Ambon, Tribun-Maluku.com : Analisis politik Universitas Darussalam Ambon, Almudatsir Zein Sangadji mengatakan publikasi hasil lembaga survei pada salah satu media harian lokal di Ambon, tidak lazim dan dicurigai lembaga survei sedang bermain akrobat politik.
“Hasil lembaga survei sangat indikatif temuan surveinya. Selain tidak lazim, ada kecurigaan lembaga survei tersebut sedang bermain akrobat politik untuk menggiring opini dukungan pemilih kepada calkada tertentu dalam Pilkada serentak di Ambon,” katanya di Ambon, Senin (24/10).
Lingkaran Survei Indonesia (LSI Network) – Konsultan Citra Indonesia (KCI), kata dia, dengan telanjang memaparkan hasil surveinya yang dilakukan pada 29 September – 5 Oktober 2016, dengan menempatkan dukungan Richard – Syarif dengan 51.2 persen dan dukungan Paulus – Sam 33.3 persen. Selain aspek elektoral, Direktur KCI Adjie Alfaraby, juga mempublikasi aspek kepuasan kinerja dan preferensi pemilih.
“Padahal data survei lainnya yang berhasil saya peroleh, kejar-kejaran angka dua pasangan ini sudah sedemikian ketat. Sam sebagai calon wakilnya Paulus, memimpin jauh dari Syarif. Sedangkan Paulus sebagai penantang Richard, dari hari ke hari dukungan elektoralnya semakin menyaingi Richard,” ungkapnya.
Sebagai orang yang juga terbiasa bermain dalam kerja-kerja pendampingan politik, tambah dia, publikasi LSI-KCI tersebut terkesan istimewa.”LSI-KCI merilis surveinya dengan vulgar, sedangkan lembaga survei lainnya tidak demikian. Muncul pertanyaan ada apa?,” katanya.
Biasanya sebagai lembaga konsultan politik, lanjut dia, tidak mudah bagi lembaga survei mempublikasi hasil survei secara indikatif. Umumnya lembaga konsultan politik akan menggunakan temuan surveinya untuk mendesain strategi pemenangan cakaldanya, sehingga tidak akan dipublikasi secara terbuka temuan hasil surveinya.
“Gejala publikasi lembaga survei seperti ini, dalam pengalaman survei opini publik, telah menimbulkan kegaduhan di mata akademisi dan pengamat politik. Sebab tidak jarang pada waktu survei dan metodologi yang identik, hasil antara satu lembaga survei dan lembaga survei lainnya justru berbeda jauh. Kita ingat betul kondisi ini pada Pilpres 2014, dimana ada banyak perang opini melalui publikasi lembaga survei,” paparnya.
Dinamika Pilkada serentak 2017 di DKI Jakarta juga menimbulkan haru biru serupa. Dengan tiga pasangan calon, kecenderungan publikasi lembaga survei mulai memihak. Sebagai metodologi ilmiah, namun hasil berbeda antara satu lembaga survei dan lembaga survei lainnya, telah menimbulkan opini bahwa publikasi lembaga survei telah dikondisikan sedemikian rupa, dengan trik politik tertentu.
Menurut dia, terdapat setidaknya tiga alasan kenapa publikasi hasil survei perlu dikritisi. Pertama, lembaga survei yang dikontrak oleh calkada menggunakan trik ini untuk mengkondisikan cara berfikir dan keyakinan pemilih bahwa calkada yang mengontrak lembaga tersebut tak mungkin kalah.
“Harapannya ada efek ikutan massa mengambang dan migrasi suara dari calkada lain. Dalam strategi marketing politik efek ini dikenal dengan sebutan bandwagon effect,” jelasnya.
Kedua, konsultan politik sadar bahwa calkadanya secara elektoral terancam mengalami penuruman dukungan, sehingga memilih mempublikasi hasil survei yang didesain menguntungkan calkadanya dengan harapan dapat mengganjal defisit dukungan yang semakin menukik.
Serta ketiga, strategi publikasi lembaga survei untuk mendapatkan sokongan dana politik dari donatur, karena calkadanya sedang kesulitan “amunisi” biaya politik.
Selain tiga alasan tersebut, lanjut dia, alasan lain yang dianggap aneh dalam publikasi terbuka lembaga survei adalah mahalnya biaya survei. “Artinya dengan biaya survei antara 150 juta-200 juta, tidaklah mungkin hasilnya dipublikasi sehingga digunakan oleh calkada lain untuk mendesain strategi pemenangannya,” ungkap Almudatsir.
