Ambon,Tribun-Maluku.com : Lantaran diduga melakukan tindak pidana penyerobotan lahan dan juga pengancaman, akhirnya Fredy Waas yang saat ini menduduki jabatan selaku raja Negeri Hutumuri, resmi diadukan ke pihak kepolisian.
Bahkan tidak tanggung tanggung, Waas bersama salah satu koleganya yakni Jance Lesiassel dilaporkan atas tiga jenis tindak pidana, yakni. Tindak pidana penyerobotan lahan, tindak pidana pengrusakan tanah dan tanaman serta tindak pidana pengancaman kekerasan.
Hal tersebut tertuang dalam surat aduan korban Marthen Sarimanella ke Polda Maluku, lewat kuasa hukumnya, Herman Hattu yang dilayangkan Kamis (14/10/2021).
Dalam laporan polisinya itu, dijelaskan. Dugaan tindak pidana penyerobotan lahan atau tanah yang diduga dilakukan oleh Fredy Waas selaku terlapor baru diketahui pada tanggal 8 Oktober 2021. Dengan tempat kejadian perkara di dusun Amaori – Benteng Karang.
Sedangkan tindakan pengrusakan tanah dan tanaman terjadi pada tanggal 8 Oktober hingga 10 Oktober 2021 di dusun Amaori Benteng Karang Desa Passo. Dan tindak pidana ancaman kekerasan terjadi pada tanggal 8 Oktober 2021 di Amaori desa Passo.
Dijelaskan, Marthen Sarimanella selaku pelapor dan juga dalam perkara dugaan tindak pidana tersebut, memiliki bidang tanah hak adat dusun Amaori yang terletak di wilayah petuanan negeri Passo, berdasarkan bukti surat kepemilikan berupa sertifikat dan putusan pengadilan.
Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2018, tanpa sepengetahuan pelapor dan kawan kawan, terlapor (Raja Hutumuri) diduga telah dengan sengaja masuk ke dalam wilayah tanah milik pelapor, dengan membawa sejumlah alat berat dan merobohkan dan merusak tanaman. Baik tanaman umur panjang maupun tanaman umur pendek, serta apapun yang berdiri diatas tanah tersebut.
Apa yang dibuat terlapor tersebut baru diketahui pelapor dari laporan warga sekitar. Mendengar hal tersebut, lantas mendatangi lokasi tanah miliknya yang diduga telah diserobot oleh terlapor. Dan ternyaya hal tersebut benar adanya. Lantaran ketika pelapor tiba dilokasi tersebut, ternyata pelapor menyaksikan berbagai tanaman atau benda benda yang ada diatas tanah milik pelapor, telah dirusak oleh terlapor.
Ketika tiba dilokasi kejadian, pelapor bertemu dengan sejumlah orang yang berada dilokasi tersebut, termasuk terlapor dan kawan kawan dan juga salah satu oknum anggota polisi yang pelapor tidak tahu identitasnya. Dimana saat itu mereka sedang melakukan aktifitas yang merusak dan membongkar habis tanaman milik pelapor.
Melihat apa yang terjadi, pelapor lantas bertanya kepada terlapor bahwa siapa yang mengijinkan terlapor untuk membongkar lahan tersebut. Dan kemudian terlapor (Raja Hutumuri) menjawab ose seng pung tanah disini, ose Jang bikin kacau (ini bukan tanahmu, jangan bikin kacau). Dijawab pelapor, Beta seng biking kaco disini, dasar apa Ale dong klaim tanah ini ale dong punya (Saya tidak bikin kacau disini, tapi atas dasar apa anda mengklaim tanah ini milik anda).
Lantas terlapor menjawab bahwa tanah tersebut adalah milik Hutumuri, namun dibantah oleh pelapor dengan mengatakan. Bahwa tanah tersebut adalah miliknya, dan dirinya telah memiliki dasar hukum putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam laporan tersebut dijelaskan, bahwa tanah tersebut adalah miliknya, akan tetapi terlapor dan kawan kawan lantas mendorong pelapor dengan ancaman akan memenggal kepala pelapor dan menggantung kepala pelapor di baileo bila pelapor masih saja mengganggu aktivitas yang sedang dilakukan terlapor.
Herman Hattu selaku kuasa hukum pelapor mengungkapkan, dalam laporan tersebut pihaknya juga melampirkan alat bukti berupa saksi berjumlah 6 orang dan juga 7 alat bukti berupa sertifikat hak milik atas tanah tersebut dan juga putusan Pengadilan Negeri Ambon nomor 204/1978/pers.G/PN.AB tanggal 18 April 1981 dan putusan Mahkamah Agung nomor 2080/K/SIP/1981 tanggal 19 Desember 1981.