Tual, Tribun Maluku– Form A Pengawasan Pemilu (Formulir Model A) adalah formulir yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam hal pengawasan.
Hal itu diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Dokumen tersebut sangat penting karena merupakan alat kerja Bawaslu dalam setiap melakukan pengawasan tahapan Pemilu maupun Pilkada.
Olehnya itu, Bawaslu Provinsi Maluku melaksanakan rapat koordinasi (rakor) penguatan sistem managerial administrasi pengawasan pemilu bagi pengawasan pemilihan kecamatan (panwascam) di Kota Tual, Senin (14/10/2024).
Kegiatan yang diiikuti oleh panwascam se-Kota Tual itu, menghadirkan nara sumber utama yakni Abdullah Ely.
“Kegiatan ini adalah rakor untuk penguatan panwascam dalam proses pengisian formulir (Formulir Model A),” ujar Elly kepada wartawan disela-sela kegiatan.
Menurutnya, formulir itu sangat bermanfaat, karena menjadi rekaman dalam suatu proses pengawasan dalam setiap tahapan, sekaligus untuk proses penyelesaian sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam rakor tersebut, Panwascam se-Kota Tual dibekali dengan beberapa hal diantaranya dasar hukum dari proses dokumentasi, studi kasus berkaitan dengan pelanggaran yang sering terjadi termasuk netralitas ASN dan TNI/Polri, pelanggaran administratif (surat keputusan pemindahan kepala-kepala dinas untuk level kabupaten/kota dan provinsi), serta dugaan pelanggaran terkait money politic (politik uang).
“Proses ini yang harus diperhatikan oleh teman-teman di panwascam maupun KPD agar lebih banyak menyampaaikan pencegahan, karena strategi utama di Bawaslu adalah pencegahan,” terang Elly.
Mantan komisioner Bawaslu Provinsi Maluku tahun 2015-2017 (Kordiv SDM) dan Ketua Bawaslu Provinsi Maluku 2017-2022 itu mengungkapkan, dugaan pelanggaran yang paling sering terjadi adalah memberikan sejumlah uang (barang dan jasa) kepada penerima dalam hal ini masyarakat Kota Tual.
“Kami ingatkan bahwa ada ancaman pidana yang sangat besar berdasarkan pasal 187a ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa pemberi dan penerima bersama-sama dipidana minimal 3 tahun dan maksimal 7 tahun, denda minimal 200 juta dan masimal satu miliar,” ungkapnya.
Ia mencontohkan kasus politik uang yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), dimana putusan pengadilan negeri setempat memidanakan warga yang terlibat politik uang.
“Padahal uang yang diterima itu sebesar 50 ribu hingga 100 ribu. Mereka sama-sama dipidana tiga tahun,” imbuhnya.
Olehnya itu, di setiap kesempatan Bawaslu selalu melakukan upaya pencegahan.
“Peran stakeholder seperti tokoh pemuda dan masyarakat serta tokoh agama sangat diperlukan untuk membantu mengawasi. Dan tidak kalah pentingnya yakni peran wartawan dalam menyampaikan informasi,” pungkas Elly.