Oleh: Charles Gigir Anidlah.
Ada satu “cerita baik” dari Maluku. Pemerintahan daerah ini mulai berbenah. Tapi juga satu “cerita kurang baik” dimana langkah pembenahan itu belum secepat yang seharusnya.
Di tengah potensi laut yang besar dan semangat otonomi kepulauan, tata kelola pemerintahan Maluku masih perlu percepatan untuk mengejar provinsi lain di barat Indonesia. Atau tetangga sebelah, “kejar yang baiknya”.
Mari kita lihat datanya
Dalam penilaian SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) tahun 2023, Maluku masih bertahan di predikat B (Kementerian PANRB, 2023). Itu artinya, akuntabilitas sudah berjalan, tapi belum sepenuhnya efektif dan belum berbasis hasil (outcome based management).
Bandingkan dengan DIY Yogyakarta yang sudah mencapai AA, atau Jawa Timur dan Jawa Barat yang konsisten di A.
Di daerah-daerah itu, laporan kinerja bukan sekadar formalitas tetapi menjadi dasar pengambilan keputusan pembangunan.
Predikat “B” tentu bukan nilai buruk. Tapi juga bukan kabar baik untuk provinsi yang punya begitu banyak potensi ekonomi maritim. Karena di era digital ini, kecepatan dan transparansi birokrasi bukan lagi kemewahan melainkan kebutuhan.
Sekarang kita bicara digitalisasi pemerintahan
Berdasarkan Indeks Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (ISPBE) 2023, Maluku meraih nilai 2,63 (Kementerian PANRB, 2023). Itu berarti masih dalam kategori “kurang”. Sistem digital antar organisasi perangkat daerah (OPD) belum terhubung dengan baik. Banyak aplikasi berjalan sendiri-sendiri, tanpa integrasi.
Bandingkan dengan Papua Barat Daya yang sudah menembus 3,79 itu kategori “baik”. Provinsi muda itu sudah menata sistem digitalnya dengan lebih rapih, bahkan melampaui Maluku yang jauh lebih dulu berdiri. Sulawesi Tengah pun mulai naik dengan nilai 2,91, sementara Jawa Barat menjadi provinsi paling siap dengan ISPBE 4,73.
Artinya jelas: digitalisasi bukan soal usia daerah, tapi soal kemauan untuk berubah.
Lalu, bagaimana dengan kualitas demokrasinya?
Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dari Kementerian Dalam Negeri (2023) memperlihatkan bahwa Maluku masih tertinggal dari rata-rata nasional. Pada tahun 2021–2023, skor Maluku berturut-turut adalah 66,76, 75,26, dan 69,35 (Kemendagri, 2023).
Sementara skor nasional di periode yang sama mencapai 78,12, 80,41, dan 79,51.
Angka-angka itu menunjukkan bahwa ruang partisipasi publik di Maluku sempat membaik pada 2022, tapi kembali menurun pada 2023. Ini sinyal bahwa demokrasi di tingkat lokal masih “turun naik” dan masih tergantung momentum politik dan bukan hasil “keringat” kelembagaan yang kuat.
Ketika tata kelola pemerintahan belum sepenuhnya transparan, kualitas demokrasi juga ikut goyah.
Digitalisasi birokrasi, akuntabilitas kinerja, dan demokrasi lokal sesungguhnya adalah tiga wajah dari satu koin: good governance.
Namun, bukan berarti Maluku tanpa kemajuan.
Sebab ada tanda-tanda positif yang patut diapresiasi.
Pertama, kesadaran untuk berbenah sudah tumbuh. Pemerintah provinsi mulai mendorong sistem elektronik dalam administrasi keuangan dan pelaporan kinerja.
Kedua, transparansi fiskal meningkat dimana laporan keuangan daerah kini semakin terbuka bagi publik (BPKP, 2023).
Ketiga, generasi muda ASN mulai terlibat dalam transformasi digital, meski skalanya masih terbatas.
Tapi pekerjaan rumahnya masih banyak.
Koordinasi antar OPD belum kuat. Sistem digital belum terhubung antar unit kerja.
Infrastruktur jaringan di pulau-pulau kecil masih terbatas. Dan yang paling penting adalah: kapasitas SDM digital ASN perlu ditingkatkan.
Tanpa itu semua, SPBE hanya akan jadi proyek perangkat lunak, bukan perubahan budaya kerja.
Digitalisasi birokrasi bukan soal membeli aplikasi melainkan soal mengubah mindset: dari sekadar menjalankan tugas menjadi memberikan hasil; dari hanya membuat laporan menjadi menghadirkan dampak nyata bagi warga.
Pemerintah daerah harus mampu menjadikan data sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar formalitas administratif.
Maluku bisa belajar dari Yogyakarta atau Jawa Barat, yang berhasil membuat birokrasi digital yang efisien dan manusiawi (Kementerian PANRB, 2023). Layanan publik di sana mudah diakses, transparan, dan terhubung antar sistem. Semua keputusan bisa diambil cepat karena datanya sudah siap di ujung jari.
Kini, dengan SAKIP “B”, ISPBE 2,63, dan IDI 69,35, Maluku punya peluang besar untuk naik kelas.
Semua indikator itu bukan sekadar angka, melainkan “patokan”, atau “toti”, yaitu meminjam istilah orang tua kita yang profesi tukang kayu.
Patokan untuk menunjukkan arah perubahan: dari birokrasi lamban menuju pemerintahan digital yang efisien, dari demokrasi formal menuju partisipasi publik yang nyata.
Perubahan itu tidak butuh keajaiban namun hanya butuh kemauan politik, kepemimpinan yang konsisten, dan keberanian meninggalkan cara lama.
Karena Maluku sudah saatnya tidak hanya dikenal karena lautnya yang indah, tapi juga karena pemerintahannya yang transparan, adaptif, dan modern.
Penulis adalah Pemerhati Ekonomi dan Sosial.






