Sekian lamanya Indonesia melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah setiap 5 tahun sekali. Dengan adanya UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti UU No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan, Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara serentak di seluruh Indonesia akan dilakukan tanggal 9 Desember 2015. Bagi Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan selesai masa jabatannya pada tahun 2015. Pilkada serentak ini merupakan salah satu keputusan pasal 201 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang berbunyi “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015”. Sebagaimana Pasal 3 Perppu 1/2014 yang berbunyi “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pilkada serentak ini merupakan salah satu momentum yang sangat membuat semua kalangan partai politik “terpukul” mengingat agenda politik secara simultan seperti ini baru pernah dilaksanakan. Sekalipun demikian, setiap kandidat peserta Pilkada tentu akan melakukan segala cara untuk menyikapi problema suksesi pada momentum Pilkada serentak seperti ini. Suksesi yang dilakukan untuk pemenangan setiap calon yang diusung partai politik dapat dijabarkan dalam beberapa poin berikut :
Media Sosial; Media massa (televisi), media cetak (koran), media elektronik (internet) merupakan media-media yang dipergunakan oleh komunikator untuk mengirim informasi kepada komunikan dengan mengunakan pesan-pesan politik demi dan untuk mendapatkan feedback (timbal balik) yang efektif.
Dengan adanya media-media ini maka semakin menarik situasi komunikasi politik di Indonesia menjadi hal yang sangat urgen dalam meningkatkan citra diri politisi dari partai pengusung. Khususnya melalui kampanye politik menjelang pilkada; Gubernur, Bupati, Wali Kota, disetiap daerah di tanah air yang masa jabatannya telah selesai ditahun 2015 .
Jika biaya iklan tahun 2004 mencapai sekitar 400 miliar, dan biaya iklan tahun 2009 bernilai 2,154 triliun. Maka pada tahun ini biaya iklan untuk Pilkada tentunya pasti lebih besar lagi. Apalagi sebagai calon kepala daerah yang akan memiliki blog dan situs mereka masing-masing, mereka juga akan menjadi anggota jejaring sosial terkemuka, khususnya twitter dan facebook untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya untuk meraih dukungan dari khalayak guna menduduki jabatan yang mereka inginkan, terlepas dari apakah pengelolanya adalah diri mereka sendiri atau “penjaga gawang”(gate keeper) yang khusus ditugaskan untuk itu.
Diketahui bahwa para pejabat, politisi yang aktif menggunakan media sosial di twitter per April 2013 beserta jumlah pengikutnya berturut-turut adalah; Joko Widodo dengan 482.288 orang pengikut, Dahlan Iskan 348.140, Anies Baswedan 209.923, Prabowo Subianto 150.124, Hatta Rajasa 139.807, Yusril Ihza Mahendra 136.986, Mahfud MD 122.188, Aburizal Bakrie 99.070, Jusuf Kalla 72.795, Puan Maharani 25.094, Gita Wirjawan 7.807, Wiranto 2.621 dan Surya Darma Ali 968. Masalahnya walaupun mereka menggalang dukungan dari khalayak lewat media sosial, mereka sekaligus juga mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai mereka. Yang masih menjadi tanda tanya ialah, apakah politisi kita akan mendapatkan keuntungan jika mereka penguna media sosial yang aktif?
Jejaring sosial ini berpengaruh cukup besar, terutama jika para kandidat ingin mendapatkan dukungan dari para pemilih muda, apalagi pemilih pemula, terutama yang tinggal di perkotaan. Khalayak muda ini memang lasimnya berpendidikan dan melek-internet. Setidaknya, salah satu faktor yang membuat Jokowi dan Ahok menang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 adalah karena mereka didukung oleh para pengguna media sosial, terutama twitter, facebook, dan yahoo.
Namun pengunaan jejaring sosial di internet tentu saja bukan jaminan bahwa kandidat politik akan sukses. Karena jejaring sosial bisa saling menjatuhkan antara satu kandidat dengan kandidat lain.
Gagasan-gagasan tentang jejaring dan interaktivitas telah mendominasi wacana politik kontemporer (kekinian), dan iklim politik terkini ditandai antara lain oleh obsesi terhadap serangkaian problem teknologi, mulai dari produktivitas riset, persaingan teknologi, dan perlindungan kepemilikan intelektual hingga ke pemahaman publik atas sains, efek teknologi yang tak terduga dan kebutuhan akan pelatihan teknik yang berkelanjutan untuk mengantisipasi perubahan teknologi.
