Ambon, Tribun Maluku. Organisasi Kepemudaan (OKP) Solidaritas Anak Maluku mendesak penghentian aktivitas pertambangan oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA) di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara.
Desakan ini disuarakan dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD Provinsi Maluku, Senin (16/6/2025), yang menyoroti berbagai pelanggaran hukum, dampak lingkungan, dan kerusakan tatanan sosial akibat operasi tambang tersebut.
Salah satu orator aksi, Fadel Notanubun, mengungkapkan bahwa aktivitas tambang mineral non-logam oleh PT BBA diduga tidak memiliki dokumen penting seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Usaha Produksi (IUP).
Berdasarkan penelusuran pada laman Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM, perusahaan tersebut tidak tercatat sebagai entitas yang memenuhi ketentuan perizinan.
“Dari hasil kajian kami, aktivitas pertambangan ini melanggar hukum, merusak lingkungan, dan mengancam tatanan adat masyarakat di Kei Besar,” ujar Fadel dalam orasinya.
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kegiatan pertambangan dilarang di pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km². Pulau Kei Besar termasuk dalam kategori tersebut.
Lebih lanjut, Fadel menjelaskan bahwa Perda Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak menetapkan Kecamatan Kei Besar Selatan lokasi aktivitas tambang sebagai kawasan pertambangan.
Wilayah tersebut justru ditetapkan sebagai kawasan pangan berkelanjutan, perikanan, dan hortikultura.
“Ini jelas pelanggaran hukum. Tidak ada satu pun zona tambang di wilayah tersebut menurut RTRW. Aktivitas PT BBA bertentangan dengan peraturan dan harus segera dihentikan,” tegasnya.
Fadel juga menyoroti dampak sosial budaya dari keberadaan tambang yang dinilai merusak harmoni masyarakat lokal.
Ia menyebut potensi marginalisasi masyarakat adat, konflik horizontal, dan hilangnya situs-situs sakral akibat eksploitasi tambang yang agresif.
“Pertambangan tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Yang diuntungkan hanya segelintir elite dan korporasi, sementara masyarakat hanya menerima kerusakan dan konflik,” tambahnya.
Dalam pernyataan sikapnya, OKP Solidaritas Maluku Anak Maluku menyampaikan tujuh tuntutan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRD Maluku:
- Evaluasi seluruh izin pertambangan di Provinsi Maluku;
- Hentikan dan cabut izin PT Batulicin Beton Asphalt
- DPRD menyatakan sikap resmi dan memanggil pihak PT BBA;
- Hentikan operasi tambang demi kepentingan masyarakat adat;
- PT BBA bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan;
- Gubernur dan Bupati Malra membuka informasi publik terkait tambang;
- DPRD segera memanggil Pangdam XV/Pattimura atas dugaan keterlibatan militer dalam operasi tambang.
Fadel juga mengingatkan bahwa dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2017, Pulau Kei Besar ditetapkan sebagai salah satu dari 111 pulau-pulau kecil terluar yang harus dilindungi dari aktivitas merusak, termasuk pertambangan.