Oleh : Johny Louhenapessy, ST *
Ada sebuah pertanyaan fundamental dan menggelitik, apakah dari sebuah kartu Surat Izin Mengemudi atau SIM (driving license) kita bisa menilai negara penerbit SIM itu adalah negara maju (developed country) atau negara sedang berkembang (developing country)?
Jawabnya, bisa. Meski hal ini tidaklah bermaksud mengimplikasi kriteria negara maju dan bukan negara maju hanya dengan merujuk indikator sebuah kartu SIM. Setidaknya ada dua elemen indikator yang bisa ditelaah dari kartu SIM yakni elemen filosofis dan elemen operasional.
Unsur filosofis yang dimaksud yakni keselamatan (safety). Bahwa setiap penerbitan kartu SIM mengandung makna bahwa si pemegang kartu itu menghayati bahwa keselamatan berkendaraan pada hakikatnya adalah penghormatan atas harkat hidup manusia baik diri sendiri dan orang lain.
Di negara-negara maju sangatlah menghormati harkat hidup warga negaranya. Harga sebuah nyawa di negara maju adalah “mahal”. Dari pijakan filosofis inilah bertumpu semua hukum positif dan aturan hidup bermasyarakat termasuk urusan pembuatan SIM.
Sedangkan elemen operasional adalah pengenjawantahan elemen filosofis ke operasional di lapangan. Misal, bagaimana penghormatan atas harkat hidup manusia itu mewujud-nyata melalui prosedur ketat pembuatan SIM.
SIM Berkualitas
Man behind the gun. Bahwa faktor manusia yang berada dibelakang kendali kemudi kendaraan bermotor sangat menentukan keselamatan berkendaraan. Menginsafi manusia memainkan peran vital urusan berkendaraan haruslah sosok yang memiliki skill dan knowledge mengemudi dan berlalu lintas.
Itu sebabnya negara-negara maju memberlakukan proses ketat setiap penerbitan kartu SIM. Ada sederet persyaratan untuk bisa memiliki sebuah SIM. Untuk mendapatkannya melalui proses panjang dan tidaklah mudah. Dan biaya pembuatannya juga tidak murah.
Kenapa persyaratan itu dibuat begitu ketat di negara maju? Semata karena penghayatan akan prinsip penghargaan atas harkat hidup manusia yang tinggi nilainya dan jangan sampai ada satu nyawa yang ‘mahal’ itu lenyap hanya karena ada pengendara sembrono.
Atas penghargaan pada harkat hidup manusia yang tinggi nilainya itulah yang mendorong negara-negara maju menerbitkan SIM berkualitas. Jadi ada semacam garansi bahwa setiap pemegang SIM berkualitas adalah sosok yang pantas (deserve) dan layak (eligable) untuk itu.
Ambil contoh pembuatan SIM di negara maju seperti Norwegia. Negara anggota Uni Eropa ini termasuk tingkat lakalantas paling rendah di dunia. Ada 2 (dua) syarat dan 4 (empat) tahapan dalam membuat SIM di sana.
Kedua syarat itu yakni calon pemegang SIM diwajibkan memeriksakan kesehatan lengkap dari dokter komunitas atau dari rumah sakit. Calon pemegang SIM kudu sudah membaca dan mahfum benar panduan berlalu-lintas. Setelah itu ada empat etape pelatihan yang harus dilewati.
Pelatihan pertama: basic traffic course. Pada tahapan ini diajari sistem kelalulintasan dan resiko yang timbul di jalan raya seperti teori dasar kelalulintasan, pelatihan pertolongan pertama pada kecelakaan, dan simulasi mengemudi di malam hari. Usai pelatihan ada ujian (assestment).
Pelatihan kedua: basic training. Pada tahapan ini diajari memahami sistim kerja mobil seperti perpindahan gigi (gear), fungsi pengereman dan lainnya. Pelatihan ini dimaksudkan agar pemohon sudah dapat mengemudi dengan aman. Di akhir sesi ada assesment.
