Ambon yang bersih, sehat, dan benar-benar “manise” dalam arti yang sesungguhnya. Karena kebersihan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau petugas kebersihan, tetapi tanggung jawab kita semua. Seperti kata pepatah, “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Mari kita jadikan pengelolaan sampah yang baik sebagai bagian kerja dan tanggung jawab kita sebagai warga negara yang baik.
Oleh: Barbalina W. C. Masela, SE; Statistisi Ahli Madya BPS Kota Ambon.