Oleh Aziem Nur Febriansyah, SST
Bicara soal pandemi, masih ingat dengan HIV/AIDS? Sempat menggegerkan Maluku dengan menjadi 10 besar kasus HIV/AIDS terbanyak senasional tahun 2018 silam, kini pandemi baru dunia yaitu Covid-19 ikut menghantam Negeri Seribu Raja.
Berbeda dengan pandemi sebelumnya, Covid-19 berpotensi menular lebih cepat karena melalui media yang lebih umum seperti droplet, sentuhan fisik, dan barang bekas orang yang terinfeksi.
Sadar akan bahaya penularan yang ganas, pemerintah Maluku segera menelurkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR).
Seperti yang diungkapkan Gubernur Maluku Murad Ismail seusai rapat DPRD dan Pemprov Maluku bahwa Maluku tidak akan mengambil kebijakan lockdown melainkan PSBR.
Sebenarnya PSBR tidak memiliki hukum atau undang-undang yang mendasarinya, tapi karena kebutuhan untuk segera menangkal penyebaran virus dan sulitnya persyaratan PSBB yang terbukti baru beberapa daerah saja yang disetujui, maka tercetuslah PSBR.
Pelaksanaan teknis PSBR sendiri kurang lebih mirip dengan PSBB, sehingga bisa dibilang PSBR adalah PSBB versi tanpa undang-undang.
Harus diakui kekhawatiran dunia terhadap Covid-19 saat ini tidak hanya tentang kesehatan manusia tapi juga pada jalannya roda ekonomi.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya mencapai 2,1 persen saja itu pun masih perkiraan optimis, apabila nanti kasusnya lebih parah bisa saja pertumbuhan ekonomi akan semakin mendekati nol bahkan negatif senasib dengan Cina yang menyentuh angka minus 6,8 persen.
Untuk kasus negara berkembang seperti Indonesia khususnya di Maluku dimana perekonomian didominasi oleh pelaku Usaha Kecil Menengah, mematikan aktivitas ekonomi sama saja dengan membunuh penduduk.
Singkatnya, mau mati karena virus atau mati karena kelaparan dan tidak punya uang? Maka dari itu di tengah usaha menangkal penyebaran Covid-19 ini, seberapa baikkah kebijakan PSBR menjawab tantangan dari sisi ekonomi?
Siapa Untung, Siapa Buntung
Dinamika ekonomi pada masa PSBR ini akan didominasi oleh dua faktor utama yaitu alokasi anggaran pemerintah dalam menangani Covid-19 dan preferensi permintaan kebutuhan penduduk. Keduanya merupakan kunci untuk melihat sektor mana saja yang beroleh untung dan mana saja yang kurang beruntung alias buntung.
Sektor kesehatan menjadi salah satu yang paling survive di tengah pandemi Covid-19. Perawatan dan tenaga medis memegang peran krusial, belum lagi guyuran dana dari pemerintah demi menangani pandemi membuat sektor ini tumbuh dengan baik.
Katakanlah barang seperti masker, handsanitizer, obat-obatan, sabun mandi, dan sabun cuci akan menjadi kebutuhan pokok masyarakat lebih dari sebelumnya. Industri masker dan industri farmasi, kimia, dan obat-obatan akan kebanjiran permintaan.
Sayangnya untuk di Maluku industri tersebut jumlahnya sedikit, terbukti dari share kedua sektor tersebut terhadap PDRB yang dari tahun ke tahun selalu mendekati nol persen. Hal ini mengindikasikan bahwa Maluku lebih banyak mengimpor barang-barang tersebut.
Selanjutnya, sektor perdagangan akan sangat terpukul akibat PSBR. Pelarangan kegiatan di tempat umum dan sulitnya pasokan barang menjadi sebab utama. Untuk komoditas yang dibutuhkan masyarakat seperti alat kesehatan dan bahan makanan minuman terancam mengalami kelangkaan di pasaran mengakibatkan harganya bisa terus naik.
Sedangkan untuk barang yang kurang dibutuhkan terancam kehilangan pasar karena tidak menjadi prioritas. Dampak terhadap sektor perdagangan sangat berbahaya bagi perekonomian sebab sektor ini adalah salah satu andalan penyumbang PDRB Maluku.
