Oleh : Cand. Dr. Asnat j luturmas, SH , MH., CPCLE., CLE.
Ambon : Prinsip negara hukum diterapkan di Indonesia didalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Dipahami benar bahwa untuk memahami akan Narasi Hukum apalagi sebuah konsep hukum tentunya dibutuhkan kedalaman berfikir untuk mengkarakterkan konstruksi sains. Sehingga jika ditilik secara lebih koheren maka akan ditemuka adaptasi berbagai jenis istilah yang mengamanatkan tentang faktual Hukum itu apa.
Seringnya kekeliruan didalam memahami akan maksud menurut hukum sehingga sering pula kesenjangan didalam mendudukan faktual hukum menjadi kabur. Dapat kita lihat dari Aristoteles, Grotius, Cicero, Hobbes dan Van Vollenhoven menjelaskan begitu banyak narasi tentang konsep hukum. Saat ini, semua bidang kehidupan memiliki keterhubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan akibat dari Perbuatan pada lini bidang administrasi, adat dan terdampak Pidana didalam unsur larangan/kepatutan sehingga berpotensi melawan hukum dan melawan undang-undang.
Didalam pengembangan suatu peristiwa hukum dari lini bidang sebagaimana disebutkan dapat menelisik ke perbuatan baik aktif maupun pasif dan sebagai konsekwensi pertanggung jawaban, jika demikian siapa yang kemudia bertanya bahwa terhadap apa yang dilakukan dihadapan hukum dapat dikategorikan sebagai melawan hukum dan melawan undang-undang.
Dapat dilihat terdapat beberapa persoalan hukum yang kemudian disituasikan menjadi bagian dari benar adanya melawan hukum karena kejahatan dan menurut pelanggaran. Hal ini sangat terkait dengan Temuan setelah dilakukan penyelidikan maupun atas dasar laporan masyarakat.
Sehingga patut dipahami benar, jika pengembangan berdasarkan laporan masyarakat maka saat klausal subjek hukum dalam tataran pelaporan terhadap perbuatan perlu mendapat penekanan subjek hukum sebagai siapa yang menerangkan duduk kebenaran faktual. Hal ini menjadi penting disebabkan untuk mendudukan sifat melawan hukum dan melawan undang-undang bermula dari siapa yang mengajukan laporan atau siapa yang mendalilkan pelaporan.
Dari pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi hukum pidana harus bersumber pada undang-undang yang sering dikenal dengan istilah Asas Legalitas, artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang (lege) ini berarti sesuai dengan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan dalam pengertian luas lainnya dalam produk perundang-undangan yang dalam pelaksanaan tugasnya terikat kepada ketentuan perundang-undangan untuk menghindari kesewenang-wenanganatau penilaian pribadi, sehingga tercapai kepastian hukum bagi pencari keadilan.
Hukum adat pada umumnya tidak tertulis dan tidak dibedakan atau tidak dipisahkan antara hukum pidana, hukum perdatadan hukum tata negara dalam arti luas (termasuk hukum administrasi negara).
Menurut Pasal 15 AB (Algemene Bepaling va Wetgeving), berselaras terapan Pasal 1 ayat 1 KUHPidana dalam kaitan dengan delik pada ranah pidana dan ranah adat hukum (pidana) adat sulit dipengaruhi oleh hukum pidana, kecuali ketentuan secara khusus dan umum mengatur hal tersebut (formil dan materil).
Pasal 1365 BW mengenai tindakan yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatige daad). Menurut Pompe mempersamakan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dengan bersifat melawan hukum.
Jika didudukan pada rumusan delik (TP) maka pemenuhan unsur melawan hukum akan merujuk pada satuan bidang yang mana dirujuk dari perbuatan yang dilakukan. Dan pada melawan undang-undang akan dirujuk pada ketentuan hukum menurut undang-undang. Hal mana bahwa untuk membuktikan sifat melawan hukum adalah sebuah sangkaan terhadap perbuatan yang diduga mengakibatkan pemidanaan yang sering didengan bahasa sapaannya Perbuatan pidana, untuk itu didalam sesuai dengan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan dalam pengertian luas lainnya dalam produk perundang-undangan yang dalam pelaksanaan tugasnya terikat kepada ketentuan perundang-undangan maka pemenuhan tugas yang mengarah kepada kewenangan dan fungsi pada pembuktian sebab akibat akan memformulasikan sifat dari melawan hukum dan melawan undang-undang yang memenuhi unsur delik.
Biasanya selalu akan ada yang namanya “Jebakan Betman”, sedikit menyelundupkan makna, perlu diketahui bahwa menurut Dr. Iqbal taufik, SH., MH pembuktian terhadap inkonkreto perlu dibarengi dengan penelusuran mendalam sehingga tidak terjadi kekeliruan didalam mendudukan Pemidanaan, dan sejalan dengan hal ini saya selaku peneliti juga menambahkan atas temuan bahwa terhadap setiap kebidangan hukum berpotensi adanya perbuatan yang dapat dipidana sehingga jika klausal materil didalam jeratan hukum tidak diperkuat dengan jeratan formil maka sifat melawan hukum dapat lenyap atau didalam sebutannya tidak ditemukan sebab pemidanaan.
Menariknya telah banyak suara diluar keilmuan hendak menyelipkan narasi diantara jajaran rapinya Konsep. Hal ini patut disimak dengan mendalam sebab dapat saja terhadap suatu sangkaan bahkan sampai pada proses penyelidikan dan penuntutan tidak terindikasi sifat melawan hukum dan melawan undang-undang.
Menjadi catatan penting bahwa Perbuatan pidana secara kualitatif melahirkan Mala in se dan Mala Prohibita dengan sifat menyidik pada kelembagaan tentunya akan diketahui kekuatan Mala Prohibita yang lebih marah saat ini dibandingkan Mala in se.
Pasal 1365 BW mengenai tindakan yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatige daad), tentunya memiliki titik singgung formil dan materil secara terpisah, karenanya strafbaarfeit perlu didudukan secara lebih mengerucut untuk menemukan kebenaran formil dari kedudukan kebidangan didalam sifat melawan hukum. Dapat dipastikan bahwa ada prolog panjang bahwa siapa yang mendudukan sifat melawan hukum dan melawan undang-undang tersebut.