Oleh : Cand. Dr. Asnat. J. Luturmas, SH , MH., CPCLE., CLE.
Ambon, Tribun Maluku : Bangsa Indonesia merupakan “Bhinneka Tunggal Ika”, kekayaan akan perbedaan di daerah dalam kesatuan dasar dan sifat, menjadikan Indonesia sebagai negara beradat.
Salah satu kekayaan kesatuan dasar dan sifat adalah adat istiadat yang meruapakn sumber mengagumkan, sehingga pada masanya memiliki peran penting untuk menyatukan konsep berfikir dan kewilayahan.
Menurut Pror. Dr. Supomo menyampaikan didalam karangan beliau “beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat”, memberi pengertian-hukum-adat sebagai hukum yang tidak tertulis didalam peraturan-peraturan legislatif (unstatory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Kenyataan lainnya juga di nyatakan melalui pendapat Prof. M.M. Djojodigoeno dalam buku beliau “asas-asas adat”, bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
Jika kita sebagai pencerna narasi keilmuan mendudukan dalam kajian berfikir sentris, maka tentulah adanya banyak sabotase hukum yang menyeruput didalam alam berfikir kita, tetapi jika kita menyajikan makna ini kepada pihak pemilik kearifan yang beradat maka cernaan adaptasi mereka bahwa adat dan hukum adalah jelmaan cinta kasih didalam kehidupan adik dan kakak.
Faktual terkini, kemanakah arah didalam mengelola wilayah, jika setiap konsep bernegara terus dierupsi pemikiran bijaksana bahwa saya pemilik yang bertuan terhadap tanah yang adalah benda, dan bagaimana dapat dilakukan pembuktian terhadap kedudukan wilayah jika terhubung dengan tanah dan adat.
Rasanya kembali konsep pemilik petuanan yang menjadi pengelola wilayah. Perlu diketahui bersama menjadi sebuah kebutuhan hukum bahwa pengakuan terhadap keberadaan adanya persekutuan dan masyarakat hukum adalah dua sinergitas yang berjalan bersama, berpadu dan memusatkan arif dalam kearifan kewilayahan untuk memajukan wilayahnya, untuk itu wilayah tidak terlepas dari pribadi dan jati diri juga tidak terlepas dari bertuan.
Saat ini, kembali kita diperhadapkan dengan konteks berfikir hubungan antara sistim hukum yang sempurna, yang selaras dan tidak bertentangan.
Didalam kearifan lokal ada adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat yang dapat dijadikan statuta dan non statutair. Oleh Van Vollenhoven, Mallinckrodt, dan Dr. soekanto yang oleh penulis digulirkan didalam sebuah narasi yang kaya akan konteks bahwa dimata seorang ahli hukum terlihat teguh Kita Undang-Undang dengan kompleksitasnya, dan bagi seorang ahli-hukum asing yang baru mempelajari hukum adat bahwa hukum adat hanyalah peraturan-peraturan ajaib, dan apabila mereka bersedia mempelajari hukum adat secara sungguh-sungguh menjelajahi dan meneliti tidak hanya ratio saja melainkan penuh perasaan maka akan muncul sumber yang mengagumkan.
Maluku adalah wilayah berbudaya, adat merupakan pegangan utama, dan menjadi corak pada wilayah Kabupaten/Kota yang tersebuat di 11 wilayah administrasi. Wilayah yang kaya akan sumber daya alam dibaharui dan terbaharui memberikan implikasi sengit sehingga wilayah didalam kedudukan hukum pada ranah terstatuta dan non statuta adalah sebuah ikatan yang sangat kuat serta memberi dampak.
Perjalanan abad, sampai dengan era digitalisasi tentu memberikan service layanan bagi tokoh yang gemar memanifestasikan bagaimana mengelola wilayah menjadi sebuah layanan service pada tatanan kemalukuan. Kepentingan inilah yang sering terabaikan, karena stigma bagaimana memanfaatkan kearifan lokal di wilayah Maluku.
Oleh Karel Albert Ralahalu, didalam buku beliau berjudul “otonomi daerah di tengah konflik merancang success story implementasi otonomi daerah di Provinsi Maluku”, pada bagian pengantar menuliskan bahwa dalam era ideologi developmentalisme yang dianut pada masa lalu, banyak nilai budaya lokal yang dianggap tidak senafas dengan pembangunan.
Dengan kata lain “melibatkan” atau “membungkus” pembangunan dengan nilai-nilai budaya lokal dianggap kurang memberikan kontribusi fisik. Hal ini tidak dapat dipungkiri, kontribusi fisik nilai-nilai budaya dalam proses pembangunan memang kurang nampak.
Hanya saja nilai-nilai budaya ini dapat dijadikan sebagai spirit untuk bekerjasama membangun daerah. Spirit menjadi “pengikat” bagiu masyarakat, sehingga masing-masing suku dan etnis memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan kontribusi membangun daerahnya.
Hal ini menjadi menarik sehingga menurut UU No. 6 tahun 2007 tentang penataan ruang, terikat pada aspek administratif dan/atau aspek fungsionalnya.
Oleh J. Hertson, wilayah adalah kompleks tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, dan manusia dengan hubungan khusus sebagai kebersamaan yang keberlangsungannya mempunyai karakter khusus dari permukaan bumi, sedangkan oleh Dr. Sukirno Membicarakan kearifan lokal kita akan menemui beberapa istilah atau konsep yang saling tumpang tindih yang dipakai oleh para ilmuwan sebagai alat analisa terkait dengan potensi lokal, antara lain pengetahuan lokal (indegeneous knowledge), kearifan tradisional (local wisdom), modal sosial (social capital), pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan lebih khusus lagi kearifan lingkungan (ecological wisdom). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Jika demikian bagaimana mengelola wilayah yang memiliki kearifan lokal seperti Provinsi Maluku salah satunya dapat kita lihat didalam penerapan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU ini dipandang oleh kalangan Ornop (organisasi non pemerintah) sebagai UU yang memperhatikan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, seperti tercantum dalam : (a). Konsideran/Menimbang huruf b yang berbunyi: “…… perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional” (b). Pasal 1 butir 36 : Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. (c). Pasal 9 ayat (3) huruf a : Perencanaan RZWP-3-K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dilakukan dengan mempertimbangkan: keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan. (d). Pasal 17 ayat (2) : Pemberian HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, masyarakat adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. (e).Pasal 18 huruf c : HP-3 dapat diberikan kepada Masyarakat Adat. (f). Pasal 21 ayat (4) huruf b : Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk : mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat Lokal.
Untuk memaknai secara mendalah aplikasi pada dunia sekunder dengan memadukan pada tatanan adat, maka solusi lainnya yakni bagaimana memvaluekan adat pada statute dengan tetap melibatkan peran serta masyarakat adat itu sendiri.
Oleh penulis, menjadi tantangan kedepan bagaimana merevitalisasi pemaknaan value wilayah menurut kearifan lokal sehingga hal ini patut dijadikan pusat pembangunan wilayah beradat seperti Maluku, sepertinya butuh narasi praktisi dan akademisi untuk singgungan bidang proporsi didalam statute.