Ambon,Tribun Maluku : Pemerintah Kota Ambon terkesan enggan menunaikan kewajibannya membayar sisa lahan milik Enne Kailuhu yang berada di kawasan Benteng Karang yang selama ini dijadikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pasalnya ketika pemilik lahan meminta Pemkot Ambon guna menyelesaikan kewajiban mereka membayar sisa lahan yang digunakan Pemkot Ambon untuk lokasi TPA, sebagaimana surat keputusan sidang damai antara Pemkot Ambon selaku tergugat melawan Enne Kailuhu selaku penggugat. Dan juga sesuai notulen pertemuan dan kesepakatan antara pemilik lahan dengan Pemkot Ambon.
Tiba tiba saja Pemerintah Kota Ambon mengklaim bahwa lokasi TPA Benteng Karang masuk dalam kawasan hutan lindung sehingga Pemkot Ambon tidak melakukan pembayaran Sisa lahan tersebut.
Klaim Pemkot Ambon bahwasannya TPA Benteng Karang masuk sebagai hutan lindung ini disampaikan Bodewin Wattimena yang saat itu menjabat sebagai penjabat walikota Ambon. Dan selanjutnya juga ditegaskan oleh penjabat Sekkot Ambon Robby Sapulette.
Dari data yang berhasil dihimpun media ini Kamis (6/3/2025) menyebutkan. Sebelumnya mantan walikota Ambon, Richard Louhenapessy juga mengklaim hal yang sama.
Akan tetapi Klaim pemerintah kota Ambon ini dimentahkan mantan Sadli Ile yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku.
Menurut Sadli yang kini menjabat selaku Sekda Maluku ini sebagaimana dilansir salah satu media cetak lokal terbitan 14 Oktober 2020. Lokasi TPA Benteng Karang bukanlah areal hutan lindung. Akan tetapi kawasan tersebut adalah Areal Penggunaan Lain atau APL.
Terkait keengganan Pemkot membayar sisa lahan milik kliennya, Roos Jeane Alfaris, SH.MH selaku kuasa hukum Enne Kailuhu akhirnya angkat suara.
Kepada media ini Kamis (6/3/2025) Alfaris mengungkapkan. Klaim sepihak Pemkot Ambon terhadap lahan milik kliennya itu sama sekali tidak berdasar.
“Pernyataan mantan walikota Ambon, penjabat walikota Ambon dan Sekkot Ambon bahwa TPA Benteng Karang adalah hutan lindung sama sekali tidak berdasar dan telah dibantah Kadis Kehutanan saat itu, jadi tidak benar kalau TPA Benteng Karang adalah Areal hutan lindung, ” tegas Alfaris.
Ditambahkan Alfaris, jika Pemkot Ambon beralasan bahwa lokasi itu adalah hutan lindung lalu mengapa Pemkot membayar tahap pertama lokasi TPA seluas 1 hektar dari 10 hektar kepada kliennya sebesar Rp.660 juta.
Diuraikan Alfaris, kliennya pernah menggugat tanah seluas 10 hektar yang dijadikan TPA yang sudah dikuasai oleh Pemkot.Dan sidang pada saat itu disepakati adanya perdamaian antara kedua belah pihak.
Kemudian Pemkot membayar 1 hektar dengan harga Rp. 660 juta tanpa ada prosedur dan Tim Appraisal juga tidak dilibatkan.Dan nantinya Pemkot Ambon akan membayar sisa 9 hektar tanah milik kliennya yang telah dikuasai mereka.
Namun nyatanya lanjut Alfaris hingga kini tidak ada pembayaran dari Pemkot Ambon. dan Pemkot skrg sudah pake lahan 2.06 hektar buat pembuangan sampah.
“Oleh karena tidak ada itikad baik Pemkot untuk membayar tanah klien saya, maka pada bulan Juli 2024 kami menutup jalan dari dan ke lokasi TPA. dan tindakan tutup jalan ini bukan baru pertama akan tetapi untuk kali kedua, ” paparnya
Kemudian pada bulan Juli 2024 itu ada kesepakatan pembayaran 3 bulan dimana kesepakatan tersebut dibuat di Notulen. Namun lagi lagi Pemkot Ambon ingkar janji. Dan pada bulan Oktober 2024 kliennya kembali menutup akses jalan ke TPA.