Pelatihan ketiga: proficiency in traffic. Pada tahapan ini pemohon diajari mengemudi di berbagai kondisi jalan dan juga bagaimana menghindari kecelakaan lalu lintas. Di akhir sesi ini juga ada assesment.
Pelatihan keempat: final training. Pada tahapan ini diajarkan mengemudi dengan aman di jalan raya dan problem solving di jalan saat berlalu lintas. Selesai training dilakukan assestment.
Setelah empat sesi pelatihan; barulah seorang calon pemegang SIM dinyatakan pantas dan layak. Dengan prosedur panjang pembuatan SIM seperti itu setidaknya ada semacam garansi bahwa manusia yang memegang SIM itu adalah sosok yang paham betul filosofi safety driving sebagai refleksi penghargaan akan harkat hidup manusia yang mahal.
Untuk menghasilkan SIM Berkualitas seperti di Norwegia dan negara maju lainnya ada konsekuensi yang tak terhindarkan yakni biaya produksi terbilang tinggi. Biaya pembuatan SIM di Norwegia sebesar $524 setara Rp7.8 juta (kurs Rp15 ribu/1 $). Jerman ($526); Inggris ($118); Belanda ($177). Seperti kata pepatah ada harga ada kualitas.
Pembuatan SIM di Indonesia
Pada Juni 2022; situs edukasi safety driving zutobi.com merilis laporan yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-8 di dunia dalam hal kemudahan pembuatan SIM. Kemudahan dimaksud tercermin dari prosedur pembuatan SIM yang ringkas dan berbiaya murah.
Persyaratan bisa mendapatkan SIM di Indonesia dipatok umur 17 tahun. Bandingkan di negara maju umumnya di umur 21 tahun. Ada syarat mesti ikut psiko tes. Tapi tidak ada persyaratan pemeriksaan kesehatan lengkap termasuk kesehatan mata yang adalah vital bagi calon pengemudi dan kewajiban mempelajari aturan berlalu-lintas.
Untuk mendapatkan SIM jenis apapun (SIM A;B;C) hanya disyaratkan mengikuti tes teori dan praktik tanpa ada pendahuluan pelatihan seperti di negara-negara maju. Menurut Zutobi biaya pembuatan SIM pun terbilang sangat murah yakni US$10 dibanding dengan negara maju.
Dengan ringkas dan sederhananya prosedur kepemilikan SIM di Indonesia memperlihatkan ada celah berbahaya yakni minimnya sisi edukasi & pelatihan guna mengisi pengetahuan (knowledge) dan skill berkendaraan dengan baik. Padahal ini elemen krusial wujud penghargaan akan harkat hidup manusia.
Apalagi bukan rahasia umum bahwa untuk mendapatkan SIM di Indonesia dengan persyaratan yang terbilang ‘ringkas’ tadi namun ‘sulit’ sekali untuk bisa lulus. Ini bukan berarti si pemohon SIM itu tidak pantas dan tidak layak tapi ada unsur “permainan” si pembuat SIM.
Istilah “SIM Tembak” bukan terminologi yang asing kalau kita sedang mengurus pembuatan SIM. Kalau mau cepat dapat SIM jenis apa pun tanpa harus ikut tes teori dan praktik; bisa ambil jalur khusus “SIM Tembak” dengan membayar Rp600.000 – Rp1.000.000 ke atas dari tarif resminya Rp125.000.
Pengalaman penulis mengikuti tes pembuatan SIM di Satpas Polresta Yogyakarta dengan jalur normal sampai tujuh kali baru bisa lulus ujian praktik dan mendapatkan SIM. Ada juga peserta lain yang tidak lulus ujian praktik berkali-kali. Sikon ini kerap bikin frustasi dan banyak pihak ambil jalan pintas via “SIM Tembak”. Pengemudi berbekal SIM Tembak inilah berpotensi menjadi sumber masalah dan perilaku sembrono di jalan raya.
