Tinjauan Fiskal Seram Bagian Barat
Kemandirian fiskal suatu daerah menunjukkan bahwa implementasi otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal telah berhasil dilaksanakan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal itu sendiri patutnya dioptimalkan secara langsung oleh setiap pemerintah daerah.
Di Seram Bagian Barat sejauh ini, beberapa indikator fiskal memperlihatkan perkembangan yang belum optimal dan efektif dalam satu dekade terakhir. BPS Kabupaten Seram Bagian Barat lewat publikasi Kabupaten Seram Bagian Barat Dalam Angka seri publikasi tahun 2015-2024 mencatat perkembangan regional revenue, balance fund, dan perkembangan indirect dan direct expenditure, jika dicermati, penguatan desentralisasi fiskal belum cukup signifikan.
Total realisasi pendapatan daerah Seram Bagian Barat sepanjang sepuluh tahun terakhir sangat fluktuatif. Realisasi pendapatan tertinggi dicapai pada tahun 2019 sebesar 1.066,75 miliar rupiah dengan annual growth hanya skitar 1,93 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sementara realisasi pendapatan terendah terjadi pada tahun 2014 yakni hanya sebesar 626,99 miliar rupiah dengan annual growth yang relatif tinggi sekitar 10,05 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2023 realisasi pendapatan daerah hanya mencapai 955,58 miliar rupiah, tumbuh sekitar 8,92 persen dari tahun 2022.Jika dicermati perkembangan komposisinya, balance funds menjadi komponen penyumbang yang sangat besar dalam struktur pendapatan daerah di Seram Bagian Barat. Sepanjang sepuluh tahun terakhir, proporsi balance funds selalu diatas 80 persen yang dimanfaatkan untuk pembiayaan pengeluaran daerah.
Sedangkan komponen regional revenues yang secara substansi mencerminkan kemandirian fiskal daerah proporsinya tidak lebih dari 5 persen yang dapat dimanfaatkan. Komponen lainnya yakni other revenues proporsinya berkisar di antara 6 hingga 19 persen, dimana sejak tahun 2017 selalu berada diatas 10 persen.
Perkembangan proporsi masing-masing komponen dalam struktur pendapatan daerah di Seram Bagian Barat ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa masih banyak hal yang perlu segera dibenahi, langkah-langkah strategis pengelolaan sumber-sumber regional revenue yang telah diambil perlu ditinjau kembali.
Tatanan regulasi dan administrasi regional revenue yang telah diatur perlu dipertimbangkan untuk ditata ulang, pengawasan pelaksanaan regulasi dan administrasi regional revenue selama ini telah dilakukan perlu didorong dan dikawal betul secara ketat, bahkan kapasitas dan kompetensi SDM aparatur yang belum ada perlu segera diadakan, sementara kapasitas dan kompetensi SDM aparatur yang telah ada menjadi aspek yang mendesak untuk segera ditingkatkan.
Hal lain yang miris adalah fiscal dependency ratio di Seram Bagian Barat dalam satu dekade terakhir ini selalu berada diatas 95 persen sementara fiscal independency ratio selalu tidak lebih dari 5 persen dalam struktur pendapatan daerah.
Kita terpaksa mengakui bahwa Seram Bagian Barat belum memiliki kemandirian fiskal yang mumpuni. Namun kita yakin, tantangan menuju kemandirian fiskal menjadi fokus pemerintah daerah kedepan dalam rangka implementasi otonomi daerah melalui penguatan desentralisasi fiskal.
Di sisi lain, total realisasi belanja daerah Seram Bagian Barat juga relatif fluktuatif dalam satu dekade terakhir ini. Realisasi belanja tertinggi juga dicapai pada tahun 2019 sebesar 1.030,56 miliar rupiah dengan annual growth skitar 2,75 persen dibanding tahun sebelumnya.
Realisasi belanja terendah juga terjadi pada tahun 2014 yakni hanya sebesar 575,32 miliar rupiah dengan annual growth sekitar 3,47 persen dibanding tahun sebelumnya.
