Oleh : Albert Kelpitna,SP
(Pemerhati Pertanian di Maluku)
Salah satu tujuan utama pembangunan pertanian di Maluku adalah untuk
meningkatkan ketahanan pangan sebagai kebutuhan primer yang berkelanjutan
(sustainable) bagi masyarakat.
Agrosistem di Provinsi Maluku (kabupaten/kota) sangat mendukung untuk pengembangan komoditas pertanian terutama komoditi pangan lokal sesuai habitatnya seperti komoditas sagu, ubi jalar, ubi kayu, pisang yang lebih banyak terdapat di pulau Seram (Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur), Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan, sedangkan padi lokal, jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian (kumbili, ubi merah – red) lebih banyak tersebar di Kabupaten Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya dan komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat setempat sesuai hasil survei Sutanto dan Bustaman (2006).
Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
Khusus untuk ubi jalar kita harus
berupaya agar pengeloaannya dengan menggunakan teknologi agar bisa pertahankan nilai gizi dan higenis sehingga masyarakat tertarik untuk menfaatkannya sebagai sumber karbohidrat pengganti beras, untuk hal ini
pemerintah daerah Maluku bisa bangun kerja sama dengan Balai Besar Pasca Panen di Bogor salah satu conoh di negeri Waraka sagu diolah dengan teknologi pasca panen dan diberi nama SAWA (Sagu Waraka-red)) dengan berbagai turunan seperti mie sagu, beras sagu tepung sagu dll yang sudah diedarkan pada
beberapa gerai dan pasar di Ambon dan Masohi.
Kandungan gizi ubi jalar dalam tiap 100 gram umbi segar berturut-turut
mengandung karbohidrat 32,30 gram, protein 1,80 gram, zat besi 0,70 mg dan vitamin A (SI) 900 dan merupakan sumber energi (kalori) lebih besar dari jagung sehingga bisa memnuhi kebutuhan gizi.
Selain mengandung karbohidrat dan vitamin, ubi jalar juga mengandung senyawa betakaroten (terdapat pada daging umbi berwarna kuning atau orange
sebagai komponen utama senyawa karotenoid 86 – 90%).
dan antosianin yang
memiliki kemampuan yang tinggi sebagai antioksidan dan penangkal radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah penuaan, kanker dan penyakit degeneratif.
Menurut BKKBN (Badan Kependududkan Keluarga Berencana-red) bahwa Stunting adalah kekurangan gizi pada bayi di 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) yang berlangsung lama dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan otak dan tumbuh kembang anak karena kekurangan gizi menahun sehingga bayi
tumbuh lebih pendek dari standar tinggi balita seumurnya, sedangkan menurut WHO (World Health Organization) Stunting disebabkan oleh kekurangan nutrisi pada bayi dalam waktu yang lama, kurang ASI (Air Susu Ibu – red), infeksi berulang, atau penyakit kronis yang menyebabkan masalah penyerapan
nutrisi dari makanan.
Selain itu penyebab terjadi stunting juga disebabkan karena terjadi defisiensi mikronutien seperti zat besi, kalsium, yodium, seng dan
vitamin A sangat berpotensi terjadi sejak anak dalam kandungan sampai menyusui untuk itu makronutien sejak bayi dalam kandungan sudah harus terpenuhi.
Menurut kepala Perwakilan BKKBN provisi Maluku yang dikutip dari Tribun-Maluku.Com tanggal 08 Maret 2022 bahwa angka stunting di provisi Maluku 28,7% pada tahun 2021untuk itu penanganan stunting di Maluku lebih banayak
diarahkan ke Kabupaten//Kota karena mereka yang memiliki stunting.
Prevalensi balita stunting (tinggi badan menurut umur) sesuai hasil hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 per Kabupaten/Kota di Maluku berturut-turut adalah Kabupaten Seram Bagian Timur 41,9, Buru Selatan 39,1,
Kepulauan Aru 35,8, Maluku Tengah 29,8, Maluku Barat Daya 29,6, Seram Bagian Barat 28,7, Kota Tual 27,7 Maluku Tenggara Barat 25,1, Kota Ambon 21,8 dan Maluku Tenggara 21, 6 persen.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agrosistem di provisi Maluku (KabupatenKota) mempunyai agrosistem yang cocok untuk kembangkan komoditi pangan lokal untuk mnejaga sebagai pangan alternatif pengganti beras seperti ubi jalar, sagu, kacang hijau dll yang bisa memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Pemerintah provinsi Maluku harus dapat membuat program anti stunting dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai kecamatan dan desa/negeri libatkan stakeholders terkait untuk membetuk kelompok kerja anti stunting serta mengedukasi masyarakat tentang dampak/efek negatif terhadap masa depan
anak yang terkena stunting bisa menurun.
Persentasi angka stunting per kabupaten/kota tersebut di atas menunjukan prevalensi stunting yang tertinggi berada pada Kabupaten Seram Bagian Barat
sebesar 41,9 % hal ini menujukan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pemenuhan gizi terhadap kesehatan masyarakat terutama
pasangan pra nikah samapai hamil dan melahirkan.
Sedangkan yang terendah
adalah kabupaten Maluku Tenggara 21,6% hal ini membuktikan bahwa
pemerintah kabupaten Maluku Tenggara sangat peduli terhadap kasus stunting selain itu masyarakat dapat mengkonsumsi pola makan pangan lokal yang
bergizi dan Kota Ambon 21,8%, hanya beda tipis 0,2% dengan kabupaten Maluku Tenggara.
Dengan tulisan ini diharapakan bisa dijadikan bahan informasi bagi
stakeholders terkait di provisi Maluku dan kabupaten/kota agar lebih intens untuk berkolaborasi dalam menangani stunting secara paripurna menurunkan angka stunting pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat demi masa depan generasi penerus bangsa.