Menanggapi aksi tersebut penjabat Sekkot Ambon Robby Sapulette tambah Alfaris lantas mengundang pihaknya untuk pertemuan. Didalam pertemuan tersebut Penjabat Sekkot Ambon, Robby Sapulette menunjukan surat pembayaran untuk 3 lokasi yakni TPA Benteng Karang, SMP 20 dan salah satu SD di Batukoneng.
Dimana saat itu Sapulette mengakui dana sebesar Rp.5 miliar yang diperuntukan guna membayar ketiga lokasi tersebut sudah ada dan akan dibayarkan pada Triwulan pertama tahun 2025.
“Kami selalu kordinasi dengan bagian Aset Pemkot dan Sekot bahkan bagian Aset Pemkot memberitahu kami bahwa pihaknya telah menghubungi Tim Appraisal untuk turun untuk menghitung, ” beber Alfaris.
Namun Yang anehnya saat akhir Februari Pemkot Ambon tiba to ba mengklaim bahwa kawasan TPA Benteng Karang adalah kawasan hutan lindung.
“Bagaimana Pemkot Ambon bisa mengklaim bahwa itu adalah hutan lindung. tanah milik klien saya ini adalah tanah dati bukan tanah negara dan seenaknya saja Pemkot ambil buat hutan lindung. Dan yang menjadi Jdi pertanyaannya adalah sudah ada Surat Keputusan atau SK pembayaran 3 lokasi dengan sebesar Rp.5 miliar, lalu dana itu kemana sekarang, ” sergahnya.
Ditambahkan Alfaris, meskipun itu hutan lindung sebagaimana yang diklaim sepihak oleh Pemkot Ambon, akan tetapi harus ada kompensasi buat kliennya.
“klien saya miliki tanah tersebut sjak tahun 1982 lalu penetapan hutan lindung tahun berapa. Kadis Lingkungan hidup pernah sampaikan kepada klien saya bahwa jika kepemilikan tanah tersebut oleh klien saya dibawah tahun 1984 maka Pemkot akan membayarnya akan tetapi kalau diatas tahun 1984 maka harus diuji dulu tentang surat surat kepemilikan tanah tersebut, ” terang Alfaris.
Satu hal lagi yang perlu diingat lanjut Alfaris, bahwasannya kepemilikan tanah seseorang itu bukan saja ada sertifikat dan dia benar pemilik tanah.Sertifikat itu terbit berdasarkan surat surat kepemilikan tanah dulu barulah BPN bisa menerbitkan terbitkan sertifikat.
Lantaran karena tidak mungkin sertifikat bisa terbit tanpa ada surat surat kepemilkan tanah sehingga jangan ada yang bilang bahwa bisa bayar tapi harus ada sertifikat tanah dulu Ini pemahaman hukum yg salah.
Hal ini lantaran pada tahun 2020 penjabat Walikota Ambon Bodewin Wattimena menyatakan bahwa Pemkot bisa membayar akan tetapi harus ada sertifikat.
Yang menjadi pertanyaan papar Alfaris, apakah tanah tanah yang dulu di beli buat TPA sudah ada sertifikatnya ataukah setelah beli bru dibuat sertifikat.
“Intinya selaku pemilik lahan kami tetap komitmen dengan janji Pemkot Ambon yang akan membayar tanah klien kami. Jika tidak maka kami akan melanjutkan persoalan ini dengan proses eksekusi lewat pengadilan. Dan apabila ada pasal pasal dalam perjanjian kompensasi yg ada kalimat dampak hukum, maka itu harus dikaitkan dengan pasal tersebut yang ada kaitannya dengan pembayaran seperti salah bayar kepada org yang tidak berhak bukan status dan kepemilikan tanah tersebut, ” demikian Alfaris.