Pada tahun 2023 realisasi belanja daerah hanya mencapai 872,30 miliar rupiah, tumbuh sekitar minus 2,37 persen atau mengalami penurunan realisasi belanja sekitar 2,37 persen dibanding realisasi belanja tahun 2022 yang kita yakini sebagai langkah kontraksi fiskal.
Jika dicermati perkembangan komposisinya, indirect expenditures menjadi komponen penyumbang yang sangat besar dalam struktur belanja daerah di Seram Bagian Barat.
Sepanjang dekade terakhir, proporsi indirect expenditures selalu diatas 50 persen. Sedangkan komponen direct expenditures yang secara substansi mendorong pertumbuhan ekonomi secara makro dalam jangka pendek melalui peningkatan permintaan agregat, aktivitas sektor riil, dan penciptaan/perluasan lapangan kerja, proporsinya justru selalu dibawah 50 persen.
Bahkan gap antar kedua komponen yang relatif lebar telah terjadi sejak tahun 2020 dan terus melebar hingga tahun 2023 dimana proporsi indirect expenditures telah mencapai 63 persen sementara proporsi direct expenditures hanya sekitar 37 persen.
Perkembangan proporsi masing-masing komponen dalam struktur belanja daerah di Seram Bagian Barat, terutama dalam lima tahun terakhir ini, telah memperlihatkan kepada kita bahwa fokus pengeluaran pemerintah sebagai instrumen fiskal daerah lebih diarahkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah secara makro dalam jangka menengah atau panjang melalui investasi makro dengan peningkatan modal.
Hal lain yang bisa dicermati adalah perkembangan proporsi belanja barang dan jasa dan perkembangan proporsi belanja modal dalam struktur komponen belanja langsung sepanjang dekade ini.
Pada tahun 2014 hingga 2018, proporsi belanja modal terhadap total belanja langsung berkisar di antara 49 sampai dengan 59 persen selalu lebih tinggi dari proporsi belanja barang dan jasa terhadap total belanja langsung.
Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun 2019 hingga 2023, dimana proporsi belanja barang dan jasa terhadap belanja langsung berkisar di antara 49 sampai dengan 61 persen.
Kita tentu bisa menyimpulkan bahwa dalam lima tahun terakhir ini, prioritas belanja langsung sebagai instrumen fiskal daerah lebih diarahkan untuk pembiayaan program dan kegiatan teknis pemerintah daerah dibanding pembiayaan modal seperti pengadaan alat dan mesin, pembangunan infrastruktur bangungan, jalan, irigasi dan lainnya di Seram Bagian Barat.
Ekspektasi Mendatang
Sampai dengan tahun 2023, kebijakan desentralisasi fiskal telah dilaksanakan selama 23 tahun sejak dimulai tahun 2001. Seram Bagian Barat telah terbentuk sebagai kabupaten selama 20 tahun sejak disahkan pembentukannya pada Desember 2003 berdasarkan UU No. 40 Tahun 2003.
Beberapa indikator fiskal Seram Bagian Barat memperlihatkan perkembangan yang belum optimal dan efektif sejauh ini dalam satu dekade terakhir. Walaupun demikian, kita tentu sangat meyakini bahwa kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita menuju kemandirian fiskal. Aspek pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, tatanan regulasi dan administrasinya, pengawasan pelaksanaannya, hingga kapasitas dan kompetensi SDM aparatur menjadi aspek-aspek mendesak untuk segera ditingkatkan kedepannya.
Kita menaruh ekspektasi hal ini menjadi perhatian dan fokus pemerintah daerah dalam rangka implementasi otonomi daerah melalui penguatan desentralisasi fiskal. Selain itu, itikad baik dan komitmen untuk mewujudkannya dalam tindakan policy menjadi mendesak untuk diinternalisasi pada setiap organ pemerintah daerah pada semua level pada tahun-tahun mendatang.
Penulis adalah Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Seram Bagian Barat