Pengalaman dan pengamatan di daerah lain seperti Polda Maluku khususnya Polres SBB (Seram Bagian Barat) animo masyarakat untuk membuat SIM tergolong rendah dan pengendara pada umumnya lebih memilih menghindar petugas Satlantas pada saat operasi penertiban (sweeping)
Disinilah Korlantas Polri dan jajaran di bawahnya di daerah serta stakeholder yang terkait dengan pembuatan SIM untuk mengevaluasi kembali proses pembuatan SIM di dalam negeri. Setiap celah “main mata” antara pemohon dan petugas agar diminimalisirkan.
Pemakaian teknologi komputerisasi adalah pilihan rasional. Pelatihan basic skill berlalu lintas adalah isu krusial yang harus masuk dalam kurikulum persyaratan pembuatan SIM. Edukasi dan kampanye memiliki SIM juga mesti ditingkatkan serta literasi safety driving bagi semua pengguna jalan.
Memang harus diakui kalau pembuatan SIM di Indonesia memakai standar negara maju maka konsekuensi logis yang harus ditanggung calon pembuat SIM adalah biaya pembuatan yang juga menjadi mahal dan waktu yang lama. Disinilah buah simalakama.
Relakah penduduk Indonesia apabila untuk mendapatkan sebuah SIM harus merogoh kocek minimal Rp1 juta dan waktu minimal 6 bulan – 1 tahun? Dengan SIM yang dihasilkan adalah jenis SIM berkualitas tinggi karena diperoleh dengan standar pembuatan yang ketat serupa negara maju.
Kalau Indonesia mau sejajar dengan negara maju ya mau tak mau harus mulai menyetarakan proses pembuatan SIM sama dengan negara maju. Tapi kalau dasar pertimbangannya adalah “daya beli” penduduk Indonesia; sampai kapan pun dipastikan kita tidak akan pernah sampai seperti negara maju.
Implikasi SIM Berkualitas
Implikasi terbitnya SIM berkualitas secara garis lurus memang pada angka laka lalin dan kerugian material dan imaterial. Mari kita perhatikan tingkat laka lalin di negara-negara maju yang cenderung lebih rendah dibanding negara berkembang.
Memang tidak dipungkiri bahwa penyebab laka lalin bukanlah causa prima karena faktor SIM semata. Banyak faktor lain yang ikut jadi penyebab. Namun dengan individu pemegang SIM berkualitas cenderung punya mind-set self awereness dan tanggungjawab akan faktor keselamatan diri dan orang lain saat berkendaraan.
Merujuk situs edukasi safety driving zutobi.com yang menempatkan Norwegia sebagai negara teraman dalam berkendaraan. Setidaknya ada lima parameter yang dipakai secara sama untuk memeringkat perihal safety driving ecosystem di 183 negara.
Kelima parameter yang dipakai yakni tingkat kematian laka lalin per 100 ribu penduduk; batas kecepatan maksimal di jalan raya; tingkat penggunaan sabuk pengaman; kematian laka lalin terkait alkohol; dan tingkat konsentrasi alkohol dalam darah penduduk.
Semakin tinggi peringkat suatu negara semakin bagus. Sebagai negara teraman berkendaraan; Norwegia ada diperingkat 179 dimana rate kematian laka lalin di angka 1.76 (per 100 ribu penduduk). Inggris (173/2.81); Belanda (172/2.83); Jepang (175/2.21); Singapura (181/1.69).
Sekarang bandingkan dengan laka lalin di Indonesia. Pada 2022 (Januari-September; Kompas.com) laka lalin tercatat 120.284 kasus. Angka ini melonjak dari 2021 yang tercatat 103.645 kasus (25.266 meninggal; 10.533 luka berat; 117.913 luka ringan; kerugian material Rp246 miliar.
Sementara itu; Indonesia menempati peringkat 115 dengan tingkat kematian laka lalin sebesar 11.8 per 100.000 penduduk. Muncul pertanyaan; “Kenapa rate kematian laka lalin Indonesia lebih tinggi dibanding negeri jiran Singapura dan negara-negara maju?”