“Bagi lembaga survei yang mengerjakan pendampingan politik, mereka paham betul keadaan ini, Publikasi terbuka memiliki rasio validitas akademis sangat rendah, dibanding rasio validitas politik. Oleh karena itu, publikasi terbuka lembaga survei yang juga konsultan politik calkada tidak dapat dibaca secara akademis dan otentik statistik,” lanjut dia.
Namun sebaliknya perlu dibaca dengan standar komunikasi politik tertentu. Jika pendekatan ini yang digunakan, maka keraguan terhadap data lembaga survei adalah niscaya. Hal itu sama artinya menempatkan hasil survei sebagai arena pertarungan opini politik, dibandingkan sebagai variabel ilmiah statistik yang validatif.
Aspek Jejak Rekam Elektoral Selain aspek politis publikasi hasil survei, secara metodologis data survei yang dilakukan pada periode tertentu tidak memastikan dukungan yang sama pada hari pemilihan. “Di Pilkada DKI Jakarta 2012, misalnya, Fauzi Bowo sebagai incumbent relatif unggul jauh dari Jokowi pada masa-masa awal survei,” katanya.
Jokowi mendapatkan rekomendasi partai dengan 7 persen, sedangkan Fauzi sudah diangka dukungan 48 persen. Begitupun halnya Ganjar pada Pilkada Jawa Tengah. Pada saat direkomendasi partai 8 persen, sedangkan Bibit Waluyo (incumbent) 51 persen. Namun hasilnya Jokowi dan Ganjar menang, dan Fauzi dan Bibit sebagai incumbent kalah.
“Pada Pilwakot Ambon 2011, kita juga mencermati kenyataan demikian. Paulus Kastanya – La Hamsidi, misalnya, memiliki dukungan terbawah 2.5 persen dari 6 pasangan calon. Namun pada saat hari pemilihan pasangan ini menjadi pemenang kedua 18.56 persen, membuntuti Richard Louhenapessy – Sam Latuconsina 38.32 persen, dari sebelumnya 51 persen,” jelasnya.
Secara metodologis, papar Almudatsir, keadaan ini dikarenakan, survei berkenaan dengan aspek keterpilihan (elektoral) selalu dimulai dengan pertanyaan, Jika Pilkada dilakukan hari ini, siapa yang bapak/ibu pilih. “Makanya jawaban keterpilihan tidak menjamin konsistensi dukungan pemilih dari waktu dilakukan survei hingga pada hari pemilihan, dikarenakan dinamisnya dukungan pemilih,” ucapnya.
Oleh karena itu rilis hasil survei KCI (23/10) tersebut perlu dilihat dengan membandingkan dengan jejak rekam elecktoral calon sebelumnya. Richard pada Pilwakot 2006 pernah kalah dari Jopi Papilaya, meskipun sebelum pemilihan survei Richard selalu tertinggi. “Pada Pilwakot 2011, meskipun menang namun tren dukungan Richard turun sebelum pemilihan dari 51 persen menjadi 38.32 persen,” katanya.
Itu artinya, lanjut dia, dalam dua kali Pilwakot yang diikutinya, Richard memiliki tren dukungan terbuka tinggi, namun rapuh dalam perolehan suara akhir yang cenderung menukik. Sedangkan Paulus justru sebaliknya. Pada Pilwakot 2011, meskipun Paulus menjadi juru kunci dari 6 pasangan calon dengan 2.5 %, namun pada hari pemilihan meraih 18.56 %, sebagai pemenang kedua.
“Artinya Paulus memiliki tren dukungan rendah sebelum pemilihan, namun sangat tinggi pada hari pemilihan. Dalam hitungan di Pilwakot 2011, Paulus memiliki lonjakan elektoral sebesar 16.06 %, dari 2.5 % sebelum pemilihan menjadi 18.56 % di hari pemilihan,” ujar Almudatsir
Dia menambahkan, selain membaca motivasi politis publikasi hasil survei, pemilih yang kritis akan selalu menggunakan jejak rekam post electoral calon pada pilkada-pilkada sebelumnya.
“Oleh karena itu saya tetap melihat bahwa kontestasi Pilwakot serentak 2017, sebagai arena pertarungan politik yang menarik. Sebab selain berlangsung head to head antara Richard – Syarif dan Paulus – Sam, namun memiliki bobot edukasi pemilih yang tinggi,” jelas Almudatsir.
Dia juga mengajak publik dan pemilih tidak terjangkiti strategi bandwagon effect, dengan simulasi opini politik menang kalah melalui publikasi hasil survei.
“Ada baiknya iklim kontestasi ide dan program dari dua pasang calkada ini kita jadikan sebagai rujukan dukungan politik, sehingga kualitas dukungan politik kita memberikan manfaat bagi keberlangsungan demokrasi yang sejahtera dan bermartabat di Ambon Manise,” tandasnya.






