Ambon,Tribun Maluku : Tersangka kasus dugaan korupsi dana BOS pada SMP Negeri 9 Ambon, Lona Parinussa lewat kuasa hukumnya, Jhon Michael Berhitu SH, MH, CLA., C.Me. Suherman Ura SH, Victor Ratuanik SH, dan Dewinta Isra Wally SH, kembali mengajukan gugatan pra peradilan melawan Kejaksaan Negeri Ambon.
Hal ini lantaran Parinussa dan kuasa hukumnya menganggap penetapan status tersangka oleh Kejaksaan Negeri Ambon terhadap Lona Parinussa tidak sah.
Gugatan praperadilan Lona Parinussa ini telah didaftarkan tim kuasa hukumnya pada Senin (3/3/2025) dan terdaftar dengan nomor 5/Pid.Pra/2025/PN.Amb.
Dalam gugatan praperadilannya itu, tim kuasa hukum Parinussa mengungkapkan. Bahwa Pemohon (Lona Parinussa) telah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : B-01/Q.1.10/Fb.2/02/2025 tanggal 27 februari 2025 atas Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Nomor : Print- 07/Q.1.10/Fd.2/10/2024 tanggal 28 Oktober 2024 tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) SMP Negeri 9 Ambon Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun 2023 dengan sangkaan pasal diduga melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diancam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasall 55 Ayat (1) Ayat 1 ke 1.
Bahwa tindakan Termohon dalam melakukan Penyidikan dengan Nomor : Print- 07/Q.1.10/Fd.2/10/2024 tanggal 28 Oktober 2024 jelas dan sangat nyata bahwa Termohon melanggar serta tidak melaksanakan isi dari Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2024/PN.Amb, dimana sampai saat Pemohon ditetapkan Tersangka oleh Termohon pelaksanaan Putusan Praperadilan Nomor 14/Pid.Pra/2024/PN.Amb belum dilaksanakan oleh Termohon.
Dijelaskan, bahwa TERMOHON melakukan upaya paksa berkaitan dengan Tindakan Penyidikan dengan Nomor : Print- 07/Q.1.10/Fd.2/10/2024 tanggal 28 Oktober 2024 tanpa melalui suatu prosedur Tindakan Penyelidikan.
Bahwa dalam hal Penyelidikan perkara a quo Termohon tidak meminta Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan audit infestigasi terhadap perkara aquo hal ini justru bertentangan dengan Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia Nomor : KEP-005/AAIPI/DPN/2014 tanggal 24 April 2014 Tentang Pemberlakukan Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia, dan Pedoman Telaah Sejawat Auditor Intern Pemerintah Indonesia pada Huruf B angka 17 yang menjelaskan pada pokoknya bahwa Audit Dengan Tujuan Tertentu adalah audit yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar audit keuangan dan audit kinerja.
Termasuk dalam kategori ini antara lain audit Khusus/Investigatif/Tindak Pidana Korupsi dan Audit untuk Tujuan Tertentu Lainnya terhadap masalah yang menjadi fokus perhatian pimpinan organisasi (auditi) atau yang bersifat khas.
Bahwa Termohon dan saksi-saksi tidak pernah di undang dalam serangkaian proses penyelidikan oleh Termohon. Tindakan Termohon sebagaimana disebutkan diatas sangatlah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang menerangkan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Ditambahkan tim kuasa hukum Parinussa, Bahwa upaya paksa yang dilakukan Termohon (Kejari Ambon) atas diri Pemohon berkaitan dengan Tindakan Penyidikan dengan Nomor : Print- 07/Q.1.10/Fd.2/10/2024 tanggal 28 Oktober 2024 tanpa melalui suatu prosedur hukum yang sah.
Dimana Termohon pada tanggal 27 Februari 2025 melakukan Upaya paksa terhadap Pemohon berupa Penjemputan Paksa dirumah Pemohon bukan hanya dilakukan oleh Termohon, namun dilakukan oleh anggota TNI. Penjemputan paksa yang dilakukan Termohon bersama anggota TNI hanya berdasarkan Surat Panggilan Ke-3 yang dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Ambon pada tanggal 24 Februari 2025.
Bahwa tindakan Termohon sebagaimana disebutkan diatas jelas melanggar prosedur serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga sudah sepatutnya tindakan Penyidikan oleh Termohon dapat dinyatakan TIDAK SAH dan Batal demi hukum.
Bahwa Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Oleh Termohon Tidak Didasarkan dengan Bukti Permulaan Yang Cukup sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “Bukti permulaan yang cukup” dan “Bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, Pasal 77 Huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan TERSANGKA, penggeledahan dan penyitaan.
Bahwa, Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberikan keterangan secara seimbang.
Hal ini guna menghindari adanya tindakan sewenang- wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi RI tersebut bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas res judcata (putusan hakim harus dianggap benar), dan serta Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan hukum dalam setiap proses tata cara Penyidikan dan menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON;
Bahwa termohon dalam menggunakan alat alat bukti untuk menjadikan Termohon sebagai Tersangka dengan menggunakan alat bukti yang tidak sah dimana cara peroleh dan cara menggunakan alat bukti yang digunakan oleh Termohon menggunakan alat bukti dalam perkara Praperadilan nomor 14/Pid.Pra/2024/PN.Amb yang telah diputus dan dinyatakan SAH.
