Indonesia adalah negeri dengan kekayaan budaya yang luar biasa. Setiap daerah memiliki warisan khas yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan nilai-nilai kehidupan. Salah satu warisan budaya yang mencolok di wilayah timur Indonesia, khususnya di Maluku, adalah minuman tradisional bernama Sopi.
Sopi dan Dimensi Kearifan Lokal
Sopi bukan sekadar minuman beralkohol. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan masyarakat Maluku. Dalam setiap gelas sopi yang dituang dalam perayaan, upacara adat, atau sekadar pertemuan keseharian, tersimpan nilai-nilai kebersamaan, syukur kepada alam, dan penghargaan terhadap tradisi.
Dalam penelitian Pattiruhu dan Therik (2020), kata “Sopi” disebut berasal dari bahasa Belanda “Zoopie”, yang berarti cairan alkohol. Proses pembuatannya melibatkan fermentasi dan penyulingan dari bahan alami seperti buah aren (koli), kelapa (sageru), hingga nira. Praktik ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Maluku.
Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Risiko
Dalam konteks kesehatan, alkohol seperti sopi memang memiliki beberapa manfaat bila dikonsumsi dalam jumlah terbatas. Ia dapat meredakan rasa nyeri, menenangkan pikiran, menghangatkan tubuh, bahkan disebut-sebut mampu menurunkan risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes.
Namun, realitanya, risiko dari konsumsi alkohol justru jauh lebih besar jika tidak dikendalikan. Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan hipertensi, gangguan jantung, kerusakan hati, gangguan pencernaan, melemahkan sistem imun, gangguan mental, hingga berbagai jenis kanker.
Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih bijak dalam mengonsumsi sopi, terutama jika alasannya hanya untuk meredakan rasa nyeri setelah bekerja. Istirahat cukup, olahraga teratur, postur tubuh yang baik, hingga konsumsi obat pereda nyeri yang aman dapat menjadi alternatif yang lebih sehat.
Ekosofikum dan Kebijakan Publik
Fenomena sopi juga mencerminkan dilema ekosofikum yakni ketegangan antara pelestarian budaya dan kepentingan kesehatan serta keamanan sosial.
Ada yang menolak kehadirannya karena alasan kesehatan dan sosial, tapi tidak sedikit pula yang mendukung keberadaannya karena nilai tradisional dan manfaat ekonominya.
Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa sopi perlu diatur secara resmi melalui Peraturan Daerah (Perda) yang spesifik dan komprehensif. Perda ini harus mengakomodir kebutuhan masyarakat yang memproduksi sopi dalam skala rumahan, untuk kepentingan adat maupun kegiatan ritual.
Jika dikelola secara profesional, sopi bisa dijadikan produk unggulan yang berlabel, sekaligus mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan perekonomian masyarakat.
Kepastian hukum dalam produksi dan distribusi sopi juga akan memudahkan pengawasan, mencegah penyalahgunaan, dan menjaga esensi budaya yang melekat dalam setiap tetesnya.
Melalui tulisan ini, saya mengajak para pengambil kebijakan—Gubernur, Bupati, serta DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mendorong lahirnya Rancangan Perda tentang minuman khas tradisional Maluku.
Mari kita jaga warisan budaya kita, sembari tetap mengedepankan tanggung jawab terhadap kesehatan dan tatanan sosial.
Oleh: Costansius Kolatfeka; Mantan Anggota DPRD Provinsi Maluku.