Memang faktor penyebab tidak mungkin tunggal. Namun kalau kita periksa secara seksama kelima indikator safety driving seperti elemen kecepatan berkendara; tingkat pemakaian sabuk pengaman; kadar alkohol dalam darah merupakan produk edukasi dan training yang lazim diberlakukan di negara maju saat seseorang mau mendapatkan SIM. Bagian edukasi inilah yang terasa minim sekali diberikan di Indonesia.
Aksebilitas SIM Berkualitas
Salah satu indikator SIM terbitan satu negara itu berkualitas atau tidak adalah aksebilitas (accepbility) oleh negara lain. Saat ini SIM Indonesia diakui oleh semua negara anggota ASEAN. Anomali terjadi di Singapura di mana SIM Indonesia hanya berlaku setahun setelah itu wajib bikin SIM lokal di negeri jiran tersebut.
Bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di negara maju seperti di kawasan Uni Eropa; SIM Indonesia berlaku tiga bulan.
Di Amerika Serikat dan Australia berlaku 30 hari sejak kedatangan di negara tersebut. Kalau WNI pakai SIM Internasional (International Driving Permit/IDP) yang diterbitkan Polri berlaku setahun. Setelah itu wajib hukumnya bikin SIM lokal negara yang bersangkutan.
Muncul pertanyaan kenapa SIM Indonesia baru sebatas diterima di negara anggota ASEAN saja sementara di negara-negara maju diterima secara berbatas waktu?
Tentu setiap negara punya pertimbangan masing-masing. Secara internasional ada kesepakatan 92 anggota PBB yang meratifikasi pemberlakuan SIM International yang diterbitkan negara masing-masing dan berlaku setahun. Selebihnya harus bikin SIM lokal di negara bersangkutan.
Belum meratanya aksebilitas terhadap SIM Indonesia tentu banyak sebab dan faktornya. Salah satu yang esensial adalah perbedaan prosedur pembuatannya. Di negara maju seperti kawasan Uni Eropa sangat ketat penerbitan SIM dan dikenakan biaya tinggi karena peduli faktor safety driving. Pada sisi lain ada negara yang terkesan longgar dalam menerbitkan SIM plus berbiaya murah pula.
Seperti disinyalir situs Zutobi bahwa prosedur pembuatan SIM di Indonesia masuk peringkat 8 termudah dengan biaya yang rendah. Semacam aksioma bahwa sesuatu yang mudah diperoleh maka output-nya pun kurang baik. Pada bagian inilah tampaknya Indonesia mesti berbenah agar proses pembuatan SIM bisa setara negara maju.
Resume
Indonesia sedang berjuang mati-matian agar pada 2030 masuk dalam kategori negara maju. Salah satu indikatornya adalah memompa habis-habisan laju pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) di atas 7% per tahun. Jika tidak demikian Indonesia masuk jebakan sebagai negara berkembang.
Untuk mengejar target PDB di atas 7% per tahun itulah tidak ada cara lain kecuali efisiensi dan efektifitas di semua lini sektor perekonomian. Semua prosedur yang tidak market friendly dibenahi. Itu terlihat saat pemerintahan Presiden Jokowi menerbitkan UU Cipta Kerja (Omni Bus Law) alias UU Sapu Jagad.
Dalam skala mikro semestinya prosedur pembuatan SIM mesti menyerap spirit UU Omni Bus Law tadi. Tidak boleh ada lagi hambatan administrasi dan birokrasi dalam pembuatan SIM. Tapi pada sisi lain juga penerbitan SIM harus berkualitas setara dengan negara maju.
Dengan memperhatikan kondisi de jure dan de facto pembuatan SIM di Indonesia, dengan jiwa besar kita harus mengakui bahwa proses pembuatannya masih jauh dari kata “berkualitas” seperti di negara maju. Padahal Indonesia saat ini menjabat Presidency G-20 yakni kelompok negara ekonomi besar dunia yang mayoritas adalah negara-negara maju.