Lebih dari satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh (1999) mendiagnosis suatu “era ketiga komunikasi politik” yang ditandai dengan melimpahnya media, bertambahnya tekanan terhadap elite politik untuk menerima aturan permainan media dan semakin kritisnya warga negara yang menantang otoritas politik dan kepemimpinan media. Munculnya web 2.0 dengan sifat interaktif dan media sosial telah membawa peluang baru dan tantangan baru bagi komunikasi politik, yang secara mendasar mengubah hubungan antara penguasa dan warga negara dalam demokrasi moderen yang melampaui era ketiga.
Dialog vs Monolog; Gebyar kampaye Pemilihan Kepala Daerah semakin semarak. Suatu modus baru kampanye adalah “kampanye dialog” yang kerap ditayangkan TV, baik live ataupun sekedar rekamannya disebut kampanye dialogis karena ada dialog antara komunikator politik (tokoh partai politik) dengan khalayak, kendatipun sebagian besar atau seluruh hadirin yang tampak pada layar TV adalah kader atau kandidat politik yang berkampanye.
Beberapa tayangan dialog tersebut tampak alamiah, dengan tanya jawab yang spontan. Namun sebagian acara menunjukan kesan bahwa kampanye dialogis tersebut rekayasa; skenarionya telah ditetapkan, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan khalayak tampak tidak spontan.
Menarik bahwa istilah “dialog” yang sederhana itu ternyata punya makna yang beragam. Kampanye yang diklaim sebagai dialogis, tetap dianggap monologis oleh sebagian orang, karena tidak berbentuk dialog atau perdebatan dalam arti yang sesungguhnya. Lalu apa perbedaan dialog dengan monolog?
Dialog mengisyaratkan kemampuan memahami bahasa mitra dialog, bukan saja bahasa sebagai medium komunikasi, namun juga bahasa dengan makna yang lebih dalam, yakni keinginan, aspirasi, harapan, kepentingan, cita-cita, ketakutan, kekhawatiran yang dirasakan mitra dialog. Dalam konteks kampanye pemilu kepala daerah, mitra dialog yang sebenarnya adalah rakyat, bukan pengurus atau kader partai politik. Kampanye dialogis bermakna bahwa pihak yang berkampanye berusaha melibatkan diri secara intim dalam dunia sosial rakyat pemilih, memasuki perspektif dan pengalaman batin mereka.
Dalam konteks kampanye pemilihan kepala daerah, dialog mensyaratkan bahwa kandidat politik menempatkan diri dalam posisi pengambilan peran yang baik untuk memahami berbagai makna yang terdapat dalam dunia simbolik rakyat pemilih, tidak memaksakan “kebenaran” atau pendapatnya sendiri kepada khalayak dan tidak sekedar melakukan pengelolaan kesan (impression managemen) lewat pemberian janji muluk, penampilan, taktik-taktik kampanye lainnya untuk meningkatkan citra diri.
Kampanye dialogis mengimplikasikan bahwa rakyat pemilih adalah setara dengan mereka yang mengajak dialog, yakni kandidat politik dan atau partai politik peserta pilkada; bahwa rakyat pemilih adalah manusia yang punya jiwa, kemauan dan kebebasan untuk memilih. Mereka bukan sekedar angka-angka statistik atau nomor-nomor yang dapat di hitung.
Bila kita mengartikan dialog, sampai saat ini belum ada satu partai politik pun yang sungguh-sungguh telah mengadakan kampanye dialogis, pun hingga kini hampir tidak ada kandidat politik yang sungguh-sungguh ingin berdialog dengan rakyat dan membela nasib mereka. Kebanyakan dari calon kepala-kepala daerah untuk mencari nafka, mengejar jabatan dan popularitas. Setelah mereka dipilih rakyat, mereka meninggalkan rakyat.