Pemohon lanjut tim kuasa hukum Parinussa, telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : B-01/Q.1.10/Fb.2/02/2025 tanggal 27 februari 2025 yang bermuara pada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Nomor : Print- 07/Q.1.10/Fd.2/10/2024 tanggal 28 Oktober 2024 tentang Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) SMP Negeri 9 Ambon Tahun Anggaran 2020 s/d Tahun 2023.
Bahwa sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04/Bua.6/Hs/SP/XII/2016 tanggal 09 Desember 2016, yang berwenang menentukan adanya kerugian keuangan negara adalah Lembaga/Kantor dibidang pengawasan yaitu BPK yang memiliki kewenangan konstitusional dan merupakan Lembaga tinggi negara juga mempunyai indepedensi yang kuat, sedangkan instansi lainnya seperti BPKP ataupun inspektorat tetap berwenang melakukan pemeriksaan namun tidak berwenang untuk men de-clare adanya kerugian keuangan Negara hal ini sejalan dengan Putusan MK nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 8 September 2016 yang mengamanatkan bahwa kerugian keuangan negara harus pasti karena itu dalam kasus ini harus jelas berapa kerugian keuangan negaranya dan harus melalui perhitungan yang dikeluarkan oleh BPK sehingga sangat tidak mungkin TERMOHON telah memiliki 2 (dua) alat bukti yang SAH menurut pasal 184 Ayat (1) KUHAP;
Bahwa sesuai yang dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2016 yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perhitungan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan hal tersebut sejalan dengan rumusan hukum kamar pidana tahun 2016 yang menyatakan instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidak adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/satuan perangkat daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang men-declare adanya kerugian negara.
Bahwa berdasarkan Pasal 14 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Bahwa faktanya penetapan PEMOHON sebagai Tersangka karena diduga melakukan tindak Pidana Korupsi Penggunaan Dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) SMP Negeri 9 Ambon Tahun anggaran 2020 S/D Tahun 2023 dengan sangkaan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU RI No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) Jo Pasall 55 Ayat (1) Ayat 1 ke 1 KUHP tidak didasarkan adanya Penghitungan kerugian Keuangan Negara berdasarkan hasil Audit/dihitung dan Declare oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Bahwa oleh karena penetapan PEMOHON sebagai Tersangka tidak didasarkan pada hasil penghitungan/audit dari Badan Pemeriksa keuangan sesuai pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2016 maka dapat disimpulkan bahwa penetapan Tersangka tidak didasarkan pada pemenuhan 2 Alat bukti sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP oleh karena itu penetapan PEMOHON sebagai Tersangka harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Diuraikan juga oleh tim kuasa hukum Parinussa, Bahwa tindakan Termohon dalam melakukan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon tanpa disertai Surat Penangkapan. Termohon telah terlebih dahulu melakukan Penahanan dengan Nomor : Print-01/Q.1.10/Fd: /02/2025 tanggal 27 Februari 2025 terhadap diri Pemohon tanpa diperiksa sebagai tersangka, dan tanpa Surat Penangkapan Terhadap Diri Pemohon.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 122 KUHAP dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan, seharusnya mulai diperiksa oleh Penyidik, bahwa dari sejak Pemohon ditahan Khususnya Pemohon, sampai saat ini belum ada dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagai Tersangka.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, mohon supaya Hakim Praperadilan menetapkan penangkapan dan atau penahanan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah menurut hukum.
Bahwa dengan demikian menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan Penyidikan, Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 124, dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada Pengadilan Negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini, dan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 82 ayat 1 huruf b dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang, dan untuk itu mohon supaya Pemohon diperbolehkan menghadiri setiap jadwal sidang Praperadilan a quo.
Bahwa selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a dan c Isi putusan Hakim Praperadilan selain memuat dengan jelas dasar dan alasannya, juga memuat dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera membebaskan tersangka dan dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan kepada Pemohon, oleh karena itu mohon kepada Hakim Praperadilan supaya Termohon diperintahkan membebaskan Pemohon segera setelah putusan perkara a quo diucapkan.
Sementara itu, Kasipenkum Kejati Maluku yang dikonfirmasi media ini terkait hal tersebut mengungkapkan. Surat edaran yang dimaksud tim pengacara Lona Parinussa adalah surat edaran Kejaksaan Agung khusus untuk perkara pidana.
“Surat edaran tersebut untuk Pidana Umum jadi bisa dikatakan itu hanya berlaku untuk perkara pidana umum saja dan tidak berlaku untuk pidana khusus. Selain itu untuk perkara Lona Parinussa ini belum masuk dalam tahap 1. Dan jaksa peneliti belum menerima berkas perkaranya, jadi tidak ada masalah, ” demikian Kasipenkum Kejati Maluku