Bicara tentang sektor andalan, sektor pertanian sebagai sektor penyumbang terbesar PDRB Maluku justru terkena dampak positif. Sektor pertanian terutama tanaman pangan dan perikanan sebelumnya sudah menjadi kebutuhan primer.
Semenjak pandemi, penduduk banyak melakukan panic buying untuk menimbun bahan makanan sehingga membuat permintaan meningkat. Akibatnya sektor pertanian harus digenjot produksinya demi kecukupan stok bahan makanan.
Tak heran jika sektor industri makanan minuman dan usaha penyedia makan minum juga ikut mendulang untung karena banyaknya permintaan. Keduanya laku dipasaran meski usaha penyedia makan minum hanya diperbolehkan melayani makanan untuk dibawa pulang.
Beralih ke sektor lainnya, berkat jasa sektor komunikasi dan informasi kegiatan administrasi pemerintah, pelayanan publik, dan pendidikan masih bisa dilakukan dari rumah. Tingginya kebutuhan komunikasi jarak jauh, penggunaan internet, dan hiburan selama di rumah membuat sektor ini berkembang pesat.
Berikutnya, sektor transportasi menjadi salah satu korban kebijakan PSBR. Pembatasan jarak dan jumlah penumpang, secara drastis mampu menurunkan pendapatan angkutan orang. Angkot jadi setengah kapasitas biasa dan ojek tidak bisa beroperasi, sementara itu ojek online masih bisa bertahan melalui jasa pengangkutan barang dan makanan.
Meski diakali dengan menaikkan ongkos dua kali lipat bagi angkot tapi langkah ini justru makin menurunkan minat penumpang dan mengakibatkan permintaan turun. Sementara itu, pada angkutan barang saat ini lebih diprioritaskan untuk mengangkut barang kebutuhan dasar saja.
Nasib industri manufaktur di luar makanan, minuman, dan kesehatan dinilai cukup menyedihkan. Penerapan work from home (WFH) jelas akan menurunkan kemampuan produksi. Demi menekan overhead cost agar menghindari kebangkrutan, industri besar cenderung melakukan PHK.
Namun lain kasus pada industri mikro kecil, mereka cenderung merumahkan pekerja tanpa digaji. Hal ini terjadi karena pesangon PHK juga tidak murah, tapi justru akibat yang ditimbulkan lebih parah tanpa gaji atau pesangon bagaimana pekerja bisa memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan?.
Korban lain kebijakan PSBR dapat ditemui pada sektor konstruksi. Kecenderungan masyarakat untuk mengalihkan anggaran belanja ke kebutuhan pokok membuat minat pembangunan dan renovasi rumah berkurang, suplai material pun terganggu, kebijakan WFH dan pengalihan alokasi anggaran pemerintah untuk difokuskan ke upaya menangani Covid-19 membuat sektor ini makin terabaikan.
Sektor yang mengalami dampak paling kejam dari penerapan PSBR adalah sektor akomodasi dan pariwisata. Mulai dari pembatasan jumlah orang keluar-masuk, pelarangan beraktivitas di tempat umum, dan penutupan seluruh destinasi wisata demi mencegah penularan membuat sektor ini mati total.
Akhirnya, meski beberapa sektor mendulang untung tetapi kerugian pada sektor-sektor buntung cenderung lebih besar.
Belajar dari Hanoi ibukota Vietnam tetangga kita, penerapan kebijakan lockdown memang lebih baik dalam mengatasi Covid-19, penduduk sepenuhnya mengkarantina diri di rumah dan pemerintah memberi kebutuhan dasar pada penduduk.
Memang ekonomi akan terhenti dalam beberapa waktu tetapi penyebaran Covid-19 akan lebih cepat diatasi dan lebih cepat berakhir, sehingga ekonomi juga bisa pulih lebih cepat.
Namun, kembali lagi ke realita pemenuhan kebutuhan dasar selama lockdown sangat bergantung dari kemampuan pemerintah masing-masing. Sebagai umat beragama kita bisa semakin sadar bahwa manusia hanya bisa mengusahakan yang terbaik bagi dirinya, momen ini jelas mengingatkan kita bahwa kara-kata rezeki sudah ada yang mengatur bukan isapan jempol semata.
Penulis adalah PNS di Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik, Kabupaten Maluku Barat Daya