Janji politisi; Setiap masa kampanye kepala daerah para calon terbiasa menebar janji-janji disana-sini. Kebanyakan janji muluk-muluk, semisal janji untuk memberantas kolusi dan korupsi, menggratiskan pendidikan dasar dan menengah (dengan menaikkan anggaran pendidikan hingga 5 persen), bahkan ada janji-janji halus, seperti yang diutarakan seorang jurkam partai politik tertentu yang berjanji untuk tidak mengobral janji. “Apa yang disebut kampanye simpatik, dengan memberi santunan, kerja bakti untuk kebersihan, pemberian fasilitas, atau pelayanan tertentu oleh calon kepala daerah atau pejabat publik itu, menjadi sesuatu yang agak mengelikan, karena pada hari-hari biasa hal ini tidak lazim dilakukan.
Terlepas dari siapapun yang memenangkan pilkada, menarik untuk mencatat seberapa banyak janji yang telah diajukan politisi yang bersaing, dan memantau seberapa banyak dari sekian hal yang dijanjikan politisi itu dapat direalisasikan selama periode lima tahun berikutnya. Perjalanan waktu sendiri mungkin akan membuat sebagian rakyat lupa akan janji-janji politisi yang mereka pilih.
Secara fenomenologis, perspektif orang yang berjanji melakukan sesuatu demi kepentingan pribadi (sosial, ekonomi atau politik) cukup unik, dan berbeda dengan perspektif saat ia telah memperoleh kursi yang didambakannya pada saat berjanji, yang ia incar adalah jabatan dan kekuasaan serta fasilitas dan keuntungan yang menyertainya. Namun setelah ia terpilih, perspektifnya lain lagi, yakni mempertahankan, memperluas, dan memanfaatkan jabatannya tersebut semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuan itu, kalau perlu ia akan berbohong dan menipu rakyat.
Kesimpulan; Para politisi yang selalu melakukan janji-janji manis lewat media-media sosial yang selalu membuat para khalayak menjadi terkesan, tertarik dengan apa yang disampaikan oleh para politisi tersebut. Pilkada Serentak ini selalu menyerang khalayak secara langsung dengan menyenangkan hati khalayak dengan janji-janji tersebut di setiap daerah. Media masa merupakan sala satu alat bantu untuk menyampikan pesan-pesan politik kepada khalayak. Akan tetapi setelah kandidat yang diusung telah mendapatkan kedudukan sebagai kepala daerah entah itu Gubernur, Bupati, Wali Kota , ternyata sampai saat ini dan detik ini khalayak tidak mendapatkan ‘’efek’’ yang baik dari kepala daerah tersebut. Secara fenomenologis, perspektif orang yang berjanji melakukan sesuatu demi kepentingan pribadi (sosial, ekonomi atau politik) cukup unik, dan berbeda dengan perspektif saat ia telah memperoleh kursi yang didambakannya pada saat berjanji, yang ia incar adalah jabatan dan kekuasaan serta fasilitas dan keuntungan yang menyertainya. Yang menjadi satu pertanyaan adalah dimana janji-janji itu.
Setinggi apapun kemampuan manajerial seorang pemimpin secara fisik juga ganteng/cantik, bertubuh tinggi, juga santun, namun jika tidak memiliki integritas, pemimpin seperti ini tidak akan memiliki kinerja yang optimal. Sebab, kekuasaan seseorang adalah sekadar pinjaman, berdasarkan kesukarelaan bawahan atau rakyat untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada pemimpin bersangkutan, sebagaimana dijelaskan oleh teori sistem . sekali sang pemimpin menghianati amanah yang diberikan kepadanya , citranya akan runtuh dan irreversible (sulit dikembalikan kecitra semula) . sesungguhnya jika ada sejenis rezeki atau kekayaan yang paling bernilai dalam kehidupan ini, itu adalah integritas, reputasi, nama baik atau harga diri, sayangnya tidak semua orang yang melakukan hal sedemikian.
Solusi ; Lakukanlah yang terbaik walaupun balasannya berbeda, itu artinya para kandidat yang telah terpilih menjadi kepala daerah seharusnya melihat kepentingan-kepentingan khalayak yang telah dijanjikan, harus bekerja dengan seadil-adilnya walaupun nantinya tidak mendapatkan hasil kekayaan dari kedudukan tersebut itulah yang disebut dengan orang-orang yang mempunyai jiwa integritas dan kredibilitas kepada rakyat yang sangat tinggi.Oleh : Penuel Supulatu. (Kabid Organisasi Solidaritas Pemuda Melanesia Maluku)